Showing posts with label Konsep. Show all posts
Showing posts with label Konsep. Show all posts
Faktor penentu keberhasilan dalam menjalankan visi, misi, dan tujuan perusahaan adalah karyawan. Maka dari itu perusahaan harus mengelolanya dengan baik, karena kinerja karyawan sangat mempengaruhi kinerja perusahaan.  Kinerja merupakan  hasil kerja seseorang baik kualitas maupun kuantitas sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Kinerja juga termasuk berlangsungnya suatu pekerjaan.  Kinerja merupakan hasil pekerjaan dengan tujuan strategis, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.

 

Pengertian Kinerja Menurut Para Ahli

Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Veithzal, 2005). Kinerja karyawan tidak hanya sekedar informasi untuk dapat dilakukannya promosi atau penetapan gaji bagi perusahaan. Akan tetapi bagaimana perusahaan dapat memotivasi karyawan dan mengembangkan satu rencana untuk memperbaiki kemerosotan kinerja dapat dihindari.
Kinerja karyawan perlu adanya penilaian dengan maksud untuk memberikan satu peluang yang baik kepada karyawan atas rencana karier mereka dilihat dari kekuatan dan kelemahan, sehingga perusahaan dapat menetapkan pemberian gaji, memberikan promosi, dan dapat melihat perilaku karyawan. Penilaian kinerja dikenal dengan istilah “Performance Rating” atau “Performance Appraisal”. Menurut Munandar, (2008) penilaian kinerja adalah proses penilaian ciri-ciri kepribadian, perilaku kerja, dan hasil kerja seseorang tenaga kerja atau karyawan (pekerja dan manajer), yang dianggap menunjang unjuk kerjanya, yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan tentang tindakan-tindakan terhadap bidang ketenagakerjaan.

 

Dimensi Kinerja

Pekerjaan dengah hasil yang tinggi harus dicapai oleh karyawan. Mangkunegara (2000) menyatakan bahwa ukuran yang perlu diperhatikan dalam penilaian kinerja antara lain:

  1. Kualitas kerja yaitu kerapian, ketelitian, dan keterkaitan hasil kerja dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan. Dengan adanya kualitas kerja yang baik dapat menghindari tingkat kesalahan dalam penyeleseian suatu pekerjaan serta produktivitas kerja yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi kemajuan perusahaan.
  2. Kuantitas Kerja yaitu volume kerja yang dihasilkan dibawah kondisi normal. Kuantitas kerja menunjukkan banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan dalam satu  waktu sehingga efisiensi dan efektivitas dapat terlaksana sesuai dengan tujuan perusahaan.
  3. Tangung Jawab yaitu menunjukkan seberapa besar karyawan dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang dipergunakan serta perilaku kerjanya.
  4. Inisiatif yaitu menunjukkan seberapa besar kemampuan karyawan untuk menganalisis, menilai, menciptakan dan membuat keputusan terhadap penyelesaian masalah yang dihadapinya.
  5. Kerja Sama yaitu merupakan kesediaan karyawan untuk berpartisipasi dan bekerja sama dengan karyawan lain  secara vertical atau horizontal didalam maupun diluar pekerjaan sehingga hasil pekerjaan semakin baik.
  6. Ketaatan yaitu merupakan kesediaan karyawan dalam mematuhi peraturan-peraturan yang  melakukan pekerjaannya sesuai dengan instruksi yang diberikan kepada karyawan.

Indikator Kinerja

Suatu perusahaan melakukan penilaian kinerja didasarkan pertimbangan bahwa perlu adanya suatu sistem evaluasi yang objektif   terhadap   organisasional.   Selain   itu,   dengan   adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang objektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi  yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggung jawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan kepada msing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Sumber daya manusia memberikan kontribusi kepada organisasi yang kebih dikenal dengan kinerja. Menurut Maltis dan Jackson, (2002) kinerja karyawan adalah seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk:
  1. Kuantitas Keluaran. Jumlah keluaran yang seharusnya dibandingkan dengan kemampuan sebenarnya. Misalnya: seorang karyawan  pabrik rokok dibagian produksi  hanya  mampu menghasilkan 250 batang rokok per hari, sedangkan standar umum ditetapkan sebanyak 300 batang rokok per hari. Ini berati kinerja karyawan tersebut masih dibawah rata-rata.
  2. Kualitas Keluaran. Kualitas produksi lebih diutamakan dibandingkan jumlah output. Misalnya: dari 100 batang rokok yang dihasilkan, tingkat kesalahan (cacat) yang ditolerir adalah maksimal sebatang rokok. Apabila karyawan mampu menekan angka maksimum tersebut maka dikatakan memiliki kinerja yang baik.
  3. Jangka Waktu  Keluaran. Ketetapan waktu yang digunakan dalam menghasilkan sebuah barang. Apabila karyawan dapat mempersingkat waktu proses sesuai dengan standar, maka karyawan tersebut dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik.
  4. Misalnya: waktu standar yang ditetapkan untuk menghasilkan 100 batang rokok adalah 120 menit, jika karyawan dapat mempesingkat menjadi 100 menit per 100 batang, maka kinerja karyawan tersebut dikatakan baik.
  5. Tingkat Kehadiran di Tempat Kerja. Kehadiran karyawan di tempat kerja sudah ditentukan pada awal karyawan bergabung dengan perusahaan, jika kehadiran   karyawan   dibawah   standar   hari kerja yang ditetapkan maka karyawan tersebut tidak akan mampu memberikan kontribusi yang optimal terhadap perusahaan.
  6. Kerjasama. Keterlibatan seluruh karyawan dalam mencapai target yang ditetapkan sangat penting kerjasama yang baik antar karyawan akan mampu meningkatkat kinerja.

Faktor-Faktor Kinerja

Bila suatu tujuan tertentu akhirnya bisa dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut efektif tetapi apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan menilai yang penting dari hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan kepuasan walaupun efektif dinamakan tidak efesien. Sebaliknya, bila akibat yang dicari-cari tidak penting atau remeh maka kegiatan tersebut efesien.
Otoritas menurut adalah sifat dari suatu komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi formal yang dimiliki seorang anggota organisasi kepada anggota yang lain untuk melakukan suatu kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya Prawirosentono. Perintah tersebut mengatakan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dalam organisasi tersebut.
Disiplin adalah taat kepda hukum dan peraturan yang berlaku. Jadi, disiplin karyawan adalah kegiatan karyawan yang bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja dengan organisasi dimana dia bekerja. Inisiatif yaitu berkaitan dengan daya pikir dan kreatifitas dalam membentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.

Penutup

Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. dengan   adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang objektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi  yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggung jawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan kepada msing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.

Sumber Pustaka

  1. Mathis, R., & Jackson, J. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba empat.
  2. Mangkunegara, A. A. A. P. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan Bandung: Remaja Rosda Karya.
  3. Munandar, Ashar Sunyoto. 2001. Psikologi Industri Dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
  4. Viethzal, R. Z., Ramly, M., Mutis, T., & Arafah, W. (2014). Manajemen Sumbar Daya Manusia untuk Perusahaan dari Praktek ke Teori. (3, Ed.). Depok: RajaGrafindo Persada.


 

Globalisasi bisnis menekan berbagai bidang usaha dan lembaga pelayanan publik untuk mengikuti arus perubahan dalam pengelolaan sumber daya manusia. Perubahan masiv berkecepatan tinggi juga mendorong setiap pribadi pegawai untuk memiliki kesiapan untuk berubah, adatif dan mampu mengikuti persaingan ditengah perkembangan yang tidak terbendung. Dalam hal perubahan tersebut maka sisi positif bagi para pemegang kebijakan perusahaan adalah kemudahan dalam mempersiapkan menghadapi perubahan tersebut. Readyness For Change merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan tantangan tersebut.

Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. Namun demikian, kesiapan menghadapi perubahan harus direncanakan secara matang dari berbagi aspek termasuk mentalitas kerja dan finansial pekerja.
Untuk memahami lebih mendalam, pertama-tama kita mulai dengan derfinisi teoritis mengenai Readyness For Change dan bagaimana cara kerja alami psikologis pekerja dalam menghadapi tantangan yang nantinya dapat diterapkan secara berkelanjutan. Harapan yang ingin dicapai adalah keterbukaan pribadi yang selanjutnya dapat diukur secara konsisten dalam lingkup yang lebih luas.

Pengertian Readyness For Change

Menurut jurnal yang ditulis Mujid dkk (2023) yang berjudul The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap, menyatakan bahwa readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Senada dengan itu, dilihat dari referensi yang lebih lama pada jurnal yang ditulis Sri Hartanti (2018) mengemukakan bahwa readiness for change ini didefinisikan sebagai sikap komprehensif yang secara   simultan   dipengaruhi   oleh isi, proses, konteks dan individu yang terlibat dalam suatu perubahan. Definisi tersebut merujuk pada referensi yang lebih tua lagi yaitu melalui jurnal yang ditulis Holt dkk (2007) yang menyatakan bahwa kesiapan secara kolektif merefleksikan sejauh mana kecenderungan individu untuk menyutujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.
Ketika adanya perubahan kebijakan dalam satu perusahaan maka disana akan terjadi sikap reaksi dari pengelola sumber daya manusia untuk mempersiapkan pegawainya menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Sebagaimana aksi reaksi, maka kesiapan secara kolektif tidak akan bisa terbentuk tana adanya integritas pada sistem pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan konsep aktual yang mampu beradaptasi dengan kebijakan yang ditetapkan. Lebih jauh kita bisa menyatakan bahwa readiness for change merupakan konsep yang menggambarkan tingkat kesiapan para karyawan dalam menghadapi perubahan, baik sebelum maupun setelah terjadi perubahan di dalam organisasi. Konsep ini mencakup berbagai aspek yang melibatkan individu, seperti sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi perubahan tersebut. Sebelum perubahan terjadi, readiness for change membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan dan adaptasi karyawan terhadap perubahan tersebut. Setelah perubahan terjadi, readiness for change juga berperan penting dalam mengukur sejauh mana karyawan atau pegawai dapat beradaptasi dan berkontribusi secara positif terhadap perubahan tersebut. Dengan memahami readiness for change, organisasi dapat merencanakan strategi yang lebih efektif untuk mengelola perubahan dan memastikan kesuksesan dalam implementasinya.
Readiness for Change adalah sebuah proses psikologis yang tidak langsung terlihat, yang mencerminkan keinginan seseorang untuk mengadopsi pola perilaku baru dalam periode waktu tertentu (Sumaryono, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui tahapan batin yang berkelanjutan. Proses ini melibatkan kesiapan individu dalam menghadapi perubahan, mengatasi hambatan, dan menerima konsekuensi dari pola perilaku baru yang akan diadopsi. Readiness for Change melibatkan kesadaran individu terhadap kebutuhan akan perubahan, keinginan untuk memperbaiki diri, dan komitmen untuk melangkah maju menuju perubahan yang lebih baik (Sumaryono, 2019).

Faktor Readyness For Change

Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah (Agus et al., 2020). Kesiapan sebuah institusi untuk berubah sangat dipengaruhi oleh sejauh mana karyawan mampu mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru dalam lingkungan kerja mereka. Perubahan dalam organisasi sering kali melibatkan perkenalan konsep baru, teknologi baru, atau praktik kerja yang lebih efisien dan efektif.
Pimpinan organisasi yang memperkenalkan program yang mewajibkan warga organisasi untuk menerapkan metode kerja baru dengan menggunakan teknologi baru merupakan indikator utama dari kesiapan untuk berubah (Lehman, Greener, & Simpson, 2002). Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa karyawan memiliki kesiapan yang memadai dalam menghadapi perubahan tersebut.
Faktor-faktor readyness for change dari uraian tersebut dapat dipahami lebih mendalam melalui hal berikut :
1.    Komitmen
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif  (Lehman et al., 2002).
Ketika pimpinan mendorong dan mendukung inisiatif perubahan, ini mencerminkan komitmen mereka terhadap pengembangan organisasi dan keberhasilan perubahan. Program-program seperti pelatihan, pengenalan teknologi baru, dan pembentukan kebijakan yang mendorong adopsi perubahan menjadi sarana untuk mempersiapkan karyawan dalam menghadapi perubahan tersebut (Lehman et al., 2002). Dengan adanya dukungan dan arahan yang jelas dari pimpinan, kesiapan berubah dapat ditingkatkan dan membawa perubahan yang lebih baik dalam organisasi.
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif. Sumber dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan pengembangan nilai-nilai oleh staf memainkan peran penting dalam menentukan kesiapan organisasi untuk menghadapi perubahan. Dalam rangka mencapai kesiapan yang optimal, organisasi perlu memperhatikan dan mengelola faktor-faktor ini secara holistik. Kombinasi ketersediaan dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan nilai-nilai yang memperkuat kesiapan untuk berubah akan membawa organisasi menuju perubahan yang sukses dan berkelanjutan.
2.    Dukungan Budaya
Adanya dukungan budaya dapat mendorong adopsi perubahan yang terjadi (Agus et al., 2020). Jika budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai pembelajaran, kolaborasi, dan adaptasi, maka warga organisasi akan merasa lebih termotivasi dan siap untuk mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru. Ini berarti memastikan adanya lingkungan yang terbuka untuk belajar, eksperimen, dan berbagi pengetahuan di dalam organisasi (Lehman et al., 2002).
Organisasi yang mampu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada mutu terbukti memiliki keunggulan dalam menghadapi perubahan dan bertahan dalam persaingan (Swaffin-Smith, Barnes, & Townsend, 2002). Budaya kerja yang berfokus pada mutu mencakup komitmen terhadap standar yang tinggi, inovasi berkelanjutan, peningkatan terus-menerus, dan responsif terhadap kebutuhan pasar. Dengan budaya ini, organisasi memiliki fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan perubahan dengan sikap terbuka, fleksibilitas, dan kemampuan beradaptasi. Mereka dapat mengidentifikasi peluang perubahan, menerapkan praktik terbaik, dan meningkatkan kualitas layanan mereka secara berkelanjutan. Hal ini membantu organisasi untuk tetap relevan, unggul, dan berdaya saing dalam lingkungan yang selalu berubah dan kompetitif.
3.    Inovasi
Inovasi sangat penting dalam menghadapi perubahan di dunia yang terus berkembang. Organisasi yang mampu mengembangkan budaya inovasi akan memiliki keunggulan kompetitif dan lebih siap menghadapi tantangan yang muncul (Lehman et al. 2002). Budaya inovasi melibatkan penerimaan terhadap gagasan baru, pengembangan keterampilan kreatif, penghargaan terhadap eksperimen dan kegagalan sebagai proses pembelajaran, serta dukungan untuk inisiatif inovatif. Dalam budaya inovasi, individu merasa dihargai dan didorong untuk berpikir di luar kotak, mencari solusi baru, dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
4.    Motivasi
Ketersediaan aspek motivasional adalah salah satu faktor penting dalam mengembangkan kesiapan untuk berubah. Ketika individu merasakan adanya kebutuhan dan dorongan yang kuat untuk melakukan perubahan, mereka akan lebih termotivasi untuk menghadapi perubahan tersebut. Selain itu, penting juga untuk mengembangkan nilai-nilai positif yang melekat pada setiap individu dalam organisasi. Nilai-nilai seperti ketekunan, kolaborasi, kreativitas, dan adaptabilitas merupakan landasan untuk membangun budaya inovasi yang kuat.
5.    Lingkungan
Iklim lingkungan usaha yang mendukung perubahan akan memainkan peran penting dalam mengembangkan sistem nilai, sikap, dan pandangan baru pada individu-individu. Terlihat bahwa keberadaan iklim lingkungan yang kondusif untuk kesiapan organisasi berubah dapat dilihat melalui beberapa hal (Jabnoun & Sedrani 2005), diantaranya:

Individu-individu yang memiliki pemahaman yang jelas tentang visi, misi, dan tujuan organisasi dalam menghadapi perubahan. 

  1. Adanya tim kerja yang kuat dan solid.
  2. Individu-individu yang memiliki kemandirian dalam menjalankan tugasnya. 
  3. Terdapat keterbukaan dalam proses komunikasi di dalam organisasi.
  4. Sejauh mana warga organisasi merasakan tekanan dari dalam diri mereka untuk selalu memberikan kinerja terbaik.

6.    Keterbukaan dari seluruh warga organisasi terhadap perubahan.
Faktor lingkungan memainkan peran penting dalam aktivitas usaha, baik itu lingkungan eksternal maupun lingkungan internal (Marcus 2004). Lingkungan eksternal meliputi aspek persaingan bisnis, ketersediaan bahan baku, regulasi pemerintah, dan tingkat ketidakpastian yang dirasakan. Sementara itu, lingkungan internal mencakup kualitas kehidupan organisasi bisnis, penguasaan teknologi, ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan dari keluarga, dukungan modal, dan dukungan dari anggota organisasi bisnis. Lingkungan internal organisasi bisnis yang mencerminkan kekuatan dan kelemahan akan mempengaruhi kelangsungan aktivitas bisnis.
Kualitas lingkungan memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan usaha. Lingkungan eksternal menentukan sejauh mana perusahaan mampu beradaptasi dengan persaingan, memenuhi kebutuhan bahan baku, dan beroperasi dalam kerangka peraturan yang ada. Sementara itu, lingkungan internal menciptakan kondisi yang mendukung efisiensi, inovasi, dan pertumbuhan. Keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan finansial yang memadai, dan kesiapan organisasi untuk menghadapi tantangan menjadi faktor penentu dalam kelangsungan usaha.
Selain itu, pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan dalam lingkungan internal membantu perusahaan dalam mengidentifikasi peluang dan ancaman, serta mengambil langkah-langkah strategis yang tepat. Dengan pemahaman yang baik tentang faktor-faktor lingkungan, perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja, meningkatkan daya saing, dan menjaga kelangsungan usaha di tengah perubahan yang terus-menerus.
Dalam rangka mencapai keberhasilan usaha, penting bagi perusahaan untuk memantau, menganalisis, dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam lingkungan eksternal dan internal. Dengan demikian, perusahaan dapat menjaga relevansi, efektivitas, dan daya adaptasi dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
7.    Kapasitas Untuk Berubah
Untuk meningkatkan kesiapan institusi untuk berubah, perlu dilakukan upaya dalam mengembangkan kompetensi individu, seperti pelatihan dan pengembangan keterampilan. Selain itu, penting untuk mendorong komunikasi yang terbuka dan transparan antara anggota organisasi, sehingga informasi tentang perubahan dapat dengan mudah diakses dan dipahami. Dukungan dari manajemen dan kepemimpinan yang kuat juga penting dalam membangun kesiapan untuk berubah di dalam institusi. Dengan demikian, kesiapan institusi untuk berubah tidak hanya bergantung pada pengetahuan dan teknologi baru, tetapi juga pada kemauan warga organisasi untuk mengadopsi dan menerapkan perubahan tersebut. Dengan kesiapan yang memadai, institusi dapat menghadapi perubahan dengan lebih sukses dan mengembangkan diri untuk mencapai tujuan organisasional yang lebih tinggi.
Holt et al., (2007) mengemukakan bahwa kesiapan karyawan untuk berubah secara simultan dapat dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu:

  1. Change content, merujuk pada apa yang akan diubah oleh organisasi (misalnya perubahan sistem administrasi, prosedur kerja, teknologi, atau struktur)
  2. Change process, meliputi bagaimana proses pelaksanaan perubahan yang telah direncanakan sebelumnya
  3. Organizational context, terkait dengan kondisi atau lingkungan kerja saat perubahan terjadi.

Holt et al., (2007) mengidentifikasi lima faktor utama yang dapat merubah keyakinan diri karyawan untuk mendukung perubahan yaitu:

  1. Discrepancy yaitu keyakinan bahwa perubahan itu diperlukan oleh organisasi
  2. Aappropriateness yaitu adanya keyakinan bahwa perubahan spesifik yang dilakukan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi
  3. Efficacy yaitu rasa percaya bahwa karyawan dan organisasi mampu mengimplementasikan perubahan
  4. Principal support yaitu persepsi bahwa organisasi memberikan dukungan dan berkomitmen dalam pelaksanaan perubahan dan mensukseskan perubahan organisasi  
  5. Personal valance yaitu keyakinan bahwa perubahan akan memberikan keuntungan personal bagi karyawan. Adarnya kelima keyakinan diatas tidak semata-mata hanya mempengaruhi kesiapan untuk berubah namun juga mempengaruhi bagaimana karyawan akan mengadopsi dan berkomitmen terhadap perubahan organisasi.  


Indikator Readyness For Change

Menurut (Vakola & Nikolaou 2005) indikator Readyness For Change Diantaranya adalah :


1. Appropriateness (ketepatan untuk melakukan perubahan).

Dimensi yang menjelaskan aspek tentang keyakinan individu bahwa adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk perubahan yang perspektif, serta berfokus pada manfaat perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan, konsekuensi bahwa tujuan perubahan sejalan dengan tujuan perusahaan. 

2. Change Efficacy (rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk berubah).

Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan individu tentang kemampuan mereka untuk menerapkan perubahan yang diingini, dimana mereka merasa mempunyai keterampilan serta sanggup untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan perubahan. Dimensi ini juga menjelaskan tingkat kepercayaan diri individu dan kelompok untuk dapat menyukseskan perubahan yang direncanakan. 

3. Management Support (dukungan manajemen).

Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan atau persepsi individu bahwa para pemimpin dan pihak manajemen akan mendukung dan berkomitmen terhadap perubahan yang direncanakan. 

4. Personel Benefit (manfaat bagi individu).  

Dimensi yang menjelaskan aspek tentang sesuatu yang dirasakan individu tentang keuntungan yang dirasakan secara personal yang akan didapatkan apabila perubahan tersebut diimplementasikan.

Penutup

Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah
 

Sumber Pustaka
  1. Agus, Prianto, Kurniati Ira, Wahyudi Taufiq, and Yulistia Eva. 2020. “Berbagai Faktor Penentu Kesiapan Untuk Berubah Dan Pengaruhnya Terhadap Keberlangsungan Kegiatan UMKM Di Wilayah Terdamak Wabah Covid-19.” Jurnal Ekonomi Dan Manajemen 31(1):234–47.
  2. Jabnoun, Naceur, and Khalefa Sedrani. 2005. “TQM, Culture, and Performance in UAE Manufacturing Firms.” Quality Management Journal 12(4):8–20. doi: 10.1080/10686967.2005.11919267.
  3. Holt, Daniel T., Achilles A. Armenakis, Hubert S. Feild, and Stanley G. Harris. 2007. “Readiness for Organizational Change: The Systematic Development of a Scale.” The Journal of Applied Behavioral Science 43(2):232–55. doi: 10.1177/0021886306295295.
  4. Lehman, Wayne E. K., Jack M. Greener, and D. Dwayne Simpson. 2002. “Assessing Organizational Readiness for Change.” Journal of Substance Abuse Treatment 22(4):197–209. doi: 10.1016/S0740-5472(02)00233-7.
  5. Marcus, A. A. 2004. Management Strategy: Achieving Sustained Competitive Advantage. McGraw-Hill Education.
  6. Mujib, Miftachul, and Reni Rosari. 2023. “The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap.” International Journal of Business and Society 24(1):312–29. doi: 10.33736/ijbs.5618.2023.
  7. (7)    Sumaryono, Nurthaibah. 2019. “Readiness For Change Ditinjau Dari Persepsi Transformational Leadership Dan Adaptability Pada Pegawai Rumah Sakit Umum.” Magister Psikologi Profesi.
  8. Swaffin-Smith, Chris, Richard Barnes, and Marie-Christine Townsend. 2002. “Culture Surveys: Monitoring and Enhancing the Impact of Change Programmes.” Total Quality Management 13(6):855–61. doi: 10.1080/0954412022000010181.
  9. Vakola, Maria, and Ioannis Nikolaou. 2005. “Attitudes towards Organizational Change: What Is the Role of Employees’ Stress and Commitment?” Employee Relations 27(2):160–74. doi: 10.1108/01425450510572685.
  10. Xu, Chaterine, Sri Hartini, and Winida Marpaung. 2018. “Readiness For Change Ditinjau Dari Kepemimpinan Transformasional Pada Karyawan/I PT. Mam Medan.” Jurnal Psikologi 14(2):154. doi: 10.24014/jp.v14i2.6405.


Modal kerja atau yang sering disebut working capital adalah aktiva-aktiva jangka pendek yang digunakan untuk membiayai operasional perusahaan sehari-hari. Aktiva ini bertujuan untuk digunakan dalam proses produksi barang atau pelayanan jasa sehingga diharapkan baiaya tersebut dapat kembali dalam jangka pendek dan menghasilkan laba dari selisih tersebut. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai konsep dasar dan pengertian modal kerja menurut para ahli secara lengkap berdasarkan teori yang saya ketahui dan baca dari berbagai sumber penelitian yang valid. Selain itu kita akan membahas pula mengenai aspek-aspek apa saja yang berkaitan dengan modal kerja tersebut serta manfaatnya dalam dunia bisnis pada saat ini.

Sebagai pembukaan maka saya jelaskan bahwa dengan semakin berkembangnya pasar global dan dunia usaha yang semakin maju, dengan persaingan antar perusahaan baik nasional maupun internasional, khususnya perusahaan dengan jenis yang sama akan semakin ketat. Untuk menjaga stabilitas kesehatan keuangan sebuah perusahaan dalam iklim atmosfer persaingan seperti saat ini dibutuhkan strategi pengelolaan sumber daya dan beban keuangan yang dilakukan oleh pihak manjemen perusahaan dengan baik dan tepat. Bagi pihak manajemen, selain dituntut untuk melakukan pengelolaan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan secara efektif dan efisien, juga dituntut untuk dapat menghasilakan keputusan-keputusan berdasarkan Analisa akurat yang menunjang terhadap pencapain tujuan perusahaan di masa yang akan datang.

Perkembangan dunia usaha dan bisnis nasional saat ini ditandai dengan perkembangan yang cepat disegala bidang. Perusahaan akan melakukan berbagai komponen aktivitas untuk mencapai tujuan-tujuan bisnisnya yaitu untuk memperoleh keuntungan (Profit) dan menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan itu sendiri (growth). Oleh sebab itu pihak manjemen membutuhkan informasi sebagai dasar analisis sehingga menghasilkan rekomendasi strategi bisnis untuk pencapaian tujuan perusahaan tersebut.

Tujuan dari sebuah perusahaan secara umum adalah mendapatkan laba atau keuntungan secara finansial. Salah satu aktivitas utama perusahaan dalam mencapai laba adalah dengan melakukan penjualan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa penjualan merupakan penyumbang keuangan terbesar dari suatu perusahaan. Agar keuntungan itu dapat diperoleh sesuai target, maka perusahaan harus dapat mengelola stabilitas penjualannya tersebut dengan membuat sebuah recana strategis dan prosedur kerja yang baik dalam proses penjualan dan mempermudah pembeli dalam proses transaksinya sehingga dapat dicapai tingkat penjualnnya yang maksimal. Sebelum kita membahas lebih mendalam mengenai modal kerja suatu perusahaan, maka dari uraian di atas sudah jelas bahwa modal kerja tersebut sangat dibutuhkan oleh perusahaan salah satunya adalah sebagai power dalam menjalankan aktivitas penjualan.

Semua perusahaan selalu membutuhkan modal kerja untuk membiayai kegiatan operasionalnya baik perusahaan yang bergerak dalam bidang industri maupun jasa. Modal kerja harus selalu dalam keadaan berputar. Selama perusahaan melakukan kegiatan usaha karena pengelolaan modal kerja yang baik adalah efisiensi modal kerja yang dapat dilihat dari perputaran modal kerja tersebut. Perputaran modal kerja dimulai dari saat kas diinvestasikan dalam komponen modal kerja saat kembali menjadi kas. Dalam perjalanannya kas tersebut mengalami konversi dari mulai digunakan untuk membeli alat-alat, gaji pegawai, bahan baku hingga dilakukan penjualan dan kembali menjadi kas dengan nilai yang berbeda.

Pengertian Modal Kerja Menurut Para Ahli

Setelah beberapa saat mencari pengertian modal kerja dari berbagai sumber, akhirnya saya menemukan satu sumber lagi yang menurut saya ini adalah pendapat yang lebih sesuai dengan apa yang ingin saya bahas pada kesempatan kali ini. Menurut pendapat Sutrisno (2008) mengemukakan bahwa modal kerja adalah dana yang digunakan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaan sehari-hari seperti pembelian bahan baku, pembayaran upah buruh, membayar utang dan pembayaran lainnya. Pendapat tersebut menunjukan bahwa modal digambarkan sebagai sesuatu yang lebih nyata dan sesuai dengan pandangan para pelaku bisnis kecil menengah saat ini.

Dari beberapa pendapat para pakar tersebut maka kita akan mengambil kesimpulan yang lebih relevan. Modal kerja adalah investasi perusahaan dalam bentuk  harta jangka pendek dalam bentuk uang tunai atau dana yang juga bisa bersumber dari konversi surat berharga, piutang dan persediaan yang secara singkat digunakan dalam proses produksi. Selain itu modal usaha digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan operasi perusahaan secara singkat selama proses berlangsung waktu itu juga. Kebutuhan operasional tersebut meliputi pembeliaan bahan baku, pembayaran upah karyawan, pembayaran kewajiban rutin dan pembayaran lainnya yang menopang proses selama alur tersebut berlangsung. Hingga setelah proses penjualan terjadi dan modal kembali menjadi kas sebagai dana akhirnya menghasilkan selisih  yang disebut dengan laba.

Memahami Pecking Order Theory

Pecking order theory

adalah literasi para pebisnis yang menggambarkan sebuah tingkatan (level) dalam pencairan dana perusahaan. Berdasarkan teori ini menunjukan bahwa sebuah perusahaan bisnis dengan produksi tinggi lebih memilih menggunakan internal equity dalam membiayai sebuah investasi dan mengimplementasikannya dalam strategi bisnis menjadi peluang pertumbuhan. Theory pecking order menyatakan bahwa sebuah perusahaan bisnis lebih suka pendanaan internal yang bersumber dari laba dan proses operasional  dibandingkan yang bersumber dari pendanaan eksternal. Hal ini merupakan rujukan krakteristik dalam bisnis dimana perusahaan lebih memilih utang yang aman dibandingkan utang yang beresiko serta yang terakhir adalah saham biasa (Myers & Majluf 1984). Theory pecking order yang dibangun berdasarkan referensi teoritis dan beberapa asumsi para pakar yang  menekankan pada pentingnya financial slack yang cukup di perusahaan guna mendanai proyek-proyek dengan dana internal yang lebih aman. Internal equity diperoleh dari laba ditahan atau laba yang diendapkan dan depresiasi atau amortisasi dengan tujuan yang jelas. Utang perusahaan diperoleh dari pinjaman kreditur, sedang eksternal equity diperoleh karena perusahaan menerbitkan saham baru sehingga diakui sebagai danainternal atau modal yang diperoleh darkepentingan permodalan para pemegang saham. 

The pecking order theory berpendapat bahwa perusahaan memiliki permasalahan informasi bisnis secara asimetri. Perusahaan yang memiliki financial slack atau kelonggaran finansial yang cukup tidak perlu menerbitkan risky debt atau saham yang diterbitkan untuk menandai proyek-proyek barunya sehingga permasalahan informasi tidak akan muncul. Perusahaan akan dapat menerima dan menjalankan seluruh proyek bagus tanpa harus merugikan pemegang saham lama. Teori ini merupakan penjelasan dari perilaku perusahaan yang menahan sebagian laba yang diperoleh dari proses penjualan dan membuat cadangan kas yang cukup besar untuk diputar kembali menjadi modal produksi.

Jenis-Jenis Modal Kerja

Menurut Riyanto (2008), modal kerja digolongkan dalam 2 (dua) jenis yaitu modal kerja permanen dan modal kerja variable. Lebih jelasnya kita akan bahas satu-persatu kedua jenis modal kerja tersebut:

  1. Modal Kerja Permanen (Permanent Working Capital), yaitu modal kerja yang bersifat tetap berada pada perusahaan untuk dapat menjalani fungsi produksinya atau dengan kata lain modal kerja yang secara terus menerus diperlukan untuk kelancaran bisnis dan usahanya. Modal kerja ini terdiri dari: modal kerja primer (Primary Working Capital) yaitu jumlah modal kerja minimum yang harus ada pada perusahaan untuk menjaga keberlanjutan usahanya dan modal kerja normal (Normal Working Capital) yaitu modal kerja yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan proses produksi yang bersifat normal.
  2. Modal kerja variabel (variabel working capital) yaitu jumlah kerja yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan keadaan, dan modal kerja di bebankan menjadi modal kerja musiman, yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan karena fluktuasi musim.  Modal kerja siklus, yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan karena fluktuasi konjungtur (permintaan produk). Modal kerja darurat, yaitu modal kerja yang besarnya besarnya berubah-ubah karena adanya keadaan darurat yang tidak diketahui sebelumnya ( misalnya adanya pemogokan buruh , banjir, perubahan ekonomi yang mendadak).

Konsep Modal Kerja

Berdasarkan bukunya yang berjudul “Dasar-dasar pembelanjaan perusahaan” Menurut Riyanto (2008) dikenal ada 3 (tiga) konsep modal kerja, yaitu konsep kuantitatif, konsep kualitatif dan konsep fungsional. Mari kita jelaskan masing-masing konsep tersebut sebagai berikut:

  1. Konsep kuantitatif, konsep ini didasarkan pada kuantitas dari dana modal perusahaan yang tertanam dalam unsur-unsur aktiva lancar dimana aktiva ini merupakan aktiva yang sekali berputar kembali dalam bentuk semula atau aktiva dimana dana yang tertanam didalamnya akan dapat bebas lagi dalam waktu yang pendek. Dengan demikian modal kerja menurut konsep ini adalah keseluruhan dari jumlah aktiva lancar, modal kerja dalam pengertian ini sering disebut dengan modal kerja bruto (gross working capital).
  2. Konsep kualitatif, dalam konsep ini pengertian modal kerja dikaitkan dengan besarnya jumlah hutang lancar atau hutang yang harus segera dibayar. Dengan demikian maka sebagian dari aktiva lancar harus disediakan untuk memenuhi kewajiban finansial yang segera harus dilakukan, dimana bagian aktiva lancar ini tidak boleh digunakan untuk membiayai operasi perusahaan untuk menjaga likuiditasnya. Oleh karena itu, modal kerja menurut konsep ini adalah sebagian dari aktiva lancar yang benar-benar dapat digunakan untuk membiayai operasi perusahaan tanpa mengganggu likuiditasnya yaitu yang merupakan kelebihan aktiva lancar diatas hutang lancar. Modal kerja dalam pengertian ini sering disebut modal kerja neto (net working capital). Definisi ini bersifat kualitatif karena menunjukkan tersedianya aktiva lancar yang lebih besar daripada hutang lancarnya (hutang jangka pendek).
  3. Konsep fungsional, konsep ini mendasarkan pada fungsi dari dana dalam menghasilkan pendapatan (income). Setiap dana yang dikerjakan atau digunakan dalam perusahaan adalah dimaksudkan untuk menghasilakan pendapatan. Ada sebagian dana yang digunakan dalam suatu periode akuntansi.

Pentingnnya Modal Kerja

Menurut pendapat Munawir (2000), tersedianya modal kerja yang segera dapat dipergunakan perusahaan dalam operasionalisasi tergantung pada karakteristik dari aktiva lancar yang dimiliki seperti: kas, effek, piutang dan persediaan. Tetapi modal kerja perusahaan tersebut harus cukup jumlahnya dalam artian harus mampu membiayai pengeluaran-pengeluaran atau operasi perusahaan sehari-hari, karena dengan modal kerja yang cukup akan menguntungkan bagi perusahaan, disamping memungkinkan bagi perusahaan untuk beroperasi secara ekonomis atau efisien dan perusahaan tidak mengalami kesulitan keuangan, juga akan memberikan beberapa keuntungan lain, antara lain:

  1. Melindungi perusahaan terhadap krisis modal kerja karena turunnya nilai dari aktiva lancar.
  2. Memungkinkan untuk dapat membayar semua kewajibankewajiban tepat.
  3. Memungkinkan dimilikinya kredit standing perusahaan semakin besar dan memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat menghadapi bahaya-bahaya atau kesulitan keuangan yang mungkin terjadi. 
  4. Memungkinkan untuk memiliki persediaan dalam jumlah yang cukup untuk melayani para konsumennya.
  5. Memungkinkan bagi perusahaan untuk memberikan syarat kredit yang lebih menguntumgkan kepada para pelanggannya.
  6. Memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat beroperasi dengan lebih efisien karena tidak ada kesulitan untuk memperoleh barang ataupun jasa yang dibutuhkan.

Sumber Modal Kerja

Setiap kenaikan modal kerja disebut dengan sumber modal, sedangkan penurunan disebut dengan penggunaan. Kenaikan dan penurunan modal kerja dilakukan untuk mengetahui bagaimana modal kerja tersebut digunakan atau dibelanjakan pada faktor-faktor produksi oleh perusahaan bisnis dalam aktivitasnya sehari-hari. Kebutuhan akan modal kerja tersebut harus dan mutlak disediakan perusahaan dalam bentuk apapun baik dalam bentuk dana, bahan baku atapun tenaga kerja. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan sumber-sumber modal kerja yang dapat dicari dari berbagai sumber yang tersedia. Namun dalam pemilihan sumber modal perlu diperhatikan untung ruginya sumber modal tersebut. Pertimbangan ini perlu dilakukan agar tidak menjadi beban perusahaan ke depan atau akan menimbulkan masalah yang tidak diinginkan dikemudian hari.  Sumber modal yang normal menurut Amin Widjaja Tunggal (2000) meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Operasi nilai perusahaan.
  2. Laba yang diperoleh dari penjualan surat-surat berharga.
  3. Penjualan aktiva tetap, penanaman jangka panjang / aktiva tak lancar dan lain-lain. 
  4. Pengemmbalian pajak dan keuntungan pajak luar biasa lainnya.
  5. Peeneriman yang diperoleh dari penjualan oblogasi saham dan penyetoran dana oleh para pemilik perusahaan.
  6. Penerimaan pinjaman jangka panjang dan jangka pendek yang diperoleh dari bank atau pihak lain.
  7. Pinjaman yang dijamin dengan hipotek atas aktiva tetap dan aktiva tak lancar.
  8. Penjualan piutang dengan jalan penjualan biasa/ dengan factoring (penjualan dengan cara penjualan faktur, pemberian kredit, diserahkan pada lembaga keuangan).
  9. Kredit pelanggan. 

Munawir (2014) menyimpulkan bahwa modal kerja tersebut akan bertambah apabila:

  1. Adanya kenaikan sektor modal baik yang berasal dari laba maupun adanya pengeluaran modal saham atas tambahan investasi dari pemilik perusahaan. 
  2. Ada pengurangan atau penurunan aktiva tetap yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva tetap maupun melalui proses despresiasi.
  3. Ada penambhan hutnang jangka panjang maupun dari bentuk obligasi, hipotek atau hutang jangka panjang lainnya yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva lancar.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Modal Kerja

Nilai penggunaan modal kerja yang digunakan setiap hari oleh perusahaan tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun ada beberapa faktor penting yang harus diperhatikan dan menjadi fokus bagi perusahaan mempertahankan stabilitasnya. Menurut pendapat Munawir (20014) modal kerja dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor penting diantanya adalah:

  1. Sifat, karakteristik dan tipe perusahaan. Nilai modal kerja suatu perusahaan bisnis atau dagang relative lebih rendah bila dibandingkan dengan modal kerja perusahaan industri yang membutuhkan modal lebih besar untuk membeli bahan baku, karena tidak memerlukan investasi yang besar dalam kas untuk menjalankan operasionalnya, piutang usaha maupun persediaan barang dan kebutuhan uang tunai pada kas perusahaan dagang. Untuk pembelanjaan operasi dapat dipenuhi melalui penghasilan atau penerimaan saat itu juga ketika terjadi transaksi.
  2. Tingkat usaha yang dubutuhkan untuk memperoleh atau memproduksi barang dan jasa yang akan dijual serta harga per satuan. Kebutuhan modal kerja suatu perusahaan sangat erat kaitannya dengan waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memperoleh barang atau jasa yang akan dijual, begitu juga dengan bahan baku yang akan diproduksi sampai barang itu siap untuk dijual. Semakin panjang proses dan waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi atau memperoleh barang dan jasa tersebut maka semakin besar pula modal kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan dalam oprasionalnya. Disamping itu harga pokok per satuan barang yang dijual juga mempengaruhi besar kecilnya modal kerja yang dibutuhkan. Semakin besar harga pokok per satuan barang dan jasa yang akan dijual maka semakin besar pula kebutuhan modal kerjanya.
  3. Syarat pembelian bahan baku. Adaanya syarat pembelian bahan baku yang akan digunakan untuk memproduksi jasa atau barang dagang berkaitan erat dengan jumlah modal kerja yang dibutuhkan untuk perusahan yang bersangkutan dalam prosesnya. Jika mekanisme syarat yang ditempuh pada waktu dilakukan pembelian menguntungkan maka akan semakin sedikit dana yang diinvestasikan dalam persedian bahan baku atau barang dagangan tersebut. Namun sebaliknya apabila pembayaran atas bahan atau barang yang akan dilakukan pembelian tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu pendek maka uang kas diperlukan untuk membiayai proses tersebut akan semakin besar pula.
  4. Syarat penjualan kepada pelanggan. Dengan semakin lunak kredit yang diberikan oleh perusahaan kepada para pembeli atau konsumen akan menyebabkan semakin besar jumlah modal kerja dari perusahaan tersebut yang harus diinvestasikan pada sektor pos piutang. Untuk menurunkan jumlah modal kerja yang harus diinvestasikan maka yang harus di sektorkan dalam bentuk piutang dan untuk memperkecil resiko adanya piutang yang akan tartagih sebaiknya perusahaan memberikan potongan tunai kepada para pembeli atau konsumen, karena dengan demikian pembeli akan tertarik untuk segera membayar utangnya dalam periode diskon tersebut.
  5. Tingkat pertukaran persedian (inventory turnover). Pertukaran persediaan pada perusahaan menunjukan berapa kali persediaan tersebut diganti dalam jangka waktu tertentu, semakin tinggi tingkat pertukaran persediaan barang dan bahan baku maka jumlah modal kerja perusahaan yang diinvestasikan dalam komponen persediaan semakin rendah. Untuk dapat menemukan tingkat perputaran persediaan yang tinggi tersebut maka harus diadakan perencanaan persediaan dan pengendalian persediaan secara teratur dan efisien oleh manajemen. Semakin cepat wktu ang dibutuhkan atau semakin tinggi tingkat perputaran persediaan akan memperkecil resiko terjadinya kerugian yang disebabkan penurunan mutu barang atau karena perubahan selera konsumen pada jangka waktu tersebut, disamping menghemat ongkos menyimpan dan pemeliharaan terhadap persediaan barang tersebut.

Manfaat Modal Kerja

Modal kerja perusahaan disarankan sebaiknya tersedia dalam jumlah dan nilai yang besar agar memberikan peluang bagi perusahaan untuk dapat beroperasi secara efisien dan tidak mengalami kekurangan atau kesulitan keuangan pada saat berjalan. Menurut pendapat Jumingan (2001) berikut ini adalah manfaat modal kerja yang jumlahnya besar dan cukup untuk menjalankan operasional:

  1. Memberikan perlindungan kepada perusahaan dari dampak negatif turunnya nilai aktiva lancar, misalnya adanya kerugian karena debitur tidak membayar, turunnya nilai persediaan karena harganya merosot.
  2. Memberikan peluang kepada perusahaan untuk melunasi hutang dan kewajibannya dalam jangka pendek dan tepat pada waktunya.
  3. Memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat membeli faktor produksi atau barang dengan metode tunai sehingga memperoleh keuntungan dari potongan harga.
  4. Memberikan jaminan kepada perusahaan untuk memiliki reputasi kredit (credit standing) yang baik dan dapat mengatasi beberapa peristiwa yang tidak diduga seperti kecelakaan kerja, kerusakan infrastruktur, kebakaran bangunan, pencurian dan lain-lain.
  5. Memungkinkan bagi perusahaan untuk memiliki persediaan dalam nilai yang besar guna memberikan pelayanan permintaan dari konsumen.
  6. Memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat memberikan atau menegosiasikan syarat kredit yang menguntungkan kepada pelanggan sehingga meningkatkan penjualan secara signifikan.
  7. Memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat beroperasi lebih efisien karena tidak ada kesulitan pada saat memperoleh bahan baku produksi, jasa, dan pada saat proses suplai.
  8. Memungkinkan bagi perusahaan untuk mampu bertahan dalam kondisi ekonomi resesi atau depresi. 
Sumber Pustaka:
  • Amin, Widjaja Tunggal, 2000. Dasar-Dasar Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: Rineka Cipta
  • Atmaja Lukas Setia, 2008, Teori dan Praktek Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Penerbit Andi
  • Jumingan. 2011. AnalisisLaporanKeuangan. Jakarta: BumiAksara.
  • Myers, S. c., 1984, Capital Structure Puzzle, Journal of Finance, 39 (3), pp 575-592.
  • Munawir, 2014, Analisis Laporan Keuangan, Penerbit Liberty, Yogyakarta
  • Riyanto,Bambang. 2008. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Ed Keempat, Cetakan Kedelapan.Yogyakarta:BPFE
  • Sutrisno (2006), Akuntansi Penyusunan Laporan Keuangan, Jakarta, Salemba Empat.

 

Analisis tendensi atau kecendrungan adalah ulasan mendalam mengenai suatu fenomena yang disajikan secara kualitatif ataupun kuantitatif yang berlandasrkan ikhtisar data secara sederhana dan pola data tertentu. Sebelum memahami teknik analisis tendensi yang paling umum digunakan dalam akademis maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai karya ilmiah itu sendiri. Karya ilmiah pengertian yang paling sederhana merupakan karya tulis yang memiliki bobot atau intisari akademis, dimana didalamnya memuat organisasi tulisan, substansi masalah, akurasi data, dan penyajian. Karya ilmiah juga sering disebut sebagai karya tulis akademik (Barnawi dan M Arifin, 2015:18).

Sumber Ilustrasi: www.atavacations.com

Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari ”Guidance” berasal dari kata kerja ”to guide” yang mempunyai arti menunjukkan, membimbing, menuntun, ataupun membantu. Sesuai dengan istilahnya, maka secara umum bimbingan dapat diartikan sebagai suatu bantuan atau tuntunan (Hellen, 2003:3). Namun meskipun demikian, tidak berarti semua bentuk bantuan atau tuntunan adalah bimbingan.
Definisi bimbingan yang pertama dikemukakan dalam Year’s Book of Education 1955, yang menyatakan: Guidance is a process of helping individual through their own effort to discover and develop their potentialities both for personal happiness and social usefulness.
Bimbingan adalah suatu proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial (Hellen, 2002:3). Bimbingan merupakan pemberian bantuan oleh seseorang kepada orang lain dalam menentukan pilihan, penyesuaian, dan pemecahan masalah (Hellen, 2002:3).
Para ahli memiliki pengertian yang beragam untuk memahami pengertian bimbingan, namun peneliti hanya mengambil beberapa diantaranya,. Surya (2002;6) mengemukakan definisi bimbingan sebagai berikut:
“Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.”
Miller (1961) dalam Surya (2002), menyatakan bahwa bimbingan merupakan proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimal kepada sekolah (dalam hal ini termasuk madrasah), keluarga dan masyarakat.
Sementara Rohman Natawidjaja (2008:37) mengartikan bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dan kehidupan pada umumnya.
Adapun pengertian konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Rogers (1942) mengemukakan pengertian konseling adalah serangkaian hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkahlakunya.
Bimbingan dan konseling adalah proses pemberian bantuan yang terarah, kontinyu dan sistematis kepada setiap siswa agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal dengan cara menginternalisasikan kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.
Dengan demikian bimbingan konseling mempunyai pengertian sebagai suatu bantuan yang diberikan oleh seorang pembimbing kepada orang lain (klien) dengan harapan klien tersebut dapat memecahkan masalahnya dan dapat memahami dirinya dan mengarahkan dirinya sesuasi dengan kemampuan dan potensinya sehingga mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dari uraian di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa bimbingan dan konseling sangat perlu diberikan kepada siswa agar tercapainya kemandirian dalam pemahaman diri serta dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya, dan untuk membantu peserta didik agar mampu mencegah dan menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya serta mengatasi masalah yang dialaminya.

Tujuan Bimbingan Konseling
Tujuan bimbingan dapat dibedakan atas tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara adalah: supaya orang bersikap dan bertindak sendiri dalam situasi hidupnya sekarang ini, misalnya melanjutkan atau memutuskan hubungan percintaan, mengambil sikap dalam pergaulan, mendaftarkan diri pada fakultas perguruan tinggi tertentu. Tujuan akhir ialah: supaya orang mampu mengatur kehidupannya sendiri, mengambil sikap sendiri, mempunyai pandangan sendiri dan menanggung sendiri konsekuensi atau resiko dari tindakan-tindakannya. Diharapkan supaya orang yang dibimbing sekarang ini akan berkembang lanjut, sehingga semakin memiliki kemampuan berdiri sendiri (Winkel, 1987:17).
Adapun menurut Paimun tujuan umum dari bimbingan dan konseling yaitu mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan pendidikan, yaitu tercapainya perkembangan kepribadian yang optimal dan harmonis diantara unsur-unsurnya yang meliputi fisik, mental, emosional, sosial, dan moral, bahkan spiritual (religius). Apabila kepribadian telah berkembang secara optimal dan harmonis maka peserta didik dapat dikatakan telah dewasa. Tujuan pendidikan adalah kedewasaan, sedangkan tujuan bimbingan adalah kemandirian. Dalam ilmu pendidikan orang dewasa adalah orang yang sudah mampu mandiri. Orang yang sudah mandiri adalah orang yang sudah mampu bertanggung jawab (Paimun, 2008:20).

Jenis-Jenis Layanan Dalam Bimbingan Konseling
Adapun jenis-jenis layanan bimbingan dan konseling dalam meningkatkan motivasi belajar siswa yang akan penulis sampaikan yaitu mencakup beberapa hal sebagai berikut:

a.    Layanan Orientasi
Layanan orientasi yaitu layanan bimbingan yang dilakukan untuk memperkenalkan siswa baru dan atau seseorang terhadap lingkungan yang baru dimasukinya.33 Adapun pelayanan yang dapat diberikan antara lain orientasi kehidupan di sekolah yang lebih tinggi, misalnya kehidupan di sekolah menengah (struktur sekolah, peraturanperaturan sekolah, kewajiban-kewajiban siswa, mata-mata pelajaran, penjurusan di SMA). Apabila siswa telah dikenalkan dengan pilihan sekolah lanjutan maka siswa dapat mengetahui mana yang lebih cocok dan mana yang tidak cocok dengan dirinya, kemudian dengan pilihan sekolah lanjutan yang cocok dengan bakat dan minatnya maka akan dapat menimbulkan motivasi.
Pelayanan ini sangat bermanfaat karena siswa memperoleh pengalaman-pengalaman praktis sebelum mereka terjun ke lapangan kerja atau masyarakat yang sebenarnya. Mereka yang telah melakukan orientasi biasanyan tidak canggung lagi menghadapi situasi yang sebenarnya yang akan mereka alami dan tidak belajar terlalu banyak dalam situasi baru yang mereka masuki, karena dalam orientasi mereka sudah belajar melakukan adjustment.

b.    Layanan Informasi
Layanan informasi yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi seperti informasi belajar, sosial, karir atau jabatan, dan pendidikan lanjutan. Layanan ini bertujuan agar para siswa mengetahui cara-cara belajar yang efektif, jenis-jenis sekolah untuk melanjutkan pendidikan, jenis-jenis jabatan/pekerjaan yang ada dalam masyarakat, serta jenis-jenis organisasi atau lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat untuk selanjutnya bagi mereka yang berpotensi, berbakat dan berminat dapat merencanakan untuk memasukinya apabila telah selesai menempuh pendidikan yang sekarang sedang berlangsung. Manfaat pelayanan informasi sangat besar, terutama karena pelayanan tersebut dapat mendorong motivasi untuk melanjutkan pelajaran, menambah kemampuan dan keterampilan serta memilih pekerjaan yang sesuai dengan cita-citanya, membantu menyalurkan bakat dan cita-cita siswa, menunjang keberhasilan belajar, membantu merencanakan dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan bakat, latar belakang pendidikan dan kepribadiannya.

c.    Layanan Penempatan dan Penyaluran.
Layanan penempatan dan penyaluran yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan atau program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstrakurikuler.36 Layanan ini bertujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Manfaat pelayanan penempatan dan penyaluran adalah membantu siswa agar dapat berhasil dalam belajar, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, dapat mengembangkan potensi dan bakat siswa serta menunjang tercapainya cita-cita. Siswa yang memperoleh pelayanan penempatan dan penyaluran yang tepat memungkinkan dia meningkatkan motivasinya untuk belajar agar dapat meneruskan pendidikannya dengan sukses dan dapat menduduki jabatan (pekerjaan) secara professional yang akan mengantarkannya kepada kesejahteraan dalam pekerjaannya.

d.    Layanan Penguasaan Konten
Layanan penguasaan konten yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah atau madrasah, keluarga dan masyarakat. Layanan ini memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik.

e.    Layanan Konseling Perorangan
Layanan konseling perorangan yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya. Layanan ini memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan yang menghambat perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Pelayanan konseling merupakan pelayanan dan sekaligus merupakan teknik bimbingan dan konseling. Pelayanan konseling perorangan biasanya diberikan kepada siswa yang memiliki permasalahan pribadi. Jadi apabila permasalahan telah diatasi, maka siswa dapat meningkatkan motivasi belajarnya sesuai dengan arahan yang diberikan oleh guru bimbingan dan konseling selama proses konselimg berlangsung.

f.     Layanan Bimbingan Kelompok.
Layanan bimbingan kelompok yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir atau jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan ini bertujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Kegiatan kelompok merupakan teknik yang baik dalam bimbingan, karena kelompok memberikan kesempatan kepada individu untuk berpartisipasi dengan sebaik-baiknya. Banyak kegiatan tertentu yang lebih berhasil jika dilakukan dalam kelompok. Untuk mengembangkan bakat-bakat dan menyalurkan dorongan-dorongan dapat dilakukan melalui kegaiatan kelompok. Dengan kegiatan ini setiap anak mendapat kesempatan untuk meyumbangkan pikirannya, juga dapat mengembangkan rasa tanggung jawab. Dengan adanya rasa tanggung jawab maka dapat menimbulkan semangat dan motivasi dalam belajar.

g.    Layanan Konseling Kelompok
Layanan konseling kelompok yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan ini memungkinkan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok misalnya memberikan layanan konseling kepada sekelompok siswa yang tawuran, menggunakan narkoba, dan sebagainya. Apabila masalah tersebut telah teratasi dan siswa menyadari bahwa perlunya untuk meninggalkan masalah tersebut maka timbul motivasi untuk belajar lebih giat.

h.    Layanan Konsultasi.
Layanan konsultasi yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik. Bagi siswa yang mengalami masalah belajar bisa konsultasi dengan guru BK, misalnya kesulitan dalam mengingat pelajaran, kesulitan cara membagi waktu belajar, kesulitan dalam menyusun jadwal kegiatan belajar. Dengan adanya layanan konsultasi ini memungkinkan siswa diberikan motivasi atau solusi yang benar sehingga dapat mengurangi masalah yang dialami para siswa.

Sumber Pustaka:
Hallen, 2002. Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Ciputat Pers.
Surya, Moh. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance &  Counseling), Bandung: C.V ilmu.
Paimun. 2008. Bimbingan dan Konseling Sari Perkuliahan, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Rohman, 2008. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Kencana.
Winkel, W.S. 1987, Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah, Jakarta: PT Gramedia.