Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah suatu model belajar yang dikembangkan dengan tujuan adanya kolaborasi antar siswa didalam satu kelompok serta mengutamakan integrasi pemahaman sesuai tujuan pembelajaran sehingga penyampaian pendidikan akan lebih efektif dan efisien. Menurut para ahli pendidikan meyakini bahwa model pembelajaran kooperatif sangat efektif dalam mengejar ketertinggalan pemerataan pendidikan yang memiliki ketimpangan seperti pada saat ini. Tidak hanya itu, perbedaan kemampuan masyarakat dalam hal ekonomi yang signifikan, menjadi salah satu kendala pemerataan aksesibilitas masyarakat untuk mengakses pendidikan secara merata. Dengan model pembelajaran kooperatif diharapkan dapat menciptakan interaksi antar siswa dari berbagai tingkat berfikir, latar belakang dan karakter.

Sebelum melangkah lebih jauh mengenai konsep dasar pembelajaran kooperatif ada baiknya anda mempelajari sekilas teori dasar model pendidikan tersebut yang sudah diimplementasikan pada postingan sebelumnya. Kita akan membahas lebih lengkap mengenai definisi atau pengertian model pembelajaran kooperatif tersebut serta tujuan dan latar belakangnya sehingga penting sekali model pembelajaran semacam ini untuk siswa maupun tenga pengajar.

Pengertian dan Definisi Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut pendapat Menurut Slavin (2011), pembelajaran kooperatif adalah sebuah model lingkungan belajar yang dikembangkan dengan cara memerintahkan peserta didik untuk bekerjasama dalam suatu kelompok belajar yang tentunya memiliki kemampuan beraneka ragam sehingga diharapkan memiliki kemampuan menyelesaikan berbagai pemahaman dan tugas-tugas akademik sesuai tujuan pendidikan yang diharapkan. Menurut slavin disini mengutamakan pemahaman konsep belajar dimana siswa akan tertarik menyampaikan kemampuan yang dimilikinya untuk dipelajari oleh siswa lain sehingga terjadi pertukaran pemikiran yang dinamis dan tidak dibatasi.

Berbeda dengan pendapat Lie (2004) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model strategi pembelajaran pada saat proses pembelajaran yang dilakukan oleh tenaga pendidik (guru) dimana pada model pembelajaran ini membutuhkan partisipasi dan kerjasama antar siwa dalam kelompok yang dibentuk. Dengan adanya kerjasama tersebut diharapkan dapat meningkatkan efktifitas proses pendidikan yang dilalui peserta didik sehingga menjadi lebih baik dan menanamkan sikap kolaboratif dalam berperilaku sosial antar siswanya.

Menurut Slavin (2011) menambahkan pada pemahaman mengenai model ini dimana pembelajaran kooperatif adalah model belajar pada lingkungan dimana semua peserta didik bekerjasama dalam suatu kelompok yang dibentuk dari individu yang memiliki kemampuan beragam untuk menyelesaikan tugas akademik sesuai kurikulum yang telah ditetapkan. Pendapat Slavin ini cenderung menempatkan model pembelajaran kooperatif sebagai instrumen akademik untuk mencapai tujuan pendidikan.

Berdasarkan beberapa pengertian serta definisi yang dijelaskan mengenai model pembelajaran kooperatif menurut para ahli tersebut di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pada intinya pembelajaran semacam ini melibatkan kelompok pembelajaran yang terdiri dari beberapa individu siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda dengan harapan terjadinya interaksi pendidikan bukan hanya antar tenaga pendidik dan siswa namun juga adanya interaski positif antar siswa itu sendiri. Namun menurut saya pribadi model pembelajaran kooperatif merupakan pengembangan yang lebih sarat akan pesan akademik dari konsep belajar kelompok yang sudah ada beberapa dekade sebelumnya.

Ada juga beberapa teori para ahli yang harus dipertimbangkan dalam memahami lebih jauh dan mendasari pembelajaran kooperatif ini, dua diantaranya yaitu:

  1. Teori Pembelajaran Ausabel. Pembelajaran ini memandang subjek yang dipelajari peserta didik mestilah memiliki makna yang berarti (meaning full). Maksud dari pembelajaran yang bermakna tersebut adalah makna yang berarti akan terjadi pada kelompok belajar yang mengimplementasikan kooperatif dengan syarat apabila siswa mampu menghubungkan antara fenomena baru pada ilmu pengetahuan ke dalam struktur pengetahuan yang mereka miliki (Sagala, 2004)

  2. Teori pembelajaran Vygotsky. Vygotsky berpendapat bahwa pada model kooperatif terdapat hubungan secara langsung antara domain kognitif siswa yang menjadi anggota kelompok tersebut dengan sosio budaya lingkungannya. Pada model ini Vygotsky menyatakan bahwa kualitas berfikir siswa dibina dan dikembangkan dalam media ruangan belajar berbentuk kerjasama sesama mereka yang lebih mampu, dibawah bimbingan pendidik (Nurwahyuni, 2007).

Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif

Setidaknya pada karakter model pembelajaran kooperatif harus ada beberapa peserta didik dalam satu kelompok. Peserta didik adalah siswa yang melakukan proses pembelajaran di dalam kelompok belajar yang telah ditentukan. Proses pengelompokan peserta didik itu sendiri biasanya ditetapkan oleh tenaga pengajar yang kompeten memahami model pembelajaran berdasarkan beberapa pendekatan, diantaranya yaitu pengelompokan berdasarkan perbedaan bakat siswa, latar belakang kemampuan pribadi (Skill) dan minat siswa akan sesuatu yang positif.

Model pembelajaran kooperatif memiliki aturan kelompok yang dsepakati oleh seluruh peserta didik yang dipandu oleh tenaga pengajar. Aturan kelompok tersebut merupakan suatu nilai perilaku yang disepakati oleh semua pihak yang terlibat baik itu adalah siswa sebagai anggota kelompok maupun tenaga pengajar yang mendampingi kelompok belajar tersebut. Misalnya aturan tentang aturan jam pelajaran, keterlambatan, aturan berbicara dan aturan lain yang berkaitan dengan perilaku siswa yang perlu diarahkan secara positif.

Karakteristik lainnya adalah adanya upaya dan kesadaran untuk belajar pada setiap anggota kelompok. Upaya belajar adalah usaha yang dilakukan siswa untuk meningkatkan pengetahuan dalam koridor pendidikan melalui belajar bersama dan kesadaran akan melibatkan dirinya dalam aktivitas belajar bersama. Berbagai macam hal yang ia hadapi dalam proses pembelajaran kooperatif adalah nilai positif yang harus dimaknai dengan baik sehinga mengembangkan sikap dan cara berfikirnya. Pada prakteknya di dalam kelompok belajar tesebut dapat dilakukan dengan saling tukar pikiran, pengalaman, maupun gagasan-gagasan yang diutarakan. Untuk meningkatkan daya minat akan kesadaran untuk memperoleh pemahaman baru maka tenaga pengajar (guru) bisa mengarahkan siswanya pada teknik penyelesaian masalah yang lebih konkret.

Setiap proses dalam menjalankan pembelajaran tentunya harus disertai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ini dimaksudkan untuk memberi arah kepada peserta didik untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang pada akhir proses dapat menghasilkan satu kesimpulan. Menurut pendapat Arisanti (2015) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran kooperatif (cooperative learning) tersebut mempunyai 2 (dua) komponen utama, yang harus dipenuhi yaitu komponen tugas kooperatif (cooperative task) yang berkaitan dengan penyebab anggota bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai macam tugas kelompoknya dan komponen struktur insentif (cooperative incentive structure) merupakan sesuatu hal yang menimbulkan motivasi belajar bagi individu untuk bekerja sama mencapai target yang ditetapkan sebelumnya oleh kelompok.

Selain memiliki kuntungan pemerataan dalam proses pembelajaran, maka pembelajaran kooperatif (cooperative learning) memiliki dampak lainnya yang tidak, yaitu berupa peningkatan prestasi belajar peserta didik (student achievement), peningkatan hubungan atau relasi sosial dengan teman, keterbukaan, peningkatann kepercayaan diri, peningkatan berfikir akademik, sikap menghargai terhadap waktu, dan dorongan sikap untuk memberi pertolongan kepada sesama anggota belajar lain. Hal inilah yang menyebabkan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) berbeda dengan model pembelaaran lainnya. Apabila kita melihat dari perspektif sosial, model pembelajaran kooperatif akan menciptakan hubungan sosial antar setiap peserta didik untuk dapat saling membantu dalam proses belajar karena maing-masing peserta didik dalam kelompok belajar tersebut menginginkan semua anggota memperoleh keberhasilan (Sanjaya, 2006). Diperkuat dari pandangan lain yaitu dilihat dari perspektif motivasi, dimana penghargaan hanya diberikan kepada kelompok sehingga mendorong setiap anggota kelompok untuk saling membantu satu sama lain. Dengan demikian, setiap siswa pada model embelajaran kooperatif akan menyadari bahwa makna dari keberhasilan adalah keberhasilan bagi kelompoknya dan bukan keberhasilan pribadi semata.

Berdasarkan uraian di atas maka karakteristik model pembelajaran kooperatif dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Pembelajaran dilakukan secara tim atau kerja sama tim. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah pembelajaran yang dilakukan secara tim yang terdiri dari beberapa orang, sedangkan tim tersebut merupakan tempat mencapai tujuan. Oleh sebab itu, semua anggota tim harus mampu belajar dan saling membantu untuk kepentingan pembelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif (cooperative learning) setiap siswa yang menjadi anggota kelompok bersifat heterogen atau berbeda-beda. Artinya anggota kelompok terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang yang berbeda-beda. Semua aspek yang diterapkan dalam pembelajaran kooperatif dimaksudkan agar setiap anggota kelompok dapat saling memberikan pengalaman positifnya, saling memberi dan menerima, sehingga diharapkan setiap anggota kelompok dapat saling memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kelompok itu sendiri.

  2. Dalam pembelajaran kooperatif, pihak manajemen mempunyai empat fungsi pokok, yaitu: (1) Demonstrasi perencanaan menunjukkan bahwa perencanaan pembelajaran kolaboratif yang cermat diperlukan untuk melaksanakan proses pembelajaran secara efektif. Misalnya, tujuan apa yang ingin dicapai, bagaimana cara mencapainya, apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, dll. (2) Kinerja organisasi menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif merupakan tindakan yang dilakukan oleh semua anggota kelompok. Oleh karena itu, perlu didefinisikan peran dan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok. (3) Mendefinisikan kriteria akurasi tes dan non-tes membutuhkan demonstrasi kontrol simbolik dalam pendekatan partisipatif.

  3. Kemampuan berkolaborasi Karena keberhasilan kolaborasi bergantung pada keberhasilan kelompok, maka prinsip kolaborasi harus ditekankan dalam proses pembelajaran berkolaborasi. Anda perlu membantu satu sama lain serta menentukan peran dan tanggung jawab setiap anggota grup. Misalnya, orang bijak cenderung tidak dibantu oleh orang bijak.

  4. Kemampuan untuk bekerja sama dipraktikkan melalui aktivitas. Oleh karena itu, siswa harus dipersiapkan dan didorong untuk berkomunikasi dengan anggota lainnya. Siswa membutuhkan bantuan untuk mengatasi berbagai hambatan interaksi dan komunikasi sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan idenya, mengemukakan pendapat, dan berkontribusi bagi keberhasilan kelompok.

Tujuan Adanya Pembelajaran Kooperatif

Beberapa tahun kebelakang dan mungkin saya sendiri masih merasakannya, kita mengenal konsep belajar kompetisi. Saya bisa mengatakan bahwa model pembelajaran semacam ini merupakan konsep pendidikan tradisional yang tentunya sudah tidak relevan dengan tujuan pendidikan di masa sekarang. Dengan kompetisi kita tidak bisa meratakan kemampuan siswa yang tentunya memiliki kemampuan akses informasi pendidikan yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan ekonominya. Akibat dari sistem tersebut maka siswa dengan latar belakang ekonomi yang rendah akan menjadi marjinal dalam akses terhadap pendidikan. Tentunya tujuan pembelajaran kooperatif sangat berbeda dengan sistem pembelajaran tradisional tersebut yang sebelumnya menerapkan sistem kompetisi, dengan implementasi pembelajaran kooperatif ini diharapkan menciptakan situasi di mana sebuah keberhasilan dari individu siswa hanya ditentukan oleh keberhasilan dari performa kelompoknya.

Berdasarkan misi pemerintah dalam memecahkan permasalahan pendidikan dan mengejar ketertinggalan dalam hal kualitas pendidikan yang layak maka bisa kita rumuskan tujuan model pembelajaran kooperatif ini yaitu untuk meningkatkan hasil belajar akademik siswa. Pembelajaran yang bersifat partisipatif mengejar berbagai tujuan sosial, tetapi meningkatkan prestasi siswa dan program akademik penting lainnya. Pembelajaran dengan konsep kolaboratif juga bermanfaat bagi siswa tingkat rendah, menengah, dan tinggi karena dapat menyelesaikan masalah melalui kerjasama serta konseling antar teman sebaya.

Pembelajaran kooperatif memungkinkan setiap siswa menerima ide yang berbeda dari teman sebayanya di dalam kelompok belajar tersebut. Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah untuk merangkul orang lain yang berbeda latar belakang ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan kecacatan, serta bekerja sama untuk memecahkan masalah sekolah. Siswa saling menghormati melalui struktur penghargaan.

Model pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan pengembangan keterampilan sosial. Hal ini berarti bahwa anda dapat memberikan keterampilan kolaborasi kepada siswa. Siswa harus memiliki keterampilan sosial yang penting karena banyak anak muda yang masih kurang memiliki keterampilan sosial.

Tujuan lain dari pembelajaran kooperatif yaitu mendorong siswa agar mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda. Dengan pembelajaran kooperatif ini akan mendorong prilaku siswa yang menjadi peserta didik untuk dapat saling menghargai pendapat kemudian juga memiliki kemampuan saling memberikan kritik atas kesalahan-kesalahan secara positif, mencari jawaban yang paling tepat sesuai kaidah akademik dan dapat dipertanggung jawabkan menggunakan sumber-sumber pembelajaran relevan seperti buku dan reverensi pelajaran lainnya yang ada di internet untuk dijadikan landasan yang tepat pada saat mencari jawaban yang baik dan benar. Hal ini juga dilakukan untuk memperoleh pemahaman terhadap bahan ajar yang disediakan pada silabus tenaga pengajar sehingga siswa mampu dengan baik memperdalamnya dalam waktu yang lebih cepat (Ramayulis, 2013).

Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif

Unsur dasar yang paling penting dalam pembelajaran kooperatif adalah saling ketergantungan yang bersifat positif antara satu siswa dengan siswa lain, dimana pada model ini akan menuntut interaksi promotif dan saling memberikan motivasi untuk mencapai tujuan akademik yang optimal. Kita bisa mencontohkan dengan ilustrasi bahwa masing-masing siswa akan tergantung kepada anggota lain karena memiliki tugas pelajaran yang berbeda sesuai kesepakatan dan proporsinya. Apabila salah satu siswa tidak mengerjakan maka tugas kelompoknya dianggap belum selesai.

Karena adanya kesadaran akan ketergantungan itulah yang secara efektif menumbuhkan rasa tanggung jawab pada setiap siswa. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan seorang siswa terhadap materi pelajaran yang telah diberikan. Hasil penilaian dikomunikasikan kepada kelompok oleh guru sehingga semua kelompok mengetahui anggota kelompok mana yang membutuhkan bantuan dan siapa yang dapat memperoleh bantuan. Setiap siswa secara otomatis diberikan kegiatan yang berbeda, dan setiap anggota kelompok memiliki keterampilan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya, sehingga siswa tersebut bertanggung jawab atas kegiatan tersebut.

Untuk interaksi tatap muka, siswa harus dapat berkomunikasi dengan sesama siswa dan guru secara berkelompok. Jenis interaksi ini memungkinkan peserta didik menjadi sumber belajar bagi individu siswa itu sendiri, sumber belajar yang lebih beragam, dan pembelajaran yang lebih mudah bagi peserta didik. Dalam konflik tatap muka, siswa penyandang disabilitas melakukan tugas individu dalam kelompok, dan siswa lainnya melakukan tugas kelompok untuk mendukung dengan lebih baik.

Pembelajaran partisipatif yang dilakukan setidaknya dapat memberikan keterampilan sosial, toleransi, kritik positif kepada teman, keberanian untuk berpikir logis, tidak ada kontrol atas orang lain, kemandirian untuk membangun hubungan interpersonal, dan sifat berguna lainnya dari pembelajaran ini. Komponen ini juga menuntut siswa untuk memiliki keterampilan komunikasi lainnya. Tidak semua siswa memiliki keterampilan menyimak dan berbicara, sehingga guru harus belajar berkomunikasi sebelum ditugaskan ke dalam suatu kelompok. Keberhasilan kelompok tersebut tergantung pada kesediaan anggota untuk mendengarkan satu sama lain dan kemampuan mereka untuk mengungkapkan pendapat mereka. Kadang-kadang perlu untuk memberi tahu siswa dengan jelas bagaimana melawan orang lain tanpa mengganggu mereka.

Guru hendaknya memberikan waktu kepada kelompok untuk mengevaluasi hasil kerja tim dan proses kolaborasi sehingga kelompok dapat menilai dan mengembangkannya sendiri dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak diperlukan setiap kali tugas kelompok dibuat. Namun, hal ini dapat terwujud seiring waktu setelah banyak siswa berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran bersama. (Suprijono, 2013).

Tipe Pembelajaran Kooperatif

Walaupun sebetulnya tipe pembelajaran kooperatif masih terus dikembangkan dan masih memiliki banyak tipe-tipe lainnya namun pada artikel kali ini saya akan menjelaskan 4 (empat) tipe utama yang biasa diimplementasikan dalam kegiatan belajar, yaitu STAD, struktural, jigsaw dan investigasi kelompok. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing tipe tersebut:

1. Tipe Student Team Achievement Division (STAD)

Sekilas mengenai sejarah Student Team Achievement Division (STAND) dimana tipe ini pertama kali dikembangkan oleh Robert Slavin dari Universitas John Hopkin. model Student Team Achievement Division (STAND) ini merupakan perubahan lebih baik dari model pembelajaran kooperatif yang paling banyak diteliti sebelumnya. Model ini juga sangat mudah diadaptasi, diterapkan, dan telah digunakan dalam berbagai mata pelajaran di banyak sekolah-sekolah.

Student Team Achievement Division (STAND) diterapkan dengan cara siswa dikelompokkan secara acak dan beragam kemudian siswa yang dianggap lebih pandai akan menjelaskan kepada siswa lain sampai mengerti. Kelebihan dari penerapan tipe Team Achievement Division (STAND) ini yaitu dimana seluruh siswa menjadi lebih siap dan melatih kerjasama dengan baik. Sedangkan kelemahannya adalah apabila semua anggota kelompok mengalami kesulitan dalam mempelajari suatu materi maka tenaga pengajar harus siap memberikan pemahaman lebih.

2. Tipe Pendekatan Struktural

Dilihat dari sejarahnya bahwa tipe pendekatan struktural yang dikembangkan oleh Spenser dan Miguel Kagan ini mengubah anggapan yang menyatakan bahwa metode resitasi dan diskusi perlu diselang dengan setting kelompok kelas secara keseluruhan. Tipe pendekatan struktural dapat dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran kepada siswa kemudian diberi waktu untuk beberapa saat untuk dapat memikirkan sendiri jawabannya. Selanjutnya siswa diminta untuk mendiskusikan dengan kelompoknya tersebut.

Interaksi pada diskusi tersebut dapat menghasilkan sebuah jawaban yang diakui bersama berdasarkan identifikasi oleh kemampuan berfikir siswa masing-masing. Tidak cukup hanya itu, langkah selanjutnya adalah membawa hasil jawaban ke forum yang lebih luas yaitu di depan kelas. Pada tahap ini semua ide akan terkumpul dan mungkin diantaranya ada beberapa kelompok yang sepakat namun juga memungkinkan adanya temuan ide baru atas pemikiran dari kelompok lain yang dibagikan bersama.

3. Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dikembangkan oleh Elliot Aronson di Universitas Texas, dimana dalam tipe ini tenaga pengajar membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen informasi yang lebih kecil. Langkah selanjutnya kemudian tenaga pengajar membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok belajar yang terdiri dari empat orang anggota sehingga setiap anggota tersebut bertanggung jawab terhadap kemampuan penguasaan setiap topik yang diberikan sebaik mungkin. Siswa yang berasal dari dari masing-masing kelompok kooperatif yang bertanggung jawab terhadap sebuah topik yang sama membentuk lagi sebuah kelompok yang hanya terdiri dari dua atau tiga orang.

Ada beberapa hal yang menjadi tugas siswa dalam kooperatif tipe ini yaitu siswa belajar menjadi seorang yang ahli dalam sebuah topik, kemudian memikirkan bagaimana mengajarkannya atau menyampaikan informasi yang ia miliki kepada kelompok lain. Pada tipe ini siswa di tuntut untuk menguasai sebuah bidang atau topik pembahasan secara spesifik dan dituntut pula menyampaikan kepada teman-temannya.

4. Tipe Investigasi Kelompok (Group Investigation)

Tipe pembelajaran kooperatif ini dikembangkan oleh Herbert Thelen kemudian dikembangkan menjadi lebih baik oleh Sharan dkk di Universitas Tel Aviv. Tipe ini mendorong para siswa yang terlibat dalam kelompok belajar untuk memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan komunikasi ketrampilan pengelolaan kelompok (group process skills). Pada tipe investigasi kelompok, tenaga pengajar membagi siswa dalam kelas menjadi beberapa kelompok belajar yang terdiri dari 4-6 anggota saja dengan pertimbangan bahwa siswa tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dari berbagai sisi. Siswa ditugaskan untuk mempelajari sebuah topik pembahasan secara mendalam dan menyiapkan presentasi di depan kelas. Biasanya untuk membantu siswa dalam pengembangan pembahasan, maka tenaga pengajar akan menyampaikan terlebih dahulu gambaran luas dari masing-masing topik yang akan dipilih. Kemudian para siswa beserta guru melakukan perencanaan berbagai tahapan proses dan prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih.

Keunggulan Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif memberikan sensasi kebebasan dalam belajar, dimana siswa tidak akan merasa terbebani akan tugas sekolah karena dikerjakan berkelompok. Hal ini kaitannya dengan dorongan kerja sama dan melatih siswa untuk mampu mengajak teman satu kelompok yang lainnya untuk saling berkoordinasi dengan baik. Penyelesaian tugas tidak ditanggungkan pada seseorang saja namun pada sekelompok orang dengan karakter yang berbeda. Dengan adanya pemikiran semacam ini menyebabkan tumbuhnya rasa kebersamaan diantara siswa.

Kebebasan berfikir dalam kelompok belajar dengan anggota yang berbeda-beda dalam hal latar belakang, kesukaan, kemampuan dan cara berfikir mendorong perluasan berfikir siswa itu sendiri. Siswa akan semakin memperdalam konsep sesuai caranya dan mengkritisi pendapat yang bebeda. Kebebasan dan keragaman latar belakang kelompok belajar menjadi kombinasi yang sinergis untuk dapat memecahkan masalah. Dengan model pembelajaran kooperatif ini pemecahan masalah menjadi lebih efektif dibandingkan model individu.

Konsep pembelajaran yang mengutamakan kolaboratif ini memandang kompetisi antar individu sehingga berpotensi meningkatkan hubungan sosial yang lebih baik. Dengan menjaga keragaman karakter dan konep berfikir yang berbeda maka model kooperatif dapat di implementasikan pada beragam budaya daerah tanpa batasan teritorial.

Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif dapat menimbulkan perselisihan karena perbedaan karakter dan latar belakang masing-masing anggota kelompok belajarnya apabila tidak dijaga dengan hubungan baik. Perselisihan ini akan berdampak pula pada hasil pembelajaran siswa yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu perselisihan yang mungkin terjadi biasanya diantisipasi oleh tenaga pengajar dengan memberikan pengarahan.

Kemampuan belajar siswa yang berbeda terkadang memberikan perbandingan dominasi yang mencolok. Sebagian ada siswa yang nampak sangat dominan dan sebaliknya ada sebagian siswa yang tidak mampu mencolok diantara teman-temannya sehingga hanya bisa diam pada saat jam pelajaran. Kelemahan pada model pembelajaran kooperatif semacam ini sebetulnya dapat diantisipasi dengan pendekatan partisipasi guru pada personal masing-masing siswa sehingga mampu memberikan proporsi yang sama atas dominasi kelompok.

Karena prosesnya yang panjang dalam pembelajaran kooperatif ini maka membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pembelajaran individu. Tidak adanya kompetisi antar siswa menyebabkan kecepatan pemahaman topik pembelajaran berjalan sangat lambat. Karena mambutuhkan komunikasi dan pertukaran pendapat dalam bentuk diskusi menyebabkan berbagai proses ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan sangat sulit menentukan pencapaian target paling optimal.

Sumber Pustaka

  • Arisanti Devi. 2015, Model Pembelajaran Kooperatif pada Pendidikan Agama Islam. Vol. 12 No. 1 (2015): Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan
  • Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo.
  • Nurwahyuni, Esa. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Anzul Media.
  • Ramayulis. 2012. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
  • Sagala, Syaiful. 2004. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
  • Sanjaya, Wina. 2006. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:Prenada Media Group.
  • Slavin, Robert E., 2011. Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.


Manajemen Pelayanan RS
Pengelolaan pelayanan pada rumah sakit tentunya akan berbeda dengan sistem manajemen pelayanan yang diterapkan oleh fasilitas kesehatan lainnya. Aspek pembeda antara rumah sakit dengan fasilitas kesehatan lainnya tersebut adalah dari jenis pelayanan yang diberikan, aspek pembiayaan, pemasaran, etika dan hukum serta aspek administrasi. Begitu juga dengan pemahaman dan konsep dasar dari pelayanan itu sendiri akan berbeda. Dalam manajemen pelayanan rumah sakit kita akan lebih banyak dihadapkan dari satuan ukuran pelayanan. Menurut Depkes RI (2003) menyatakan bahwa kualitas layanan adalah tingkat di mana perawatan pasien mencapai hasil yang diharapkan dan meminimalkan faktor yang tidak diinginkan. Berdsarkan dari penyataan itu kemudian kita kembangkan mengenai kualitas pelayanan dimana kualitas pelayanan kesehatan adalah kesesuaian antara pelayanan kesehatan yang diberikan dengan standar ketentuan penggunaan yang menunjukan kepuasan pasien yang menerimanya.
Menurut Institute of Medicine menyatakan definisi manajemen pelayanan tersebut yaitu suatu langkah ke arah peningkatan pelayanan kesehatan baik untuk individu maupun untuk populasi sesuai dengan keluaran (Outcome) kesehatan yang diharapkan dan sesuai dengan pengetahuan profesional terkini. Berdasarkan definisi ini mengarahkan kita pada suatu usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh manajemen dalam rangka penyesuaian hasil pelayanan terhadap target yang diinginkan. Memang pada dasarnya satuan ukuran kualitas pelayanan di rumah sakit memiliki banyak indikator yang saling berkaitan satu sama lain sehingga sebagai pengelola tidak hanya fokus pada satu aspek saja.
Manajemen pelayanan rumah sakit setidaknya harus memiliki beberapa aspek diantaranya adalah pelayanan medis (Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Darurat, Instalasi Rawat Inap), pelayanan Penunjang Medis(laboratorium, radiologi, rehabilitasi, farmasi dan gizi) serta pelayanan penunjang umum (logistik, pemeliharaan, Keuangan dan IT). Berdasarkan pernyataan tersebut maka jelas sekali bahwa manajemen pelayanan rumah sakit memiliki tujuan unutk mengelola berbagai kepentingan pelayanan dalam rangka peningkatan mutu. Karena kita akan membahas lebih mendalam mengenai manajemen mutu atau mutu klinis (Clinical governance) maka kita bahas terlebih dahulu apa itu manajemen mutu klinis.
Manajemen klinis adalah suatu sistem dalam tatanan manajemen yang dikembangkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit yang salah satu elemennya adalah audit klnis (Gemala Hatta, 2017). Manajemen klinis yang diterapkan setiap rumah sakit akan berbeda disesuaikan dengan karakter pengelola yang terlibat di dalamnya. Terutama dalam hal pelayanan selalu mempertimbangkan kesan kepuasan akan hasil yang diperoleh dari jasa medis yang telah diterima. Audit medis itu sendiri merupakan pendorong bagi tenaga medis untuk meninjau ulang rekam medis pasien pada saat memberikan pelayanan medis yang lebih baik.

Konesep Manajemen Pelayanan

Manajemen adalah proses pengelolaan yang terdiri dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang digunakan baik untuk ilmu pengetahuan maupun bidang keahlian profesi secara berurutan dengan tujuan untuk mencapai target yang ditetapkan sebelumnya. Pendapatan ahli yang menyatakan mengenai konsep manajemen ini salah satunya adalah Stanely Vance dimana tulisannya dikutip dalam Ibnu Syamsi (1994) menyatakan bahwa manajemen adalah suatu proses pengambilan keputusan dalam suatu pengelolaan perusahaan dan pengendalian terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan untuk mencapai target yang telah ditentukan sebelumnya.
Pendapat lainnya menurut Shafritz dan Russel (1997) mengungkapkan bahwa manajemen berkenaan dengan orang yang bertanggung jawab dalam menjalankan organisasi, serta proses menjalankan organisasi tersebut dengan mengunakan sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen adalah proses pencapaian tujuan organisasi dengan tidak mengesampingkan penggunaan sumber daya yang dimiliki.
Kualitas merupakan suatu kondisi atau kadar yang sangat dinamis dan tidak mudah didefinisikan yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang telah memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas adalah ukuran yang menunjukan segala sesuatu mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan apabila diimplementasikan pada bisnis. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan atau kelebihan suatu produk barang atau jasa, baik nilai secara langsung maupun nilai atraktif (tidak langsung) yang memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan sebagai konsumen sehingga memberikan kepuasan atas penggunaan produk atau jasa tersebut. Menurut pendapat Yamit Yulian (2005) menyatakan bahwa kualitas dapat tercapai secara konsisten dan terus menerus dengan cara memperbaiki pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Konsep kualitas dalam total quality management adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (Tjiptono Fandy, 2002).
Pelayanan adalah suatu proses yang dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas dan kegiatan pemberi pelayanan secara langsung. Pelayanan merupakan entitas tidak baku yang dilakukan pada proses bisnis yang menggunakan jasa sebagai produknya. Pelayanan adalah suatu rangkaian kegiatan yang tidak terlihat yang terjadi sebagai latar belakang adanya interaksi antara konsumen dengan pemberi pelayanan berupa petugas pelayanan, karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi layanan tersebut dengan maksud untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan (Ratminto, 2006).

Faktor-faktor yang Mendukung Pelayanan Rumah Sakit

Manajemen pelayanan berperan penting dalam pengelolaan rumah sakit, dimana pelayanan tersebut merupakan salah satu instrumen terdepan dalam menarik minat masyarakat dalam menentukan pilihannya. Setelah kita memahami konsep fundamental dari definisi masing-masing kata pada manajemen pelayanan rumah sakit maka kita juga harus dapat memahami apa saja faktor-faktor yang dapat mendorong kualitas pelayanan tersebut. Secara sederhana faktor-faktor yang mendorong kualitas pelayanan tersebut diantaranya adalah:
  1. Faktor kesadaran dari petugas yang secara langsung berinteraksi dengan pasien rumah sakit juga memberikan pelayanan. Kesadaran para petugas tersebut akan sangat mendukung terjadinya pelayanan yang berkualitas tinggi. Bagi manajemen rumah sakit sudah seharusnya memperhatikan aspek ini karena keberadaan petugas dan tenaga kesehatan yang memiliki kesadaran kepedulian terhadap pelayanan tidak bisa digantikan oleh apapun.
  2. Faktor aturan dan regulasi yang mengatur petugas dalam melakukan pekerjaan pelayanan. Dengan adanya peraturan yang berlaku dapat mendrong peningkatan pelayanan rumah sakit secara signifikan. Hal ini berguna untuk melindungi pasien dari pelayanan yang kurang baik dari petugas rumah sakit itu sendiri. Selain itu dengan adanya regulasi dari pihak manajemen rumah sakit akan meningkatkan kewenangan-kewenangan apa saja yang dimiliki secara jelas kepada petugas.
  3. Faktor organisasi sebagai pihak manajemen yang merancang sistem pelayanan rumah sakit dari mulai awal hingga akhir. Semakin baik kualitas organisasi manajeerial suatu rumah sakit maka akan mampu menciptakan sistem pelayanan yang efektif dan efisien. Sistem yang baik tersebut mampu mencerminkan tujuan pelayanan sebagai target yang ingin dicapai.
  4. Faktor kesehatan finansial rumah sakit atau kualitas keuangan rumah sakit yang baik sehingga mampu menyediakan sarana-prasarana pelayanan yang memadai. Menurut saya pendapatan bukan satu hal utama dalam penentuan kualitas kesehatan pengelolaan keuangan. Karena dalam hal manajerial akan selalu berlandaskan pengelolaan keuangan yang sehat yang mana selalu seimbang antara harga biaya yag dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh.
  5. Faktor kemampuan dan keterampilan petugas dalam berkomunikasi dan memahami bagaimana memberikan pelayanan yang baik. Mutu pelayanan yang baik dari tenaga kesehatan bukan hanya dilihat dari hasil akhir, namun proses pun menjadi penilaian utama atas pelayanan kesehatan tersebut. Hal ini adalah penentu akan kualitas pelayanan rumah sakit yang diberikan. Manajemen harus mampu mengarahkan petugas pada pengembangan kemampuan dan keterampilan pelayanan.

Kualitas Pelayanan Kesehatan

Kualitas pelayanan kesehatan tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang diukur seperti barang atau jasa pada umumnya. Kualitas pelayanan kesehatan memiliki ciri yang esklusif dimana melihat suatu proses pelayanan dari sebelum pelayanan itu diberikan bahkan hingga setelah pelayanan itu selesai. Walaupun demikian untuk mempermudah manajemen rumah sakit untuk melakukan pengukuran guna evaluasi yang bermanfaat untuk menentukan arah kebijakan strategis maka pada umumnya menggunakan standar kualitas jasa untuk melakukannya.

Setiap hubungan komunikasi yang terjadi antara petugas rumah sakit dan pasien merupakan gambaran mengenai suatu moment of truth, yaitu suatu peluang memuaskan atau tidak memuaskan atas jasa kesehatan kepada. Pada dasarnya kualitas jasa kesehan tersebut berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan dan asa pelanggan serta ketepatan. Untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan mengetahui kualitas jasa berdasarkan asumsi dari penerima pelayanan itu sendiri, yang dalam hal ini adalah pasien rumah sakit. Menurut pendapat Zeithmal, Berry dan Parasuraman (1985) terdapat lima karakteristik yang digunakan para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa yang diterimanya, diantaranya yaitu :
  1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik yang tersedia, perlengkapan, pegawai atau petugas Kesehatan yang memberikan layanan kesehatan, dan sarana komunikasi. Kehandalan (reliability), yakni kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan cepat, tepat waktu dan memuaskan.
  2. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para petugas, staf dan jajaran pegawai rumah sakit untuk membantu para pasien dan memberikan pelayanan Kesehatan dengan respon baik serta tanggap.
  3. Jaminan (assurance), meliputii kemampuan, skill, etika, kesopanan, dan sifat yang dapat dipercaya yang dimiliki para petugas Kesehatan, juga bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
  4. Empati, meliputi kemudahan akses dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan positif, serta memahami kebutuhan yang diinginkan oleh pasien.

Sedangkan metode yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan yang dirasakan oleh pasien pada setiap kunjungan, menurut Kotler (1994) dapat dilakukan beberapa metode sebagai berikut: 
  1. Sistem pengaduan. Menurut Kotler sistem pengaduan yang baik dapat memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga membantu pihak rumah sakit memperoleh saran, keluhan, dan bentuk ketidakpastian lainnya yang harus diperbaiki. Setiap saran dan kritikan yang masuk harus menjadi perhatian setiap organisasi pemberi pelayanan yang dalam hal ini adalah rumah sakit. Sebab saran tersebut dapat menjadi dasar bagi pihak manajemen untuk perbaikan kedepan.
  2. Survey pelanggan. Survey pelanggan merupakan cara yang umum digunakan dalam mengukur kepuasan pasien, metode ini dapat dilakukan dengan cara melakukan wawancara secara langsung atau dapat juga dilakukan melalui surat. Panel pelanggan. Panel pelanggan yaiut metode yang dilakukan untuk mengukur kepuasan pasien rumah sakit dengan cara melakukan diskusi antar petugas pelayanan kesehatan dengan pasien. Dengan cara ini akan diketahui kekurangan yang ada dari manajemen secara organisasional pemberi pelayanan sehingga kedepan dapat diperbaiki.

Sumber Pustaka

  • A. Zeithaml, V. Parasuraman, A. and L. Berry L. 1985. Problems and Strategies in Services Marketing. Jurnal of Marketing Vol. 49. (Spring).
  • Depkes RI. 2003. Manajemen Puskesmas. Jakarta: Depkes RI 
  • Hatta, Gemala. 2017. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Universitas Indonesia Prees. 
  • Kotler, Philip. 1993. Dasar-dasar Pemasaran.Edisi keenam. Jakarta : Intermedia. 
  • Ratminto. 2006. ManajemenPelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
  • Santoso, Singgih dan Fandy Tjiptono. 2002. Riset Pemasaran: Konsep dan Aplikasi SPSS. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 
  • Shafritz, Jay M. & E.W. Russell, (1997), Introducing Public Administration. USA : Longman. 
  • Syamsi, Ibnu. 1994. Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen. Rineka Cipta, Jakarta.

Manajemen Sumber Daya Manusia

Rumah Sakit adalah suatu lembaga atau perusahaan yang bergerak dibidang jasa pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Pertumbuhan rumah sakit sangat pesat baik itu dari sisi finansial maupun infrastruktur, hal ini mencerminkan bahwa di masa depan Rumah Sakit masih berpotensial besar memberikan keuntungan bagi semua pihak (Pengusaha, Masyarakat dan pemerintah). Walaupun demikian tantangan kedepannya kita tidak dapat memprediksi dengan mudah apa yang akan terjadi, sehingga pihak manajemen harus tetap menjaga prinsip manajerial berbasis strategi untuk dapat menghadapi tantangan tersebut. 

Salah satu aspek yang tidak kalah penting dan harus mendapatkan perhatian dalam manajemen rumah sakit adalah komponen persaingan. Tidak dapat kita pungkiri bahwa fasilias kesehatan untuk regional 1 (wilayah DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim dan Banten) semakin bertambah setiap tahunnya, artinya untuk wilayah tersebut terdapat pertumbuhan jumlah rumah sakit baru yang dapat memfasilitasi masyarakat dengan perbandingan yang lebih longgar dibandingkan satu dekade sebelumnya. Menurut data yang dirilis Persi (2017) mempublikasikan data pertumbuhan rumah sakit meningkat sebesar 5,2% setiap tahun. Sedangkan lebih spesifik, rumah sakit swasta memiliki pertumbuhan lebih besar (7%) dibandingkan rumah sakit pemerintah. Namun sayangnnya, hingga Artikel ini ditulis menunjukan pertumbuhan jumlah rumah sakit tersebut tidak disertai dengan kualitas pemerataan pelayanan. Masih banyak wilayah regional 1 yang melakukan sentralisasi, dimana rumah sakit berkerumun dalam pusat kota sehingga masyarakat desa tetap merasa kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.

Dalam bidang kesehatan, persaingan tidak hanya terjadi antar rumah sakit, tetapi juga antar bidan, dokter dan pelayanan kesehatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah fasilitas kesehatan meningkat seiring dengan kebutuhan akan kesehatan di masyarakat itu sendiri. Untuk memenuhi persyaratan ini membutuhkan manajemen rumah sakit dari perspektif manajemen dan operasi. Baik faktor lingkungan eksternal maupun internal memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan layanan kesehatan tersebut. Lingkungan eksternal menghadirkan peluang dan tantangan bagi layanan kesehatan kota. Sedangkan lingkungan internal merupakan lingkungan yang memberikan kekuatan dan kelemahan bagi manajemen. Analisis lingkungan trsebut didefinisikan dalam visi, misi dan rencana strategis perusahaan untuk mencapai tujuannya. 


Kinerja Sumber Daya Manusia Menjadi Komoditas Persaingan 

Sumber daya manusia merupakan asset penting bagi rumah sakit dalam melaksanakan semua kebijakan dan operasional, walaupun sebetulnya terdapat asset lain seperti permodalan, metode, fasilitas, visi, misi, dan infrastruktur pendukung untuk mencapai tujuan bisnis. Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan sumber daya manusia pada suatu manajemen rumah sakit dalam mencapai tugas, tugas, wewenang dan tanggung jawab tersebut maka perlu diketahui kinerja SDM yang bersangkiutan secara objektif.

Menurut pendapat Mangkunegara (2017) mengatakan bahwa kinerja (Performance of Job) adalah kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dilakukan oleh seorang karyawan saat melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan kewajiban tertentu. Pada saat yang sama, menurut Wibowo (2017) menyatakan bahwa "Kinerja memiliki arti yang lebih luas tidak hanya sebagai hasil dari suatu operasi, tetapi juga dalam pengoperasian suatu proses". Selanjutnya Armstrong & Baron (2003) menyatakan bahwa menurut kinerja adalah hasil kerja menuju sasaran strategis, kepuasan pelanggan dan dukungan finansial.

Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa dalam tingkatan hubungan antar rumah sakit baik di dalam regional maupun antar regional sekalipun selalu disertai dengan persaingan dalam hal penyerapan Sumber Daya Manusia (SDM). Terutama untuk tenaga profesional kesehatan yang dalam hal ini memiliki sifat esklusif yang terkadang jumlahnya sangat terbatas. Sifat esklusif itu sendiri merupakan implikasi dari informasi kebutuhan pelayanan kesehatan serta pengaturan tata penugasan tenaga kesehatan yang tidak merata.

Semakin tinggi tingkat kinerja seseorang dalam kiprahnya berkarir di suatu rumah sakit maka akan semakin tinggi pula daya tarik rumah sakit lain untuk memperkerjakannya sebagai suatu asset berharga. Hal ini juga tidak lepas dari seberapa jauh hubungan baik antara karyawan dengan rumah sakit yang bisa dibangun. Terkadang kita akan menemukan beberapa loyalitas karyawan terhadap perusahaan bukan karena tingkat upah yang tinggi namun juga mempertimbangkan kenyamanan kerja dan hubungan baik dengan manajemen.

Kinerja karyawan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan (Wibowo, 2017). Kinerja merupakan fungsi dari karakteristik individu, organisasi dan lingkungan, sehingga model perbandingan kinerja adalah = f (Individu, organisasi, dan lingkungan). Peristiwa yang terkait dengan kinerja individu atau karyawan muncul dari aktivitas yang harus dilakukan secara akurat, teliti dan tepat waktu. Hal tersebut merupakan tanggung jawab karyawan untuk melakukan beberapa tugas dan tanggung jawab selama jangka waktu kerja yang ditentukan. Rumah sakit adalah lingkaran di mana karyawan dan tenaga kesehatan dapat melaksanakan instruksi pemimpin. Manajer rumah sakit berperan penting dalam memotivasi karyawan dan tenaga kesehatan tersebut agar bekerja sesuai dengan proses kerja yang jelas dan terstandardisasi. Mereka juga membutuhkan peran kepemimpinan supervisor untuk meningkatkan kinerja. Sementara itu, lingkungan kerja memiliki dampak yang tidak pasti terhadap karyawan dan tenaga kesehatan, terutama yang berkaitan dengan risiko kerja, terutama risiko kesehatan dan keselamatan kerja.

Peningkatan pelayanan  membutuhkan  sumberdaya  yang sangat besar,  baik sumberdaya manusia  maupun sumberdaya penunjang lainnya. Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekerja di rumah sakit terdiri dari multidisiplin ilmu dengan tingkat kompetensi dan kemampuan yang berbeda.  SDM tersebut mempunyai  satu tujuan yaitu  memberikan hasil kerja yang baik untuk memenuhi pelayanan kesehatan yang paripurna.  Profesionalisme dalam melayani pasien menjadi prioritas pertama yang harus dilakuakn oleh seluruh karyawan rumah sakit.   SDM sangat rentan terhadap factor-faktor negative kinerja, seperti kurangnya pengawasan dari atasan, efisiensi yang rendah, kepatuhan pada prosedur kerja yang rendah bahkan motivasi kerja yang menurun.  Permasalahan tersebut dapat menurunkan  kinerja karyawan yang berdampak pada rendahnya mutu pelayan.

 

Keselamatan Kerja Sebagai Indikator Utama SDM Rumah Sakit

Resiko bekerja di rumah sakit dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap karyawan, sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan paparan bahan kimia, biologi dan lingkungan kerja. Kedua faktor tersebut mengancam kesehatan dan keselamatan kerja karyawan dan tenaga Kesehatan rumah sakit. Menurut penelitian yang dilakukan Rivai dkk (2009), kesehatan dan keselamatan kerja mengacu pada kondisi kerja fisik dan mental yang timbul dalam lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan. Banyak faktor seperti kesehatan dan keselamatan yang mempengaruhi kinerja karyawan perusahaan. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) adalah semua fungsi yang dirancang untuk menjamin keselamatan dan kesehatan staf rumah sakit, pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan lingkungan rumah sakit, serta untuk mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Resiko kerja di fasilitas kesehatan termasuk dalam bidang kerja dengan resiko tinggi. Mayoritas berpendapat bahwa resiko paling besar yang sedang dihadapi semua awak pekerja di rumah sakit adalah terpapar penyakit. Namun saat ini, kajian terhadap keselamatan kerja semakin berkembang dan ditemukan berbagai resiko lain yang tidak kalah membahayakan. 

Menurut laporan National Safety Council (NCS) (2011), kecelakaan kerja di rumah sakit adalah sebesar 41% lebih tinggi dibandingkan di sektor lain. Kasus umum yang sering sekali terjadi termasuk tertusuk, keseleo, sakit punggung, goresan / luka, luka bakar, infeksi dan lainnya. Berdasarkan penelitian Wibowo (2017) membuktikan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan itu sendiri.

Beban kerja karyawan di rumah sakit meliputi beban kerja yang bersifat fisik dan beban kerja yang bersifat mental. Beban kerja bersifat fisik misalnya aktivitas tenaga Kesehatan perawat mengangkat pasien, membantu memandikan pasien, membantu pasien pada saat ingin ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan yang sudah digunakan ke tempat penyimpanan, merapikan tempat tidur pasien dan lain-lain. Beban kerja yang bersifat mental dapat berupa kesabaran menghadapi pasien, kemampuan komunikasi dengan baik, bekerja dengan shift atau bergiliran, bekerja dengan keampuan spesifik pada saat merawat dan beribcara dengan pasien, serta rasa memiliki tanggung jawab terhadap kesembuhan dan harus menjalin komunikasi dengan pasien.

Motivasi kerja merupakan naluri dorongan yang terjadi terhadap serangkaian proses pada manusia dalam pencapaian tujuan yang ingin didapat. Sedangkan unsur-unsur yang terkandung di dalam motivasi itu sendiri meliputi naluri membangkitkan, memimpin, mengarahkan, menjaga, menunjukan intensitas, secara terus-menerus atau konsisten dan adanya tujuan yang ingin dicapai. Motivasi dapat dipastikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan, walaupun bukan satu-satunya faktor yang membentuk kinerja itu sendiri. Masukan terhadap seseorang individu dan konteks pekerjaan yang dilakukan merupakan dua faktor kunci yang memengaruhi motivasi seorang karyawan dalam fasilitas Kesehatan Rumah sakit. Semua pekerja di rumah sakit hamper sepenuhnya mempunyai kemampuan, pengetahuan kerja, disposisi dan sifat, emosi, suasana hati, keyakinan, dan nilai-nilai pada pekerjaan. Konteks pekerjaan mencangkup lingkungan fisik yang dilakukan, penyelesaian tugas yang menjadi kewajiban, pendekatan organisasi pada rekognisi dan penghargaan, kecukupan dukungan pengawasan dan coaching, serta budaya organisasi yang berlaku pada saat itu (Wibowo,2017). Dengan demikian risiko kerja dan beban kerja yang menjadi masukan individu dan konteks pekerjaan menjadi salah satu factor penting yang harus mendapatkan  motivasi kerja agar dapat mencapai  kinerja karyawan yang baik.


Sumber Pustaka

  • Amstrong & Baron. 2003.  A Handbook Of Human Resource Management Practice. Kogan Page. London.
  • Anwar Prabu Mangkunegara. 2017. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Remaja Rosdakarya. Bandung.
    National Safety Council, 2011. Injury Facts, 2011 Edition. Itasca, IL: Author
  • Persi. 2017. Jumlah Rumah Sakit Indonesia (RS) Publik. https://persi.or.id/jumlah-rs-di-indonesia-pertumbuhan-rs-publik.
  • Rivai, Veithzal & Sagala. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
  • Wibowo. 2017. Manajemen Kinerja. Edisi Kelima. Depok. PT. Raja Grapindo Persada.


 

 

 

 Pelayanan Informasi RS

Pelayanan pendaftaran dan rekam medis merupakan alokasi kerja dari manajemen perusahaan sebuah fasilitas kesehatan yang sulit dipisahkan. Keduanya harus memiliki budaya kerja yang berintegritas tinggi dengan melibatkan banyak sekali unsur etika komunikasi baik antara bagian profesi ataupun dengan masyarakat luas yang menjadi pasien penerima pelayanan kesehatan. Walaupun demikian, perhatian manajemen selalu luput dari unsur-unsur penting ini, padahal mesin utama dalam aspek finansial sebuah perusahaan adalah peningkatan pendapatan yang disebabkan loyalitas masyarakat akan perasaan puas terhadap jasa dan pelayanan yang diterimanya.


Memahami Konsep Pelayanan Informasi Di Rumah Sakit

Pelayanan informasi, administrasi pendaftaran dan rekam medis tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya merupakan subsistem yang memiliki gambaran kerja yang hampir sama. Gelama R Hatta (2017) dalam bukunya yang berjudul "Pedoman Manajemen Informasi kesehatan Disarana Pelayanan Kesehatan" menggambarkan integrasi dari keduanya yang bekerja secara terpadu dalam bentuk subsistem Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) walaupun penjelasan tersebut secara sistemik tidak melibatkan profesi kesehatan yang otonom namun konsep ini akan berperan sekali terhadap ajas manfaat dan prinsip-prinsip tata kelola rumah sakit. Walaupun diantaranya secara mandiri dalam tubuh internal rumah sakit memisahkan rumpun kerja dari keduanya namun kita sadari bahwa komunikasi aktif antara rekam medis dengan bagian informasi dan pelayanan administrasi pendaftaran sangatlah penting untuk dikelola.

Sebelum lebih jauh, kita akan mempersempit pembahasan atas pentingnnya makna dan peran serta pelayanan bagi seorang petugas pendaftaran di rumah sakit. Terlebih kita memaknai aspek-aspek utama yang menyusun divisi tersebut seperti petugas yang berkecimpung dalam proses pencatatan, perhitungan, penyusunan hingga analisa yang kemudian akan menjadi informasi bernilai tinggi untuk rumah sakit.  

Pelayanan informasi memiliki tanggung jawab dan kewajiban kepada pasien dalam bentuk informasi pelayanan sedangkan kepada manajemen berkewajiban menyajikan data dari hasil pelayanan tersebut. Pelayanan itu sendiri adalah semua kegiatan/aktivitas yang ditujukan kepada pasien dalam rangka memberikan kemudahan pada saat melakukan pendaftaran. Di dalam kegiatan ini terjadi interaksi yang saling menguntungkan antara pasien yang menerima pelayanan dan pihak rumah sakit yang menerima informasi dari pasien tersebut. Interaksi komunikasi yang dilakukan diusahakan terjadi dengan efektif sehingga kedua belah pihak akan saling diuntungkan.


Indikator Pelayanan Informasi Rumah Sakit

Pelayanan informasi rumah sakit yang baik akan meningkatkan efektifitas pemahaman masyarakat terhadap informasi kesehatan dan administrasi yang diterimanya. Dengan komunikasi yang efektif akan mempermudah pasien yang menerima layanan kesehatan baik sebelum atau sesudah selesai pengobatan. Sebetulnya interaksi panjang berlangsung pada saat proses komunikasi tenaga medis dengan pasien, sedangkan petugas pendaftaran hanya sekian persennya saja dari seluruh total durasi pelayanan selama pasien di rumah sakit. Walaupun demikian, tidak jarang kualitas performa baik dari petugas pendaftaran atau petugas layanan informasi lainnya menjadi sebuah wajah penentu kualitas pelayanan sebuah rumah sakit.

Berdasarkan pengamatan dan riset sederhana yang sudah saya lakukan beberapa tahun terakhir dapat disimpulkan beberapa indikator penting yang bisa digunakan untuk mengukur seberapa besar kualitas pelayanan informasi rumah sakit. Lebih jelas diuraikan sebagai berikut:


1. Bahasa dan Cara Komunikasi Petugas

Penggunaan bahasa yang tepat dapat memberikan kesan positif kepada pasien. Penggunaan bahasa daerah yang sangat dipahami akan memberikan kedekatan secara kejiwaan sehingga meningkatkan peluang pemahaman informasi yang lebih besar dibandingkan penggunaan bahasa lain yang kurang bahkan tidak dipahami dengan baik. Hal ini bukan berarti penggunaan bahasa Indonesia (Bahasa Umum yang standar) mengurangi kesan efektifitas penyampaian, namun dikombinasikan dengan cara komunikasi petugas tentunya berpotensi memiliki efektifitas lebih tinggi.

Penggunaan bahasa harus disertai dengan gaya bahasa yang baik dan benar, nada yan lebih rendah memberikan kesan yang ramah dan memberikan ekspresi rasa senang. Menggunakan bahasa daerah setempat akan mempermudah petugas dalam mempelajari hal ini, oleh sebab itu pemilihan penggunaan bahasa daerah yang lebih dipahami menjadi pilihan sederhana dibandingkan menggunakan bahasa global yang nilai normanya sangat beragam.


2. Kesesuaian Informasi Dengan Kenyataan 

Informasi yang disampaikan kepada pasien ataupun keluarga/kerabat dekat harus sesuai dengan kenyataan. Karena hal itulah petugas yang menyampaikan harus juga memastikan bahwa penerima informasi yang bersangkutan memahami betul maksuddari apa yang telah disampaikan. Dalam pelaynan informasi rumah sakit hal ini menjadi halcukup krusial,karena tidak jarang permasalahan beda pemahaman menyebabkan ketidakpuasan.

Kesesuaian informasi yaitu maksud pengucapan harus sejalan dengan kenyataan yang terjadi, tujuan utama petugas informasi harus tercapai dengan menggunakan kemampuan komunikasi efektif. Selain itu juga dengan gaya pengucapan yang dimiliki petugas harus memberikan kepastian informasi yang bukan hanya sekedar spekulasi. Contoh sederhanannya adalah apabila ada keluarga pasien yang menanyakan ruang inap kerabatnya maka petugas harus memberikan kepastian informasi mengenai posisi tepat dimana yang bersangkutan ditempatkan. 


3. Penilaian Pasien Terhadap Prilaku Petugas

Tanpa kita sadari, aktivitas dan tindakan yang kita lakukan pada saat berhadapan langsung dengan pasien akan menjadi penilaian dari sebuah pelayanan. Hingga hal yang sangat mendasar, penampilan, cara berpakaian, aroma tubuh, tutur kata, aktivitas lain yang kita lakukan seperti makan dan minum, serta bentuk-bentuk visual lainnya yang kemungkinan menjadi perhatian pasien. Dalam satu ketika pasien akan memperhatikan merek komputer, model keyboard, layar monitor dan perangkat lain yang anda gunakan untuk mengetik. Tidak luput juga masalah prilaku yang secara subjektif akan dinilai oleh pasien terlepas dari itu penilaian benar atau salah.

Kita tidak bisa mendebat apakah penilaian pasien tersebut benar atau salah, namun disini kita hanya berusaha seoptimal mungkin memberikan yang terbaik dari kemampuan pelayanan serta meminimalisir segala kelemahannya. Kenyataannya sebuah tindakan kecil yang positif akan memberikan nilai tambah atas kekurangan yang kita miliki, namun sebaliknya tindakan kecil yang negatif itu pula yang akan merusak dan megurangi penilaian atas kelebihan yang kita miliki.


4. Menyelesaikan Masalah

Petugas informasi yang berpengalaman cukup lama akan lebih mampua menyelesaikan maslaah. Hal ini terkait dengan seberapa banyak jumlah permasalahan yang ia hadapi dan selesaikan selama bertugas. Dari sekian ribu pelayanan yang ia berikan tentunya tidak selamanya lancar-lancar saja. Terkadang masalah itu datang baik dari kesalahan pribadi atau kesalahan yang malah ditimbulkan orang lain. Satu-satunya jalan dari kedua jenis masalah tersebut  adalah segera menyelesaikannya dengan seluruh energi yang dimiliki. Gunakan akal sehat dan ketenangan pikiran untuk segera menyelesaikannya. Tidak jarang bantuan datang dari rekan kerja, sehingga di sini kita disadarkan akan pentingnnya kerja sama tim.

Semakin banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik akan memberikan nilai positif akan kualitas pelayanan tersebut. Namun bukan berarti permasalahan datang pada pelayanan yang baik, tentunya aspek lainnya adalah mencegah agar permasalahan yang sama tidak terulang dikemudian hari.


5. Kompleksitas Informasi

Semakin tinggi kompleksitas informasi yang harus disampaikan maka akan semakin tinggi pula resiko kesalahan penyampaian yang dilakukan petugas. Informasi yang rumit membutuhkan daya ingat yang lebih besar dan membutuhkan waktu serta tenaga untuk menyampaikannya. Oleh sebab itu informasi yang kompleks tersebut harus disederhanakan terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada pasien.

Proses penyederhanaan tersebut membutuhkan wawasan luas petugas informasi dan pendaftaran yang melakukannya. Proses penyederhanaan informasi tersebut bukan perkara mudah karena petugas harus mengemas informasi lebih singkat tanpa mengurangi reliabilitas informasi itu sendiri. Informasi semacam ini biasanya dapat disampaikan melalui media tambahan seperti pemasangan spanduk atau banner sehingga tanpa penyampaian yang panjang secara mandiri oleh petugas.


6. Kecepatan Pelayanan

Pelayanan informasi yang berkualitas juga dapat diukur oleh kecepatan waktu yang dibutuhkan pelayanan. Proses penyampaian informasi kepada pasien atau kerabat keluarga harus dinilai dengan asumsi bahwa informasi telah dikonfirmasi dipahami oleh yang bersangkutan. Semakin cepat informasi tersebut tersampaikan maka akan meningkatkan jumlah kapasitas kemampuan seorang petugas. Hal ini mengingatkan kepada manajemen rumah sakit untuk selalu melakukan pemantauan ukuran kinerja dengan batasan waktu pelayanan yang bisa dilakukan oleh seorang petugas.

 


Rekam medis (Medical Record) adalah kumpulan data yang memberikan informasi mengenai pasien secara personal maupun kolektif pada suatu fasilitas kesehatan yang di dalamnya terdapat informasi identitas, catatan pemeriksaan kesehatan, obat yang diresepkan, diagnosa penyakit dan informasi penunjang lain yang memungkinkan menjadi pertimbangan dalam melakukan analisis untuk pasien bersangkutan. Secara kolektif data rekam medis tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan, lembaga pemerintah serta manajemen rumah sakit secara internal untuk memutuskan rekomendasi kebijakan di masa yang akan datang.

Konsep rekam medis yang dikemukakan oleh Huffman (1999) pada bukunya yang berjudul Health Information Managment menyatakan bahwa "Rekam medis adalah informasi nyata yang menunjukan kondisi kesehatan pasien sekarang, riwayat penyakit di masa lalu dan catatan pengobatan yang pernah dialami yang didokumentasikan oleh tenaga profesional kesehatan yang secara langsung memberikan pelayanan".

Di Indonesia sendiri, konsep dasar dari rekam medis tersebut dikemukakan salah satunya oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa "Rekam medis adalah rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medis atau fasilitas kesehata kepada pasien".

Berdasarkan kedua definisi tersebut di atas sudah sangat jelas mengenai apa itu rekam medis. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas bagaimana penerapan rekam medis tersebut pada sistem terkomputerisasi yang sudah berintegrasi dengan sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS). Hal ini tentunya akan sangat membantu sekali bagi pengembang sistem yang ingin melakukan implementasi dari berbagai konsep rekam medis yang ada sekarang pada aplikasi SIMRS yang akan dibuat.

 

Rekam Medis Elektronik

Rekam medis elektronik adalah penerapan prosedur standar pencatatan informasi dasar dari pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan pada media elektronik berbasis data. rekam medis elektronik memanfaatkan teknologi dalam rangka menunjang berbagai pekerjaannya agar lebih efektif dan efisien. Prinsip utama yang sangat penting, yang menjadikan sebuah sistem dapat menerapkan rekam medis elektronik adalah kemudahan akses, keamanan data dan tingkat akurasi yang tinggi.

Rekam medis elektronik biasa, secara definitif sebetulnya berbeda dengan rekam medis yang sudah terintegrasi. Kedua istilah ini merupakan pemahaman yang berbeda, dimana data atau informasi yang disimpan dalam format elektronik belum tentu semuanya dapat divisualisasikan dalam bentuk digital dan diproses oleh sistem. Semua informasi yang membutuhkan alat yang dipengaruhi oleh prinsip elektronika (media elektronik) maka informasi tersebut adalah informasi elektronik. Suatu data elektronik yang belum melalui proses digitalisasi misalnya rekaman suara dalam bentuk pita kaset, file image yang belum terkompresi dalam format text dan informasi lain yang tidak bisa dipergunakan untuk kepentingan analisa pada sistem merupakan data yang belum terintegrasi. Oleh sebab itu rekam medis elektronik hanya bisa efektif apabila ada pengembangan dalam hal teknologi informasi sebagai penunjangnnya.

Hingga saat ini, rekam medis elektronik baik secara regulasi ataupun prosedural belum dapat diterapkan sepenuhnya. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi infrasruktur sistem yang belum banyak dikembangkan dan aspek pembiayaan yang sangat mahal. Untuk dapat menunjang semua aktivitas rekam medis yang berbasis kertas sebelumnya, menjadi berbasis elektronik membutuhkan pemerataan infrastruktur, kekuatan finansial dan peningkatan kualitas tenaga perekam medis itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka penerapan rekam medis elektronik menghadapi banyak sekali kendala yang tentunya sebanding dengan potensi yang dimilikinya. Rekam medis elektronik berpotensi meningkatkan kualitas pelayanan dan kualitas data informasi sehingga memberi surplus keuantungan yang menjanjikan bagi manajemen rumah sakit. Secara spesifik, rekam medis elektronik tidak hanya mampu memberikan keuntungan secara intangible namun juga memberikan keuntungan nyata (tangible) berupa kemudahan dalam pengambilan keputusan, efisienasi sumber daya manusia, optimalisasi proses operasional, efisiensi pembiayaan dan memberikan ruang lebih luas untuk penyimpanan data dalam jangka waktu yang sangat panjang.

 

Langkah Awal Perancangan Sistem Rekam Medis Elektronik

Berdasarkan jurnal ilmiah The design of electronic medical records for patients of continuous care yang ditulis oleh Xiaolan He, dkk (2021) pada Journal of Infection and Public Health menyatakan bahwa fungsi utama dari sistem rekam medis elektronik meliputi fungsi penciptaan data rekam medis, fungsi data dasar, fungsi pemeliharaan, fungsi penulisan dan pencatatan rekam medis, fungsi pencatatan aktivitas, fungsi pengaturan sistem, dan fungsi pengolahan data rekam medis.

Berdasarkan pendapat tersebut kita bisa memberikan sedikit modifikasi, disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik alur kerja di fasilitas kesehatan yang akan dilakukan implementasi rekam medis elektronik tersebut. Kita asumsikan bahwa perancangan ini berlaku untuk integrasi dengan SIMRS. Berikut ini proses utama komponen subsistem rekam medis elektronik terintegrasi:

  • Proses autentikasi pengguna (user) pada aplikasi rekam medis oleh pihak admin aplikasi atau pejabat yang berwenang, memberikan hak dan kewajiban kepada petugas rekam medis untuk mempergunakan sistem sesuai dengan prosedur. Pada proses ini dapat juga disertai dengan pernyataan legalitas dalam bentuk surat pernyataan ataupun perjanjian kontrak secara profesional dengan petugas rekam medis.
  • Proses permulaan atau generalisasi kode rekam medis sebagai standar yang tidak bisa dimanipulasi. Penciptaan nomor rekam medis yang bersifat baku untuk menghindarkan dari terjadinya duplikasi, data yang tertukar, atau kekeliruan pada saat memberikan pelayanan kesehatan.
  • Proses pendataan identitas, tujuan kedatangan pasien atau proses pasien masuk yang dibagi menjadi 2 (dua) tujuan utama yaitu pasien rawat inap dan pasien rawat jalan. Pada proses ini perlu diperhatikan juga mengenai validasi data yang ketat untuk menghindari terjadinya kesalahan pencatatan seperti duplikasi data, kesalahan penulisan istilah.
  • Pembuatan data dasar yang meliputi ketersediaan referensi nama-nama dokter, kategori jenis poliklinik, informasi fasilitas ruang rawat, ketersediaan fasilitas sarana alat penunjang medis, referensi diagnosa ICD, referensi status kepesertaan dalam asuransi kesehatan  dan referensi lain yang juga bisa bersumber dari pihak eksternal rumah sakit.
  • Proses pencatatan kondisi kesehatan pasien, pencatatan history pengobatan, informasi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan, informasi durasi waktu pemberian pelayanan dan pencatatan lainnya yang memungkinkan membantu dalam proses analisis di masa depan.

Rekam Medis Elektronik Pada Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit

Rekam medis elektronik berbasis aplikasi dapat diintegrasikan dengan sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) guna mempermudah koordinasi data dan mempercepat proses komunikasi antar bagian. Dalam proses ini, sistem yang dikembangkan harus tetap menjaga aspek kerahasiaan, keamanan dan kemudahan akses data informasi tersebut. Beberapa pengembang aplikasi biasanya menempatkan rekam medis sebagai satu subsistem atau modul terpisah yang suatu waktu dapat dilepas atau di satukan kembali. Hal ini tidak menyalahi aturan namun tentunya sangat tidak efektif apabila diterapkan pada sistem yang dikembangkan secara mandiri.

Penjelasan lebih lengkap mengenai sistem informasi manajemen rumah sakit sudah dibahas pada posting sebelumnya yang berjudul konsep dasar dan pengertian sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) atau bisa kunjungi tautan berikut ini https://bit.ly/39AwVG5. Berdasarkan penjelasan tersebut sudah jelas menyatakan bahwa rekam medis elektronik beserta komponen utama di dalamnya merupakan bagian dari sistem itu sendiri agar dapat berfungsi dengan optimal. Integrasi itu sendiri merupakan penyatuan informasi baik yang dikelola terpisah atau bisa juga dilakukan pengelolaan bersama.

Berikut ini adalah bentuk implementasi pada proses integrasi antara rekam medis elektronik dengan sistem informasi manajmen rumah sakit (SIMRS):

  1. Fitur pembacaan nomor NIK dan kartu peserta BPJS sekaligus dengan proses validasi status kepesertaan, validasi ketersediaan data pada kunjungan sebelumnya, catatan hasil pemeriksaan penunjang (laboratorium dan radiologi) dan informasi biaya pengobatan dengan bagian keuangan.
  2. Fitur pelaporan indikator pelayanan berdasarkan periode waktu yang sekaligus disajikan bersebrangan (cross filter) dengan data jenis pelayanan yang diterima, metode pembayaran yang digunakan, pembiayaan, pemeriksaan penunjang dan penggunaan kamar inap.
  3. Fitur assembling antara data rekam medis pasien secara personal atau secara kolektual dengan data diagnosa internal sehingga menghasilkan gambaran kecendrungan jenis penyakit yang diderita pada periode waktu tertentu. Pada fitur ini bisa juga dimanfaatkan untuk melakukan kontrol terhadap kesesuaian antara diagnosa penyakit dengan terapi yang diberikan oleh dokter.

Penutup

Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pendataan rekam medis pasien untuk fasilitas kesehatan maka dibutuhkan integrasi antara komponen rekam medis elektronik dengan sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS). Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah manajemen dalam mengkoordinasikan data dan informasi yang ada menjadi proses yang lebih singkat tanpa perlu perulangan. Implementasi rekam medis elektronik bisa dilakukan pada aspek pendataan pasien pada saat pertama kali datang hingga aspek analisa yang menghasilkan informasin lanjutan secara kolektif untuk manajemen rumah sakit.

Sumber Pustaka:

  • Huffman. 1999. Health Information Managment. Phisician Record Company Berwin Lilianis. USA
  • Depkes RI Dirjen Pelayanan Medik. 2005. Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia. Revisi 1. Jakarta: Departemen Kesehatan. RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik.
  • Xiaolan He, Lei Cai, Shiju Huang, Xiaoju Ma, Xueling Zhou. 2021. The design of electronic medical records for patients of continuous care. Volume 14 Issue 1 . Journal of Infection and Public Health