Showing posts with label Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan. Show all posts

Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah suatu model belajar yang dikembangkan dengan tujuan adanya kolaborasi antar siswa didalam satu kelompok serta mengutamakan integrasi pemahaman sesuai tujuan pembelajaran sehingga penyampaian pendidikan akan lebih efektif dan efisien. Menurut para ahli pendidikan meyakini bahwa model pembelajaran kooperatif sangat efektif dalam mengejar ketertinggalan pemerataan pendidikan yang memiliki ketimpangan seperti pada saat ini. Tidak hanya itu, perbedaan kemampuan masyarakat dalam hal ekonomi yang signifikan, menjadi salah satu kendala pemerataan aksesibilitas masyarakat untuk mengakses pendidikan secara merata. Dengan model pembelajaran kooperatif diharapkan dapat menciptakan interaksi antar siswa dari berbagai tingkat berfikir, latar belakang dan karakter.

Sebelum melangkah lebih jauh mengenai konsep dasar pembelajaran kooperatif ada baiknya anda mempelajari sekilas teori dasar model pendidikan tersebut yang sudah diimplementasikan pada postingan sebelumnya. Kita akan membahas lebih lengkap mengenai definisi atau pengertian model pembelajaran kooperatif tersebut serta tujuan dan latar belakangnya sehingga penting sekali model pembelajaran semacam ini untuk siswa maupun tenga pengajar.

Pengertian dan Definisi Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut pendapat Menurut Slavin (2011), pembelajaran kooperatif adalah sebuah model lingkungan belajar yang dikembangkan dengan cara memerintahkan peserta didik untuk bekerjasama dalam suatu kelompok belajar yang tentunya memiliki kemampuan beraneka ragam sehingga diharapkan memiliki kemampuan menyelesaikan berbagai pemahaman dan tugas-tugas akademik sesuai tujuan pendidikan yang diharapkan. Menurut slavin disini mengutamakan pemahaman konsep belajar dimana siswa akan tertarik menyampaikan kemampuan yang dimilikinya untuk dipelajari oleh siswa lain sehingga terjadi pertukaran pemikiran yang dinamis dan tidak dibatasi.

Berbeda dengan pendapat Lie (2004) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model strategi pembelajaran pada saat proses pembelajaran yang dilakukan oleh tenaga pendidik (guru) dimana pada model pembelajaran ini membutuhkan partisipasi dan kerjasama antar siwa dalam kelompok yang dibentuk. Dengan adanya kerjasama tersebut diharapkan dapat meningkatkan efktifitas proses pendidikan yang dilalui peserta didik sehingga menjadi lebih baik dan menanamkan sikap kolaboratif dalam berperilaku sosial antar siswanya.

Menurut Slavin (2011) menambahkan pada pemahaman mengenai model ini dimana pembelajaran kooperatif adalah model belajar pada lingkungan dimana semua peserta didik bekerjasama dalam suatu kelompok yang dibentuk dari individu yang memiliki kemampuan beragam untuk menyelesaikan tugas akademik sesuai kurikulum yang telah ditetapkan. Pendapat Slavin ini cenderung menempatkan model pembelajaran kooperatif sebagai instrumen akademik untuk mencapai tujuan pendidikan.

Berdasarkan beberapa pengertian serta definisi yang dijelaskan mengenai model pembelajaran kooperatif menurut para ahli tersebut di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pada intinya pembelajaran semacam ini melibatkan kelompok pembelajaran yang terdiri dari beberapa individu siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda dengan harapan terjadinya interaksi pendidikan bukan hanya antar tenaga pendidik dan siswa namun juga adanya interaski positif antar siswa itu sendiri. Namun menurut saya pribadi model pembelajaran kooperatif merupakan pengembangan yang lebih sarat akan pesan akademik dari konsep belajar kelompok yang sudah ada beberapa dekade sebelumnya.

Ada juga beberapa teori para ahli yang harus dipertimbangkan dalam memahami lebih jauh dan mendasari pembelajaran kooperatif ini, dua diantaranya yaitu:

  1. Teori Pembelajaran Ausabel. Pembelajaran ini memandang subjek yang dipelajari peserta didik mestilah memiliki makna yang berarti (meaning full). Maksud dari pembelajaran yang bermakna tersebut adalah makna yang berarti akan terjadi pada kelompok belajar yang mengimplementasikan kooperatif dengan syarat apabila siswa mampu menghubungkan antara fenomena baru pada ilmu pengetahuan ke dalam struktur pengetahuan yang mereka miliki (Sagala, 2004)

  2. Teori pembelajaran Vygotsky. Vygotsky berpendapat bahwa pada model kooperatif terdapat hubungan secara langsung antara domain kognitif siswa yang menjadi anggota kelompok tersebut dengan sosio budaya lingkungannya. Pada model ini Vygotsky menyatakan bahwa kualitas berfikir siswa dibina dan dikembangkan dalam media ruangan belajar berbentuk kerjasama sesama mereka yang lebih mampu, dibawah bimbingan pendidik (Nurwahyuni, 2007).

Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif

Setidaknya pada karakter model pembelajaran kooperatif harus ada beberapa peserta didik dalam satu kelompok. Peserta didik adalah siswa yang melakukan proses pembelajaran di dalam kelompok belajar yang telah ditentukan. Proses pengelompokan peserta didik itu sendiri biasanya ditetapkan oleh tenaga pengajar yang kompeten memahami model pembelajaran berdasarkan beberapa pendekatan, diantaranya yaitu pengelompokan berdasarkan perbedaan bakat siswa, latar belakang kemampuan pribadi (Skill) dan minat siswa akan sesuatu yang positif.

Model pembelajaran kooperatif memiliki aturan kelompok yang dsepakati oleh seluruh peserta didik yang dipandu oleh tenaga pengajar. Aturan kelompok tersebut merupakan suatu nilai perilaku yang disepakati oleh semua pihak yang terlibat baik itu adalah siswa sebagai anggota kelompok maupun tenaga pengajar yang mendampingi kelompok belajar tersebut. Misalnya aturan tentang aturan jam pelajaran, keterlambatan, aturan berbicara dan aturan lain yang berkaitan dengan perilaku siswa yang perlu diarahkan secara positif.

Karakteristik lainnya adalah adanya upaya dan kesadaran untuk belajar pada setiap anggota kelompok. Upaya belajar adalah usaha yang dilakukan siswa untuk meningkatkan pengetahuan dalam koridor pendidikan melalui belajar bersama dan kesadaran akan melibatkan dirinya dalam aktivitas belajar bersama. Berbagai macam hal yang ia hadapi dalam proses pembelajaran kooperatif adalah nilai positif yang harus dimaknai dengan baik sehinga mengembangkan sikap dan cara berfikirnya. Pada prakteknya di dalam kelompok belajar tesebut dapat dilakukan dengan saling tukar pikiran, pengalaman, maupun gagasan-gagasan yang diutarakan. Untuk meningkatkan daya minat akan kesadaran untuk memperoleh pemahaman baru maka tenaga pengajar (guru) bisa mengarahkan siswanya pada teknik penyelesaian masalah yang lebih konkret.

Setiap proses dalam menjalankan pembelajaran tentunya harus disertai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ini dimaksudkan untuk memberi arah kepada peserta didik untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang pada akhir proses dapat menghasilkan satu kesimpulan. Menurut pendapat Arisanti (2015) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran kooperatif (cooperative learning) tersebut mempunyai 2 (dua) komponen utama, yang harus dipenuhi yaitu komponen tugas kooperatif (cooperative task) yang berkaitan dengan penyebab anggota bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai macam tugas kelompoknya dan komponen struktur insentif (cooperative incentive structure) merupakan sesuatu hal yang menimbulkan motivasi belajar bagi individu untuk bekerja sama mencapai target yang ditetapkan sebelumnya oleh kelompok.

Selain memiliki kuntungan pemerataan dalam proses pembelajaran, maka pembelajaran kooperatif (cooperative learning) memiliki dampak lainnya yang tidak, yaitu berupa peningkatan prestasi belajar peserta didik (student achievement), peningkatan hubungan atau relasi sosial dengan teman, keterbukaan, peningkatann kepercayaan diri, peningkatan berfikir akademik, sikap menghargai terhadap waktu, dan dorongan sikap untuk memberi pertolongan kepada sesama anggota belajar lain. Hal inilah yang menyebabkan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) berbeda dengan model pembelaaran lainnya. Apabila kita melihat dari perspektif sosial, model pembelajaran kooperatif akan menciptakan hubungan sosial antar setiap peserta didik untuk dapat saling membantu dalam proses belajar karena maing-masing peserta didik dalam kelompok belajar tersebut menginginkan semua anggota memperoleh keberhasilan (Sanjaya, 2006). Diperkuat dari pandangan lain yaitu dilihat dari perspektif motivasi, dimana penghargaan hanya diberikan kepada kelompok sehingga mendorong setiap anggota kelompok untuk saling membantu satu sama lain. Dengan demikian, setiap siswa pada model embelajaran kooperatif akan menyadari bahwa makna dari keberhasilan adalah keberhasilan bagi kelompoknya dan bukan keberhasilan pribadi semata.

Berdasarkan uraian di atas maka karakteristik model pembelajaran kooperatif dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Pembelajaran dilakukan secara tim atau kerja sama tim. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah pembelajaran yang dilakukan secara tim yang terdiri dari beberapa orang, sedangkan tim tersebut merupakan tempat mencapai tujuan. Oleh sebab itu, semua anggota tim harus mampu belajar dan saling membantu untuk kepentingan pembelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif (cooperative learning) setiap siswa yang menjadi anggota kelompok bersifat heterogen atau berbeda-beda. Artinya anggota kelompok terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang yang berbeda-beda. Semua aspek yang diterapkan dalam pembelajaran kooperatif dimaksudkan agar setiap anggota kelompok dapat saling memberikan pengalaman positifnya, saling memberi dan menerima, sehingga diharapkan setiap anggota kelompok dapat saling memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kelompok itu sendiri.

  2. Dalam pembelajaran kooperatif, pihak manajemen mempunyai empat fungsi pokok, yaitu: (1) Demonstrasi perencanaan menunjukkan bahwa perencanaan pembelajaran kolaboratif yang cermat diperlukan untuk melaksanakan proses pembelajaran secara efektif. Misalnya, tujuan apa yang ingin dicapai, bagaimana cara mencapainya, apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, dll. (2) Kinerja organisasi menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif merupakan tindakan yang dilakukan oleh semua anggota kelompok. Oleh karena itu, perlu didefinisikan peran dan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok. (3) Mendefinisikan kriteria akurasi tes dan non-tes membutuhkan demonstrasi kontrol simbolik dalam pendekatan partisipatif.

  3. Kemampuan berkolaborasi Karena keberhasilan kolaborasi bergantung pada keberhasilan kelompok, maka prinsip kolaborasi harus ditekankan dalam proses pembelajaran berkolaborasi. Anda perlu membantu satu sama lain serta menentukan peran dan tanggung jawab setiap anggota grup. Misalnya, orang bijak cenderung tidak dibantu oleh orang bijak.

  4. Kemampuan untuk bekerja sama dipraktikkan melalui aktivitas. Oleh karena itu, siswa harus dipersiapkan dan didorong untuk berkomunikasi dengan anggota lainnya. Siswa membutuhkan bantuan untuk mengatasi berbagai hambatan interaksi dan komunikasi sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan idenya, mengemukakan pendapat, dan berkontribusi bagi keberhasilan kelompok.

Tujuan Adanya Pembelajaran Kooperatif

Beberapa tahun kebelakang dan mungkin saya sendiri masih merasakannya, kita mengenal konsep belajar kompetisi. Saya bisa mengatakan bahwa model pembelajaran semacam ini merupakan konsep pendidikan tradisional yang tentunya sudah tidak relevan dengan tujuan pendidikan di masa sekarang. Dengan kompetisi kita tidak bisa meratakan kemampuan siswa yang tentunya memiliki kemampuan akses informasi pendidikan yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan ekonominya. Akibat dari sistem tersebut maka siswa dengan latar belakang ekonomi yang rendah akan menjadi marjinal dalam akses terhadap pendidikan. Tentunya tujuan pembelajaran kooperatif sangat berbeda dengan sistem pembelajaran tradisional tersebut yang sebelumnya menerapkan sistem kompetisi, dengan implementasi pembelajaran kooperatif ini diharapkan menciptakan situasi di mana sebuah keberhasilan dari individu siswa hanya ditentukan oleh keberhasilan dari performa kelompoknya.

Berdasarkan misi pemerintah dalam memecahkan permasalahan pendidikan dan mengejar ketertinggalan dalam hal kualitas pendidikan yang layak maka bisa kita rumuskan tujuan model pembelajaran kooperatif ini yaitu untuk meningkatkan hasil belajar akademik siswa. Pembelajaran yang bersifat partisipatif mengejar berbagai tujuan sosial, tetapi meningkatkan prestasi siswa dan program akademik penting lainnya. Pembelajaran dengan konsep kolaboratif juga bermanfaat bagi siswa tingkat rendah, menengah, dan tinggi karena dapat menyelesaikan masalah melalui kerjasama serta konseling antar teman sebaya.

Pembelajaran kooperatif memungkinkan setiap siswa menerima ide yang berbeda dari teman sebayanya di dalam kelompok belajar tersebut. Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah untuk merangkul orang lain yang berbeda latar belakang ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan kecacatan, serta bekerja sama untuk memecahkan masalah sekolah. Siswa saling menghormati melalui struktur penghargaan.

Model pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan pengembangan keterampilan sosial. Hal ini berarti bahwa anda dapat memberikan keterampilan kolaborasi kepada siswa. Siswa harus memiliki keterampilan sosial yang penting karena banyak anak muda yang masih kurang memiliki keterampilan sosial.

Tujuan lain dari pembelajaran kooperatif yaitu mendorong siswa agar mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda. Dengan pembelajaran kooperatif ini akan mendorong prilaku siswa yang menjadi peserta didik untuk dapat saling menghargai pendapat kemudian juga memiliki kemampuan saling memberikan kritik atas kesalahan-kesalahan secara positif, mencari jawaban yang paling tepat sesuai kaidah akademik dan dapat dipertanggung jawabkan menggunakan sumber-sumber pembelajaran relevan seperti buku dan reverensi pelajaran lainnya yang ada di internet untuk dijadikan landasan yang tepat pada saat mencari jawaban yang baik dan benar. Hal ini juga dilakukan untuk memperoleh pemahaman terhadap bahan ajar yang disediakan pada silabus tenaga pengajar sehingga siswa mampu dengan baik memperdalamnya dalam waktu yang lebih cepat (Ramayulis, 2013).

Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif

Unsur dasar yang paling penting dalam pembelajaran kooperatif adalah saling ketergantungan yang bersifat positif antara satu siswa dengan siswa lain, dimana pada model ini akan menuntut interaksi promotif dan saling memberikan motivasi untuk mencapai tujuan akademik yang optimal. Kita bisa mencontohkan dengan ilustrasi bahwa masing-masing siswa akan tergantung kepada anggota lain karena memiliki tugas pelajaran yang berbeda sesuai kesepakatan dan proporsinya. Apabila salah satu siswa tidak mengerjakan maka tugas kelompoknya dianggap belum selesai.

Karena adanya kesadaran akan ketergantungan itulah yang secara efektif menumbuhkan rasa tanggung jawab pada setiap siswa. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan seorang siswa terhadap materi pelajaran yang telah diberikan. Hasil penilaian dikomunikasikan kepada kelompok oleh guru sehingga semua kelompok mengetahui anggota kelompok mana yang membutuhkan bantuan dan siapa yang dapat memperoleh bantuan. Setiap siswa secara otomatis diberikan kegiatan yang berbeda, dan setiap anggota kelompok memiliki keterampilan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya, sehingga siswa tersebut bertanggung jawab atas kegiatan tersebut.

Untuk interaksi tatap muka, siswa harus dapat berkomunikasi dengan sesama siswa dan guru secara berkelompok. Jenis interaksi ini memungkinkan peserta didik menjadi sumber belajar bagi individu siswa itu sendiri, sumber belajar yang lebih beragam, dan pembelajaran yang lebih mudah bagi peserta didik. Dalam konflik tatap muka, siswa penyandang disabilitas melakukan tugas individu dalam kelompok, dan siswa lainnya melakukan tugas kelompok untuk mendukung dengan lebih baik.

Pembelajaran partisipatif yang dilakukan setidaknya dapat memberikan keterampilan sosial, toleransi, kritik positif kepada teman, keberanian untuk berpikir logis, tidak ada kontrol atas orang lain, kemandirian untuk membangun hubungan interpersonal, dan sifat berguna lainnya dari pembelajaran ini. Komponen ini juga menuntut siswa untuk memiliki keterampilan komunikasi lainnya. Tidak semua siswa memiliki keterampilan menyimak dan berbicara, sehingga guru harus belajar berkomunikasi sebelum ditugaskan ke dalam suatu kelompok. Keberhasilan kelompok tersebut tergantung pada kesediaan anggota untuk mendengarkan satu sama lain dan kemampuan mereka untuk mengungkapkan pendapat mereka. Kadang-kadang perlu untuk memberi tahu siswa dengan jelas bagaimana melawan orang lain tanpa mengganggu mereka.

Guru hendaknya memberikan waktu kepada kelompok untuk mengevaluasi hasil kerja tim dan proses kolaborasi sehingga kelompok dapat menilai dan mengembangkannya sendiri dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak diperlukan setiap kali tugas kelompok dibuat. Namun, hal ini dapat terwujud seiring waktu setelah banyak siswa berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran bersama. (Suprijono, 2013).

Tipe Pembelajaran Kooperatif

Walaupun sebetulnya tipe pembelajaran kooperatif masih terus dikembangkan dan masih memiliki banyak tipe-tipe lainnya namun pada artikel kali ini saya akan menjelaskan 4 (empat) tipe utama yang biasa diimplementasikan dalam kegiatan belajar, yaitu STAD, struktural, jigsaw dan investigasi kelompok. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing tipe tersebut:

1. Tipe Student Team Achievement Division (STAD)

Sekilas mengenai sejarah Student Team Achievement Division (STAND) dimana tipe ini pertama kali dikembangkan oleh Robert Slavin dari Universitas John Hopkin. model Student Team Achievement Division (STAND) ini merupakan perubahan lebih baik dari model pembelajaran kooperatif yang paling banyak diteliti sebelumnya. Model ini juga sangat mudah diadaptasi, diterapkan, dan telah digunakan dalam berbagai mata pelajaran di banyak sekolah-sekolah.

Student Team Achievement Division (STAND) diterapkan dengan cara siswa dikelompokkan secara acak dan beragam kemudian siswa yang dianggap lebih pandai akan menjelaskan kepada siswa lain sampai mengerti. Kelebihan dari penerapan tipe Team Achievement Division (STAND) ini yaitu dimana seluruh siswa menjadi lebih siap dan melatih kerjasama dengan baik. Sedangkan kelemahannya adalah apabila semua anggota kelompok mengalami kesulitan dalam mempelajari suatu materi maka tenaga pengajar harus siap memberikan pemahaman lebih.

2. Tipe Pendekatan Struktural

Dilihat dari sejarahnya bahwa tipe pendekatan struktural yang dikembangkan oleh Spenser dan Miguel Kagan ini mengubah anggapan yang menyatakan bahwa metode resitasi dan diskusi perlu diselang dengan setting kelompok kelas secara keseluruhan. Tipe pendekatan struktural dapat dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran kepada siswa kemudian diberi waktu untuk beberapa saat untuk dapat memikirkan sendiri jawabannya. Selanjutnya siswa diminta untuk mendiskusikan dengan kelompoknya tersebut.

Interaksi pada diskusi tersebut dapat menghasilkan sebuah jawaban yang diakui bersama berdasarkan identifikasi oleh kemampuan berfikir siswa masing-masing. Tidak cukup hanya itu, langkah selanjutnya adalah membawa hasil jawaban ke forum yang lebih luas yaitu di depan kelas. Pada tahap ini semua ide akan terkumpul dan mungkin diantaranya ada beberapa kelompok yang sepakat namun juga memungkinkan adanya temuan ide baru atas pemikiran dari kelompok lain yang dibagikan bersama.

3. Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dikembangkan oleh Elliot Aronson di Universitas Texas, dimana dalam tipe ini tenaga pengajar membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen informasi yang lebih kecil. Langkah selanjutnya kemudian tenaga pengajar membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok belajar yang terdiri dari empat orang anggota sehingga setiap anggota tersebut bertanggung jawab terhadap kemampuan penguasaan setiap topik yang diberikan sebaik mungkin. Siswa yang berasal dari dari masing-masing kelompok kooperatif yang bertanggung jawab terhadap sebuah topik yang sama membentuk lagi sebuah kelompok yang hanya terdiri dari dua atau tiga orang.

Ada beberapa hal yang menjadi tugas siswa dalam kooperatif tipe ini yaitu siswa belajar menjadi seorang yang ahli dalam sebuah topik, kemudian memikirkan bagaimana mengajarkannya atau menyampaikan informasi yang ia miliki kepada kelompok lain. Pada tipe ini siswa di tuntut untuk menguasai sebuah bidang atau topik pembahasan secara spesifik dan dituntut pula menyampaikan kepada teman-temannya.

4. Tipe Investigasi Kelompok (Group Investigation)

Tipe pembelajaran kooperatif ini dikembangkan oleh Herbert Thelen kemudian dikembangkan menjadi lebih baik oleh Sharan dkk di Universitas Tel Aviv. Tipe ini mendorong para siswa yang terlibat dalam kelompok belajar untuk memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan komunikasi ketrampilan pengelolaan kelompok (group process skills). Pada tipe investigasi kelompok, tenaga pengajar membagi siswa dalam kelas menjadi beberapa kelompok belajar yang terdiri dari 4-6 anggota saja dengan pertimbangan bahwa siswa tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dari berbagai sisi. Siswa ditugaskan untuk mempelajari sebuah topik pembahasan secara mendalam dan menyiapkan presentasi di depan kelas. Biasanya untuk membantu siswa dalam pengembangan pembahasan, maka tenaga pengajar akan menyampaikan terlebih dahulu gambaran luas dari masing-masing topik yang akan dipilih. Kemudian para siswa beserta guru melakukan perencanaan berbagai tahapan proses dan prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih.

Keunggulan Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif memberikan sensasi kebebasan dalam belajar, dimana siswa tidak akan merasa terbebani akan tugas sekolah karena dikerjakan berkelompok. Hal ini kaitannya dengan dorongan kerja sama dan melatih siswa untuk mampu mengajak teman satu kelompok yang lainnya untuk saling berkoordinasi dengan baik. Penyelesaian tugas tidak ditanggungkan pada seseorang saja namun pada sekelompok orang dengan karakter yang berbeda. Dengan adanya pemikiran semacam ini menyebabkan tumbuhnya rasa kebersamaan diantara siswa.

Kebebasan berfikir dalam kelompok belajar dengan anggota yang berbeda-beda dalam hal latar belakang, kesukaan, kemampuan dan cara berfikir mendorong perluasan berfikir siswa itu sendiri. Siswa akan semakin memperdalam konsep sesuai caranya dan mengkritisi pendapat yang bebeda. Kebebasan dan keragaman latar belakang kelompok belajar menjadi kombinasi yang sinergis untuk dapat memecahkan masalah. Dengan model pembelajaran kooperatif ini pemecahan masalah menjadi lebih efektif dibandingkan model individu.

Konsep pembelajaran yang mengutamakan kolaboratif ini memandang kompetisi antar individu sehingga berpotensi meningkatkan hubungan sosial yang lebih baik. Dengan menjaga keragaman karakter dan konep berfikir yang berbeda maka model kooperatif dapat di implementasikan pada beragam budaya daerah tanpa batasan teritorial.

Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif dapat menimbulkan perselisihan karena perbedaan karakter dan latar belakang masing-masing anggota kelompok belajarnya apabila tidak dijaga dengan hubungan baik. Perselisihan ini akan berdampak pula pada hasil pembelajaran siswa yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu perselisihan yang mungkin terjadi biasanya diantisipasi oleh tenaga pengajar dengan memberikan pengarahan.

Kemampuan belajar siswa yang berbeda terkadang memberikan perbandingan dominasi yang mencolok. Sebagian ada siswa yang nampak sangat dominan dan sebaliknya ada sebagian siswa yang tidak mampu mencolok diantara teman-temannya sehingga hanya bisa diam pada saat jam pelajaran. Kelemahan pada model pembelajaran kooperatif semacam ini sebetulnya dapat diantisipasi dengan pendekatan partisipasi guru pada personal masing-masing siswa sehingga mampu memberikan proporsi yang sama atas dominasi kelompok.

Karena prosesnya yang panjang dalam pembelajaran kooperatif ini maka membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pembelajaran individu. Tidak adanya kompetisi antar siswa menyebabkan kecepatan pemahaman topik pembelajaran berjalan sangat lambat. Karena mambutuhkan komunikasi dan pertukaran pendapat dalam bentuk diskusi menyebabkan berbagai proses ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan sangat sulit menentukan pencapaian target paling optimal.

Sumber Pustaka

  • Arisanti Devi. 2015, Model Pembelajaran Kooperatif pada Pendidikan Agama Islam. Vol. 12 No. 1 (2015): Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan
  • Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo.
  • Nurwahyuni, Esa. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Anzul Media.
  • Ramayulis. 2012. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
  • Sagala, Syaiful. 2004. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
  • Sanjaya, Wina. 2006. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:Prenada Media Group.
  • Slavin, Robert E., 2011. Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam pembelajaran dikelas maupun tutorial. Menurut Suharsaputra (2010: 5) model  pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran  hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan belajar, yang dirancang    berdasarkan proses  analisis yang diarahkan pada implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di depan kelas.  

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa model-model pembelajaran merupakan kerangka konseptual sedangkan strategi lebih menekankan pada penerapannya di kelas sehingga model-model pembelajaran dapat digunakan sebagai acuan pada kegiatan perancangan kegiatan yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa.

Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Learning Cell  membentuk pada suatu bentuk  belajar  kooperatif  dalam  bentuk  berpasangan,  di  mana  siswa  bertanya  dan  menjawab pertanyaan secara bergantian berdasarkan materi bacaan yang sama. (Istarani, 2012:228).

Tugas kerja sama berkenaan dengan suatu hal yang menyebabkan anggota kelompok kerja sama dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Sedangkan struktur insentif  kerja sama merupakan sesuatu hal yang membangkitkan motivasi siswa untuk melakukan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan kelompok tersebut. Pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Kegiatan pembelajaran kooperatif intinya adanya suatu kerjasama yang menciptakan interaksi antar anggota kelompok yang mampu mengasah kemampuan berpikir siswa dengan menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan, yang nantinya dapat dijadikan dasar bertindak dan bersikap dalam kehidupan bermasyarakat.

Sintaks Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang dapat menimbulkan terjadinya interaksi diantara siswa itu sendiri. Manfaatnya siswa akan lebih mudah menentukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila siswa mendiskusikan perbandingan dengan siswa lainnya. Dalam interaksi tersebut terjadi ketergantungan satu sama lain, saling membantu, dan saling memberi semangat untuk menjadi yang lebih baik.


 (Sumber: Suprijono; 2009)

Model the learning cell dikembangkan oleh Goldschmid (1971) dari swiss federal intitute of teknology di lausanneThe learning  cell  menunjuk  pada  suatu  bentuk belajar  kooperatif  dalam  bentuk berpasangan , dimana peserta didik bertanya dan menjawab pertanyaan secara bergantian berdasar pada materi bacaan yang sama. Model pembelajaran kooperatif tipe the learning cell merupakan cara praktis untuk mengadakan pengajaran sesama siswa di kelas. Model pembelajaran ini juga memungkinkan guru untuk memberi tambahan bila dirasa perlu oleh siswa. Menurut Suprijono dalam Evia, dkk (2011: 53) model pembelajaran the learning cell merupakan strategi alternatif untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi baik secara individu maupun kelompok. Salah satu kemampuan yang harus dikuasai siswa adalah dalam hal menemukan gagasan utama.

Model pembelajaran the learning cell merupakan bentuk pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan konstruktivistik. Sementara pembelajaran kooperatif merupakan model alternatif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model ini berupaya meningkatkan kemampuan siswa dalam bekerja sama, berargumentasi, dan meningkatkan prestasi akademik. Di samping itu, the learning cell dapat membantu siswa memahami materi pelajaran yang sulit dan pada saat bersamaan sangat berguna untuk menumbuhkan kemauan membantu teman dan membagi ilmu pengetahuan.

Dalam  proses  pembelajaran,  jika  guru  menjadi  satu-satunya sumber belajar bagi siswa, maka seorang guru akan menjadi sumber informasi yang  penting.  Karena  terdesak  waktu  untuk  mengajar  dan  pencapaian kurikulum,  maka  guru  akan  mencari  jalan  pintas  yang mudah  yakni  dengan menginformasikan  fakta  dengan  menggunakan  model  ceramah  semata. Akibatnya siswa akan memiliki banyak pengetahuan, akan tetapi tidak terlatih untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Agar seorang guru tidak menjadi satu-satunya sumber belajar bagi siswa, maka  seorang  guru  dituntut  untuk  memiliki  pengetahuan  tentang  berbagai model pengajaran. Hal ini dimaksudkan agar guru dapat menyesuaikan model yang dipakai dalam proses pembelajaran dengan bahan pengajaran atau pokok bahasan.  Siswa yang memiliki motivasi belajar akan semakin termotivasi bila dilibatkan dalam kerja kelompok dan berpasangan. Tugas yang berat dikerjakan seorang diri akan menjadi mudah bila dikerjakan bersama. Keuntungan lainnya dari belajar bersama yaitu siswa yang belum mengerti penjelasan guru akan menjadi mengerti melalui penjelasan dan diskusi mereka dalam kelompok berpasangan.


Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif the learning cell

Langkah-langkah model pembelajaran the learning cell yang pertama adalah persiapan; siswa diberi tugas membaca suatu bacaan kemudian menulis pertanyaan yang berhubungan dengan masalah pokok yang muncul dari bacaan atau materi terkait lainnya. Kemudian pada awal pertemuan, siswa ditunjuk untuk berpasangan dengan mencari kawan yang disenangi. Siswa A memulai dengan membacakan pertanyaan pertama dan dijawab oleh siswa B. Setelah mendapatkan jawaban dan mungkin telah dilakukan koreksi atau diberi tambahan informasi, giliran siswa B mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa A. Jika siswa A selesai mengajukan satu pertanyaan kemudian dijawab oleh siswa B, ganti B yang bertanya, dan begitu seterusnya. Selama berlangsung tanya jawab, guru bergerak dari pasangan ke pasangan yang lain sambil memberi masukan atau penjelasan dengan bertanya atau menjawab pertanyaan ( Istarani, 2012: 228).

Zaini, dkk dalam Evia (2011) juga mengutarakan 5 langkah model pembelajaran kooperatif tipe the learning cell yang sama seperti di atas. Namun, menurut Zaini, dkk model pembelajaran the learning cell ini dapat dimodifikasi dalam bentuk lain. Salah satu bentuk variasi lain dari model ini adalah setiap siswa membaca atau mempersiapkan materi yang berbeda. Dalam contoh seperti ini, siswa A “mengajar” siswa B pokok-pokok dari yang siswa A baca kemudian meminta siswa B untuk bertanya kemudian siswa A dan B berganti peran dan begitu seterusnya.


Tujuan  penggunaan model  kooperatif tipe the  learning  cell

Tujuan  dari  penggunaan model  kooperatif tipe the  learning  cell  itu  sendiri  adalah  untuk menciptakan  suasana  belajar  yang  mendorong  siswanya aktif  dalam  proses belajar.  Keaktifan  ini  dapat  dicapai melalui  ketergantungan  model yang digunakan. Perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  dalam  segala  bidang yang terjadi pada saat ini sudah semakin pesat. Dengan perkembangan tersebut maka akan menuntut perubahan cara mengajar atau model yang digunakan oleh seorang  guru  dalam  mengajar.  Upaya  mencerdaskan  kehidupan  bangsa  dan mengembangkan  kualitas  manusia  seutuhnya,  adalah  misi  pendidikan  yang menjadi  tanggung  jawab  profesional  setiap  guru.  Guru  tidak  mungkin  lagi hanya mengajarkan fakta dan konsep kepada siswa. Jika hal ini tetap dipaksakan maka  tujuan  pendidikan  tidak  dapat  tercapai  secara  sempurna,  karena sasaran dan tujuan pendidikan tidak hanya pada segi kognitif saja, akantetapi juga pada segi afektif juga psikomotor siswa.


Sumber Pustaka :

  • Haryanto. (2012). Sains Jilid 4 untuk kelas IV. Jakarta: Erlangga,
  • Cross,  D., Taasoobshirazi,G.Hendricks,S.,&  Hickey,  D.,  (2008)  Argumenation:  A  Strategy for  Improving  Achievement  and  Revealing  Scientific  Identities,  International  Journal  of Science Education, 30 (6):837-861
  • Duschl, R., & Osborne, J. (2002). “Supporting and Promoting Argumenation Discourse”. Studies in Science Education, 38, 39–72.
  • Erduran, S., & Maria, Pj., (2008) Argumentation in Science Education. London: Spinger Science.
  • Erduran, S., Simon, S. & Osborne, J. (2004). TAPing into argumenation: Developments in the application of Toulmin's Argumen Pattern for studying science discourse. Science Education 88(6), 915-933.
  • Evia, dkk. (2011). Studi Perbandingan Hasil Belajar Matematika Siswa Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe The Learning Cell dan Tipe Artikulasi Di Kelas VII SMPN 7 MA. Jambi. Jurnal Edumatica : Vol. 01 No. 02, Oktober 2011
  • Heruman, (2007) Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.  Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Istarani . (2012). Model Pembelajaran Inovatif. Medan: Media Persada
  • Jiménez-Aleixandre, M. & Erduran, S. (2008). Argumenation in Science Education: An overview. In S. Erduran and M. Jiménez-Aleixandre (Eds). Argumenation in Science Education: Perspectives from Classroom-Based Research, 3-27. Springer.
  • Jimenez-Aleixandre, M. P., Rodriguez, A. B. & Duschl, A.R. (2000). “Doing the Lesson” or “Doing Science”: Argumen in High School Genetics. Science Education 84(6), 757-792.
  • Jonathan, Osborne. (2012). Peranan Argumen dalam Pendidikan Sains. Universitof London, Inggris
  • Mukhafifah, Rita. 2011. Eksperimentasi Pembelajaran Matematika Melalui Metode Team Quiz Dan Learning Cell Ditinjau Dari Aktivitas Belajar Siswa. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
  • Pratama, Mutiara “pencemaran lingkungan ”, 2013. Dari putrihttp://muti-mpp.blogspot.com/2013/05/pelajaran-biologi-sma-kelas-x-tentang.htm
  • Riduwan.Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta.2009
  • Robbins, P. Steven dan Timothy A. Judge. 2008. Organizational Behavior. New Jersey.
  • Sagala,Syaiful,(2005), Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta
  • Sampson, V. & Clark, D, (2008). Assessment of the Ways Students Generate Argumens in Science Education: Current Perspectives and Recommendations for Future Directions. Science Education 92(3), 447-472.


Sumber Ilustrasi: www.atavacations.com

Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari ”Guidance” berasal dari kata kerja ”to guide” yang mempunyai arti menunjukkan, membimbing, menuntun, ataupun membantu. Sesuai dengan istilahnya, maka secara umum bimbingan dapat diartikan sebagai suatu bantuan atau tuntunan (Hellen, 2003:3). Namun meskipun demikian, tidak berarti semua bentuk bantuan atau tuntunan adalah bimbingan.
Definisi bimbingan yang pertama dikemukakan dalam Year’s Book of Education 1955, yang menyatakan: Guidance is a process of helping individual through their own effort to discover and develop their potentialities both for personal happiness and social usefulness.
Bimbingan adalah suatu proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial (Hellen, 2002:3). Bimbingan merupakan pemberian bantuan oleh seseorang kepada orang lain dalam menentukan pilihan, penyesuaian, dan pemecahan masalah (Hellen, 2002:3).
Para ahli memiliki pengertian yang beragam untuk memahami pengertian bimbingan, namun peneliti hanya mengambil beberapa diantaranya,. Surya (2002;6) mengemukakan definisi bimbingan sebagai berikut:
“Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.”
Miller (1961) dalam Surya (2002), menyatakan bahwa bimbingan merupakan proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimal kepada sekolah (dalam hal ini termasuk madrasah), keluarga dan masyarakat.
Sementara Rohman Natawidjaja (2008:37) mengartikan bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dan kehidupan pada umumnya.
Adapun pengertian konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Rogers (1942) mengemukakan pengertian konseling adalah serangkaian hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkahlakunya.
Bimbingan dan konseling adalah proses pemberian bantuan yang terarah, kontinyu dan sistematis kepada setiap siswa agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal dengan cara menginternalisasikan kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.
Dengan demikian bimbingan konseling mempunyai pengertian sebagai suatu bantuan yang diberikan oleh seorang pembimbing kepada orang lain (klien) dengan harapan klien tersebut dapat memecahkan masalahnya dan dapat memahami dirinya dan mengarahkan dirinya sesuasi dengan kemampuan dan potensinya sehingga mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dari uraian di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa bimbingan dan konseling sangat perlu diberikan kepada siswa agar tercapainya kemandirian dalam pemahaman diri serta dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya, dan untuk membantu peserta didik agar mampu mencegah dan menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya serta mengatasi masalah yang dialaminya.

Tujuan Bimbingan Konseling
Tujuan bimbingan dapat dibedakan atas tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara adalah: supaya orang bersikap dan bertindak sendiri dalam situasi hidupnya sekarang ini, misalnya melanjutkan atau memutuskan hubungan percintaan, mengambil sikap dalam pergaulan, mendaftarkan diri pada fakultas perguruan tinggi tertentu. Tujuan akhir ialah: supaya orang mampu mengatur kehidupannya sendiri, mengambil sikap sendiri, mempunyai pandangan sendiri dan menanggung sendiri konsekuensi atau resiko dari tindakan-tindakannya. Diharapkan supaya orang yang dibimbing sekarang ini akan berkembang lanjut, sehingga semakin memiliki kemampuan berdiri sendiri (Winkel, 1987:17).
Adapun menurut Paimun tujuan umum dari bimbingan dan konseling yaitu mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan pendidikan, yaitu tercapainya perkembangan kepribadian yang optimal dan harmonis diantara unsur-unsurnya yang meliputi fisik, mental, emosional, sosial, dan moral, bahkan spiritual (religius). Apabila kepribadian telah berkembang secara optimal dan harmonis maka peserta didik dapat dikatakan telah dewasa. Tujuan pendidikan adalah kedewasaan, sedangkan tujuan bimbingan adalah kemandirian. Dalam ilmu pendidikan orang dewasa adalah orang yang sudah mampu mandiri. Orang yang sudah mandiri adalah orang yang sudah mampu bertanggung jawab (Paimun, 2008:20).

Jenis-Jenis Layanan Dalam Bimbingan Konseling
Adapun jenis-jenis layanan bimbingan dan konseling dalam meningkatkan motivasi belajar siswa yang akan penulis sampaikan yaitu mencakup beberapa hal sebagai berikut:

a.    Layanan Orientasi
Layanan orientasi yaitu layanan bimbingan yang dilakukan untuk memperkenalkan siswa baru dan atau seseorang terhadap lingkungan yang baru dimasukinya.33 Adapun pelayanan yang dapat diberikan antara lain orientasi kehidupan di sekolah yang lebih tinggi, misalnya kehidupan di sekolah menengah (struktur sekolah, peraturanperaturan sekolah, kewajiban-kewajiban siswa, mata-mata pelajaran, penjurusan di SMA). Apabila siswa telah dikenalkan dengan pilihan sekolah lanjutan maka siswa dapat mengetahui mana yang lebih cocok dan mana yang tidak cocok dengan dirinya, kemudian dengan pilihan sekolah lanjutan yang cocok dengan bakat dan minatnya maka akan dapat menimbulkan motivasi.
Pelayanan ini sangat bermanfaat karena siswa memperoleh pengalaman-pengalaman praktis sebelum mereka terjun ke lapangan kerja atau masyarakat yang sebenarnya. Mereka yang telah melakukan orientasi biasanyan tidak canggung lagi menghadapi situasi yang sebenarnya yang akan mereka alami dan tidak belajar terlalu banyak dalam situasi baru yang mereka masuki, karena dalam orientasi mereka sudah belajar melakukan adjustment.

b.    Layanan Informasi
Layanan informasi yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi seperti informasi belajar, sosial, karir atau jabatan, dan pendidikan lanjutan. Layanan ini bertujuan agar para siswa mengetahui cara-cara belajar yang efektif, jenis-jenis sekolah untuk melanjutkan pendidikan, jenis-jenis jabatan/pekerjaan yang ada dalam masyarakat, serta jenis-jenis organisasi atau lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat untuk selanjutnya bagi mereka yang berpotensi, berbakat dan berminat dapat merencanakan untuk memasukinya apabila telah selesai menempuh pendidikan yang sekarang sedang berlangsung. Manfaat pelayanan informasi sangat besar, terutama karena pelayanan tersebut dapat mendorong motivasi untuk melanjutkan pelajaran, menambah kemampuan dan keterampilan serta memilih pekerjaan yang sesuai dengan cita-citanya, membantu menyalurkan bakat dan cita-cita siswa, menunjang keberhasilan belajar, membantu merencanakan dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan bakat, latar belakang pendidikan dan kepribadiannya.

c.    Layanan Penempatan dan Penyaluran.
Layanan penempatan dan penyaluran yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan atau program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstrakurikuler.36 Layanan ini bertujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Manfaat pelayanan penempatan dan penyaluran adalah membantu siswa agar dapat berhasil dalam belajar, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, dapat mengembangkan potensi dan bakat siswa serta menunjang tercapainya cita-cita. Siswa yang memperoleh pelayanan penempatan dan penyaluran yang tepat memungkinkan dia meningkatkan motivasinya untuk belajar agar dapat meneruskan pendidikannya dengan sukses dan dapat menduduki jabatan (pekerjaan) secara professional yang akan mengantarkannya kepada kesejahteraan dalam pekerjaannya.

d.    Layanan Penguasaan Konten
Layanan penguasaan konten yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah atau madrasah, keluarga dan masyarakat. Layanan ini memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik.

e.    Layanan Konseling Perorangan
Layanan konseling perorangan yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya. Layanan ini memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan yang menghambat perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Pelayanan konseling merupakan pelayanan dan sekaligus merupakan teknik bimbingan dan konseling. Pelayanan konseling perorangan biasanya diberikan kepada siswa yang memiliki permasalahan pribadi. Jadi apabila permasalahan telah diatasi, maka siswa dapat meningkatkan motivasi belajarnya sesuai dengan arahan yang diberikan oleh guru bimbingan dan konseling selama proses konselimg berlangsung.

f.     Layanan Bimbingan Kelompok.
Layanan bimbingan kelompok yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir atau jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan ini bertujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Kegiatan kelompok merupakan teknik yang baik dalam bimbingan, karena kelompok memberikan kesempatan kepada individu untuk berpartisipasi dengan sebaik-baiknya. Banyak kegiatan tertentu yang lebih berhasil jika dilakukan dalam kelompok. Untuk mengembangkan bakat-bakat dan menyalurkan dorongan-dorongan dapat dilakukan melalui kegaiatan kelompok. Dengan kegiatan ini setiap anak mendapat kesempatan untuk meyumbangkan pikirannya, juga dapat mengembangkan rasa tanggung jawab. Dengan adanya rasa tanggung jawab maka dapat menimbulkan semangat dan motivasi dalam belajar.

g.    Layanan Konseling Kelompok
Layanan konseling kelompok yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan ini memungkinkan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok misalnya memberikan layanan konseling kepada sekelompok siswa yang tawuran, menggunakan narkoba, dan sebagainya. Apabila masalah tersebut telah teratasi dan siswa menyadari bahwa perlunya untuk meninggalkan masalah tersebut maka timbul motivasi untuk belajar lebih giat.

h.    Layanan Konsultasi.
Layanan konsultasi yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik. Bagi siswa yang mengalami masalah belajar bisa konsultasi dengan guru BK, misalnya kesulitan dalam mengingat pelajaran, kesulitan cara membagi waktu belajar, kesulitan dalam menyusun jadwal kegiatan belajar. Dengan adanya layanan konsultasi ini memungkinkan siswa diberikan motivasi atau solusi yang benar sehingga dapat mengurangi masalah yang dialami para siswa.

Sumber Pustaka:
Hallen, 2002. Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Ciputat Pers.
Surya, Moh. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance &  Counseling), Bandung: C.V ilmu.
Paimun. 2008. Bimbingan dan Konseling Sari Perkuliahan, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Rohman, 2008. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Kencana.
Winkel, W.S. 1987, Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah, Jakarta: PT Gramedia.