Showing posts with label Manajemen. Show all posts
Showing posts with label Manajemen. Show all posts

Konteks pemasaran (marketing) mengisyaratkan pentingnnya loyalitas, keputusan dan persepsi positif dari pelanggan terhadap layanan yang diberikan perusahaan. Untuk memegang kendali penuh terhadap aspek tersebut maka pendekatan yang paling relevan adalah dengan Customer Relationship Management (CRM). Konsep tersebut merupakan pendekatan yang paling relevan sehingga kita pahami bahwa CRM (Customer Relationship Management) merupakan strategi, cara-cara yang diputuskan oleh perusahaan dalam kegiatannya menjalankan sales, marketing dan service yang terintegrasi satu dengan lainnya.


Menurut Kristianto (2010) CRM (Customer Relationship Management) merupakan proses dinamis dalam mengelola hubungan antara pelanggan dengan perusahaan sehingga pada akhirnya para pelanggan dapat memilih untuk tetap melanjutkan interaksi yang saling menguntungkan secara komersial.


Customer Relationship Management (CRM) adalah proses mengidentifikasi pelanggan, menciptakan customer knowledge terhadap produk atau layanan yang ditawarkan, membangun hubungan (customer relationship), dan membentuk persepsi pelanggan terhadap perusahaan dan solusinya. CRM adalah proses untuk mendapatkan informasi pelanggan, mempertahankan pelanggan lama, dan mengembangkan pelanggan baru sehingga dapat menguntungkan (profitabel customers) bagi bisnis perusahaan terlebih dengan CRM analitikal ini interaksi menjadi saling menguntungkan antar dua pihak. Salah satu tinjauan penting dalam CRM ini adalah tentang analitikal, yang mengukur dan melakukan identifikasi kebutuhan pasar yang selanjutnya dapat digunakan untuk memutuskan strategi yang tepat.


Penegertian CRM (Customer Relationship Management) Analitikal

Customer Relationship Management (CRM) analitikal adalah proses analisis dari data-data yang dihasilkan melalui proses opersional. Oleh sebab itu proses analitikal tersebut tidak akan berlangsung sebelum bisnis melakukan operasionalnya. Sebagai lanjutan dari tahapan dalam pemasaran maka analitikal ini memiliki moment krusial, diamana perusahaan harus memiliki instrumen yang baik dalam pengumpulan datanya sehingga dapat dianalisis dengan baik pada tahapan ini.


Customer Relationship Management (CRM) analitikal adalah proses analisis data-data yang diperoleh dari kegiatan operasional perusahaan secara aktual yang dilakukan melalui riwayat bisnis yang sudah berlangsung. Semakin banyak landasan analisis yang digunakan maka akan semakin baik, akurat dan mudah analisis yang dilakukan. Pada saat ini banyak perusahaan berusaha untuk lebih mengerti tentang pelanggan mereka dengan memberikan respon secara lebih baik dan mengantisipasi kebutuhan mereka melalui rekomendasi analisis yang dilakukan. Namun, kebanyakan perusahaan berfokus untuk mengimplementasikan CRM hanya sebatas untuk mengetahui kebutuhan dan keluhan dari pelanggan, yang pada praktisnya hanya berkonsentrasi pada komponen operational dan collaborative, sehingga analisis akan pemahaman dan pengenalan terhadap pelanggan belum optimal. Dari kekurangan tersebut maka komponen analitikal dibutuhkan untuk mengoptimalkan hubungan antara perusahaan dengan pelanggannya sehingga menciptakan iklim pemasaran yang berkelanjutan.


Menurut Greenberg (2004), analitikal CRM adalah tahapan untuk mendapatkan, menyimpan, mengekstrak, memproses, menginterpretasikan, dan melaporkan data pelanggan kepada perusahaan untuk dijadikan landasan dalam memutuskan strategi di masa depan. Xu dan Walton dalam Zafareh (2007) menyatakan bahwa CRM analitikal dilakukan dengan menggabungkan antar instrumen yang dapat memproses data informasi pelanggan untuk mendukung penyediaan informasi pelanggan secara strategis dan mendapatkan pehamaman tentang pelanggan. Analitikal CRM adalah sebuah kombinasi dari data warehouse atau data mart yang terintegrasi dengan business inteligence analitikal systems (Online Analitikal Processing – OLAP) (Zafareh, 2007).


Berdasarkan pengertian tersebut maka jelaslah bahwa konsep CRM ini tidak dapat dipisahkan antara operasional dan analikal. Karena keduanya dapat digunakan secara bersamaan dalam dinamika bisnis yang berkelanjutan. Masing-masing aktivitas tersebut dapat saling melengkapi dan memberikan hasil sebagai bahan bagi pengelola memetakan strategisnya. Untuk selanjutnya, praktisi bisnis yang berorientasi pada pemasaran dapat mengembangan instrumen apa saja yang digunakan dalam proses analitikal tersebut.


Tujuan CRM (Customer Relationship Management) Analitikal

Dengan menerapkan CRM analitikal, perusahaan diharapkan memiliki kecerdasan bersaing dalam penetapan strategi pemasarannya yang digunakan. Sebagai contoh, dengan CRM analitikal ini diharapkan meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memetakan segment pelanggannya sebagai acuan untuk menentukan metode marketing yang lebih fokus sehingga lebih efisien. Informasi-informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber kemudian dikelola dan dianalisis menggunakan Pemrosesan analitik online (OLAP), menghasilkan pengetahuan yang lebih mengenai pelanggan dan memungkinkan proses marketing yang lebih efektif.


Dalam proses CRM analitikal diharapkan perusahaan mampu melakukan segmentasi pelanggan, membedakan pelanggan yang memiliki profitabilitas tinggi dengan tingkat akurasi yang lebih matang, sehinggan menyedbabkan return on investement (ROI) akan suatu pelanggan dapat diprediksi dengan baik. Dengan pengetahuan tersebut maka penawaran yang tepat, harga yang tepat dapat ditawarkan pada saat yang tepat, kepada pelanggan yang memang berpotensi untuk membelinya, hal ini akan mengoptimasi pelanggan dan perusahaan.


Dengan integrasi informasi tentang karakteristik pelanggan dari semua sumber operasional pada tahap sebelumnya dan sarana informasi vital lainnya yang menggambarkan interaskis perusahaan dengan pelanggan, maka manajemen perusahaan dapat memperoleh gambaran yang pasti tentang pelanggan dan prilaku keputusannya. Informasi yang memiliki akurasi tinggi dapat membantu perusahaan dalam melakukan personalisasi terhadap pelanggan dan melakukan penyesuaian (adaptasi) diri terhadap iklim bisnis seiring dengan kemungkinan perubahan-perubahan yang terjadi dari permintaan pelanggan.


Penerapan CRM (Customer Relationship Management) Analitikal

CRM analitikal digunakan juga sebagai alat untuk mengevaluasi profitabilitas yang diperoleh, berdasarkan segmentasi dari hasil analisa yang kuat, dan meningkatkan return on investement (ROI) dari pelanggan. Dengan menganalisa profitabilitas dari sisi pelanggan, perusahaan dapat melakukan segmentasi pelanggannya berdasarkan tingkat profitabilitasnya sehingga dapat menetapkkan target tingkat penjualannya terhadap masing-masing pelanggan.


Langkah selanjutnya adalah tindak lanjut terhadap feedback loop dari hasil analisa yang telah dilakukan melalui CRM analitikal tersebut untuk menentukan strategi interaksi selanjutnya yang akan dibangun dengan pelanggan. Dalam penelitian Ahmed (2004) membuat sebuah model data mining menggunakan prediksi dan klasifikasi untuk menemukan karakteristik dari pelanggan yang memiliki kecenderungan dalam memutuskan pembelitan. Berdasarkan informasi tersebut, jenis promosi yang efektif untuk menjaring pelanggan dengan segment tertentu dapat ditentukan dengan akurat. Tipe-tipe data yang diperlukan dalam aplikasi data mining untuk bisnis berbasis pelanggan diantaranya adalah:

  • Demografik, seperti usia, jenis kelamin, alamat sebagai informasi klasifikasi wilayah dan status pernikahan sebagai dasar tanggungan keluarga.
  • Status ekonomi, seperti gaji, nilai rata-rata pendapatan dan pengeluaran dan pekerjaan atau profesi.
  • Detail geografik, seperti kota, provinsi, dan negara untuk menentukan gambaran kemampuan pelanggan dilihat dari klasifikasi wilayah.

Semua data tersebut beserta jenis data demografik lain dapat digunakan untuk mengelompokkan pelanggan ke dalam suatu segmen pelanggan yang memiliki kemiripan karakteristik dan kebutuhan produk yang serupa. Selain penelitian di atas, Qiaohong, dkk (2004) menunjukkan desain analitikal CRM berbasis data warehouse. Sap.com (2003) mendiskusikan pentingnya penggunaan analitikal CRM di dalam suatu bisnis. Xu dan Walton (2005) juga menjelaskan pentingnya mendapatkan pengetahuan tentang pelanggan melalui analitikal CRM.

CRM analitis memberdayakan bisnis untuk:

  • Kumpulkan informasi pelanggan dan atur ke dalam repositori.
  • Tawarkan interaksi yang dipersonalisasi untuk meningkatkan hubungan dengan pelanggan dan prospek.
  • Tingkatkan keefektifan kampanye pemasaran dengan memisahkan audiens dalam kriteria yang berbeda.
  • Meramalkan dan mencegah pembelokan pelanggan untuk meningkatkan retensi pelanggan.
  • Rencanakan prakiraan keuangan yang didukung oleh analisis metrik kinerja.

Penutup

Meskipun banyak penelitian yang sudah dilakukan terkait penerapan aplikasi analitikal CRM, namun kebanyakan lebih berfokus pada teknologi data warehouse ataupun metode data mining daripada arsitektur dan implementasinya. Hal ini melatarbelakangi penelitian yang sudah dilakukan oleh Xie (2008) menganai perancangan arsitekur analitikal CRM beserta implementasinya pada industry bank. Gambar 3 di bawah ini merupakan arsitektur dari analitikal CRM yang sudah diimplementasikan. Secara umum sistem analitikal CRM dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu front-end subsystem yang menyediakan berabagi modul untuk mengontrol data warehouse dan data mining, serta back-end subsystem yang bertujuan untuk menganalisis, memprediksi, dan melaporkan perilaku pelanggan.


Sumber Pustaka

  1. Bryan, Bergeron. 2002. Essentials of Customer Relationship Management. New York: Wiley & Son Inc,.
  2. Chorianopoulos, Antonios. 2015. “Effective CRM Using Predictive Analytics.” John Wiley & Sons, Ltd. i–xv.
  3. Dyantina. 2012. “Penerapan Customer Relationship Management (CRM) Berbasis Web (Studi Kasus Pada Sistem Informasi Pemasaran Di Toko Yen-Yen).” Jurnal Sistem Informasi (JSI) 4(2):2.
  4. Greenberg. 2004. CRM at the Speed of Light: Essential Customer Strategies for the 21st Century (Third Edition). London & New York: McGraw-Hill.
  5. Hananto, Valentinus Roby, Agus Dwi Churniawan, and Ayouvi Poerna Wardhanie. 2017. “Perancangan Analitikal CRM Untuk Mendukung Segmentasi Pelanggan Di Institusi Pendidikan.” Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi Asia 11(1):79. doi: 10.32815/jitika.v11i1.55.
  6. Hijriani, Astria, and Fikri Ahmad Maulana. 2019. “Implementasi Customer Relationship Management ( CRM ) Pada Usaha Mikro Bidang Retail Studi Kasus CV Duta Square Bandar Lampung.” Prosiding Seminar Nasional Sains, Matematika, Informatika Dan Aplikasinya. 5(1):84–94.
  7. Hutasoit, Elfrida Mariyetta, and Sandra Sunanto. 2017. “Rancangan Sistem Analitikal Crm Untuk Showroom Faza Sindanglaya77 Motor.” 2(1):1–17.
  8. Kodong, Frans Richard. 20011. “Customer Relationship Management.” Pengembangan Customer Reliationship Management (0274):463–78. doi: https://doi.org/10.31315/telematika.v7i2.420.
  9. Kristianto, Reynald Dwi. 2010. Customer Relationship Management. Yogyakarta: eknik Informatika UPN.
  10. Laudon. 2010. Management Information Syistem: Managing The Digital Firm. New Jersey: Prentic Hall.
  11. Mulyanto, Agus. 2009. Sistem Informasi Konsep Dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  12. Natalia, Natalia, Cooky Tri Adhikara, and Shirley Agusthina. 2020. “Analisis Implementasi Customer Relationship Management Dan Marketing Public Relations Terhadap Nilai Pelanggan Dan Dampaknya Terhadap Loyalitas Pelanggan: Studi Kasus Grand Tropic Suites’ Hotel.” Binus Business Review 3(1):513. doi: 10.21512/bbr.v3i1.1339.
  13. Ranjan. 2009. Role of Analitikal CRM in CRM Systems: Importance and Benefits. Management & Change. Management & Change.
  14. Sutanta, Edhy. 2003. Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta: Graha Ilmu.
  15. Tjiptono. 2001. Manajemen Jasa. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
  16. Wardani, Ni Wayan. 2020. Penerapan Data Mining Dalam Analytic CRM.
  17. Zafareh. 2007. The Role of Analitikal CRM in Maximizing Customer Profitability in Private Banking. Lulea: Lulea University of Technology.

Faktor penentu keberhasilan dalam menjalankan visi, misi, dan tujuan perusahaan adalah karyawan. Maka dari itu perusahaan harus mengelolanya dengan baik, karena kinerja karyawan sangat mempengaruhi kinerja perusahaan.  Kinerja merupakan  hasil kerja seseorang baik kualitas maupun kuantitas sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Kinerja juga termasuk berlangsungnya suatu pekerjaan.  Kinerja merupakan hasil pekerjaan dengan tujuan strategis, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.

 

Pengertian Kinerja Menurut Para Ahli

Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Veithzal, 2005). Kinerja karyawan tidak hanya sekedar informasi untuk dapat dilakukannya promosi atau penetapan gaji bagi perusahaan. Akan tetapi bagaimana perusahaan dapat memotivasi karyawan dan mengembangkan satu rencana untuk memperbaiki kemerosotan kinerja dapat dihindari.
Kinerja karyawan perlu adanya penilaian dengan maksud untuk memberikan satu peluang yang baik kepada karyawan atas rencana karier mereka dilihat dari kekuatan dan kelemahan, sehingga perusahaan dapat menetapkan pemberian gaji, memberikan promosi, dan dapat melihat perilaku karyawan. Penilaian kinerja dikenal dengan istilah “Performance Rating” atau “Performance Appraisal”. Menurut Munandar, (2008) penilaian kinerja adalah proses penilaian ciri-ciri kepribadian, perilaku kerja, dan hasil kerja seseorang tenaga kerja atau karyawan (pekerja dan manajer), yang dianggap menunjang unjuk kerjanya, yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan tentang tindakan-tindakan terhadap bidang ketenagakerjaan.

 

Dimensi Kinerja

Pekerjaan dengah hasil yang tinggi harus dicapai oleh karyawan. Mangkunegara (2000) menyatakan bahwa ukuran yang perlu diperhatikan dalam penilaian kinerja antara lain:

  1. Kualitas kerja yaitu kerapian, ketelitian, dan keterkaitan hasil kerja dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan. Dengan adanya kualitas kerja yang baik dapat menghindari tingkat kesalahan dalam penyeleseian suatu pekerjaan serta produktivitas kerja yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi kemajuan perusahaan.
  2. Kuantitas Kerja yaitu volume kerja yang dihasilkan dibawah kondisi normal. Kuantitas kerja menunjukkan banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan dalam satu  waktu sehingga efisiensi dan efektivitas dapat terlaksana sesuai dengan tujuan perusahaan.
  3. Tangung Jawab yaitu menunjukkan seberapa besar karyawan dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang dipergunakan serta perilaku kerjanya.
  4. Inisiatif yaitu menunjukkan seberapa besar kemampuan karyawan untuk menganalisis, menilai, menciptakan dan membuat keputusan terhadap penyelesaian masalah yang dihadapinya.
  5. Kerja Sama yaitu merupakan kesediaan karyawan untuk berpartisipasi dan bekerja sama dengan karyawan lain  secara vertical atau horizontal didalam maupun diluar pekerjaan sehingga hasil pekerjaan semakin baik.
  6. Ketaatan yaitu merupakan kesediaan karyawan dalam mematuhi peraturan-peraturan yang  melakukan pekerjaannya sesuai dengan instruksi yang diberikan kepada karyawan.

Indikator Kinerja

Suatu perusahaan melakukan penilaian kinerja didasarkan pertimbangan bahwa perlu adanya suatu sistem evaluasi yang objektif   terhadap   organisasional.   Selain   itu,   dengan   adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang objektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi  yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggung jawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan kepada msing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Sumber daya manusia memberikan kontribusi kepada organisasi yang kebih dikenal dengan kinerja. Menurut Maltis dan Jackson, (2002) kinerja karyawan adalah seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk:
  1. Kuantitas Keluaran. Jumlah keluaran yang seharusnya dibandingkan dengan kemampuan sebenarnya. Misalnya: seorang karyawan  pabrik rokok dibagian produksi  hanya  mampu menghasilkan 250 batang rokok per hari, sedangkan standar umum ditetapkan sebanyak 300 batang rokok per hari. Ini berati kinerja karyawan tersebut masih dibawah rata-rata.
  2. Kualitas Keluaran. Kualitas produksi lebih diutamakan dibandingkan jumlah output. Misalnya: dari 100 batang rokok yang dihasilkan, tingkat kesalahan (cacat) yang ditolerir adalah maksimal sebatang rokok. Apabila karyawan mampu menekan angka maksimum tersebut maka dikatakan memiliki kinerja yang baik.
  3. Jangka Waktu  Keluaran. Ketetapan waktu yang digunakan dalam menghasilkan sebuah barang. Apabila karyawan dapat mempersingkat waktu proses sesuai dengan standar, maka karyawan tersebut dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik.
  4. Misalnya: waktu standar yang ditetapkan untuk menghasilkan 100 batang rokok adalah 120 menit, jika karyawan dapat mempesingkat menjadi 100 menit per 100 batang, maka kinerja karyawan tersebut dikatakan baik.
  5. Tingkat Kehadiran di Tempat Kerja. Kehadiran karyawan di tempat kerja sudah ditentukan pada awal karyawan bergabung dengan perusahaan, jika kehadiran   karyawan   dibawah   standar   hari kerja yang ditetapkan maka karyawan tersebut tidak akan mampu memberikan kontribusi yang optimal terhadap perusahaan.
  6. Kerjasama. Keterlibatan seluruh karyawan dalam mencapai target yang ditetapkan sangat penting kerjasama yang baik antar karyawan akan mampu meningkatkat kinerja.

Faktor-Faktor Kinerja

Bila suatu tujuan tertentu akhirnya bisa dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut efektif tetapi apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan menilai yang penting dari hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan kepuasan walaupun efektif dinamakan tidak efesien. Sebaliknya, bila akibat yang dicari-cari tidak penting atau remeh maka kegiatan tersebut efesien.
Otoritas menurut adalah sifat dari suatu komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi formal yang dimiliki seorang anggota organisasi kepada anggota yang lain untuk melakukan suatu kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya Prawirosentono. Perintah tersebut mengatakan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dalam organisasi tersebut.
Disiplin adalah taat kepda hukum dan peraturan yang berlaku. Jadi, disiplin karyawan adalah kegiatan karyawan yang bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja dengan organisasi dimana dia bekerja. Inisiatif yaitu berkaitan dengan daya pikir dan kreatifitas dalam membentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.

Penutup

Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. dengan   adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang objektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi  yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggung jawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan kepada msing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.

Sumber Pustaka

  1. Mathis, R., & Jackson, J. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba empat.
  2. Mangkunegara, A. A. A. P. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan Bandung: Remaja Rosda Karya.
  3. Munandar, Ashar Sunyoto. 2001. Psikologi Industri Dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
  4. Viethzal, R. Z., Ramly, M., Mutis, T., & Arafah, W. (2014). Manajemen Sumbar Daya Manusia untuk Perusahaan dari Praktek ke Teori. (3, Ed.). Depok: RajaGrafindo Persada.


 

Globalisasi bisnis menekan berbagai bidang usaha dan lembaga pelayanan publik untuk mengikuti arus perubahan dalam pengelolaan sumber daya manusia. Perubahan masiv berkecepatan tinggi juga mendorong setiap pribadi pegawai untuk memiliki kesiapan untuk berubah, adatif dan mampu mengikuti persaingan ditengah perkembangan yang tidak terbendung. Dalam hal perubahan tersebut maka sisi positif bagi para pemegang kebijakan perusahaan adalah kemudahan dalam mempersiapkan menghadapi perubahan tersebut. Readyness For Change merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan tantangan tersebut.

Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. Namun demikian, kesiapan menghadapi perubahan harus direncanakan secara matang dari berbagi aspek termasuk mentalitas kerja dan finansial pekerja.
Untuk memahami lebih mendalam, pertama-tama kita mulai dengan derfinisi teoritis mengenai Readyness For Change dan bagaimana cara kerja alami psikologis pekerja dalam menghadapi tantangan yang nantinya dapat diterapkan secara berkelanjutan. Harapan yang ingin dicapai adalah keterbukaan pribadi yang selanjutnya dapat diukur secara konsisten dalam lingkup yang lebih luas.

Pengertian Readyness For Change

Menurut jurnal yang ditulis Mujid dkk (2023) yang berjudul The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap, menyatakan bahwa readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Senada dengan itu, dilihat dari referensi yang lebih lama pada jurnal yang ditulis Sri Hartanti (2018) mengemukakan bahwa readiness for change ini didefinisikan sebagai sikap komprehensif yang secara   simultan   dipengaruhi   oleh isi, proses, konteks dan individu yang terlibat dalam suatu perubahan. Definisi tersebut merujuk pada referensi yang lebih tua lagi yaitu melalui jurnal yang ditulis Holt dkk (2007) yang menyatakan bahwa kesiapan secara kolektif merefleksikan sejauh mana kecenderungan individu untuk menyutujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.
Ketika adanya perubahan kebijakan dalam satu perusahaan maka disana akan terjadi sikap reaksi dari pengelola sumber daya manusia untuk mempersiapkan pegawainya menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Sebagaimana aksi reaksi, maka kesiapan secara kolektif tidak akan bisa terbentuk tana adanya integritas pada sistem pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan konsep aktual yang mampu beradaptasi dengan kebijakan yang ditetapkan. Lebih jauh kita bisa menyatakan bahwa readiness for change merupakan konsep yang menggambarkan tingkat kesiapan para karyawan dalam menghadapi perubahan, baik sebelum maupun setelah terjadi perubahan di dalam organisasi. Konsep ini mencakup berbagai aspek yang melibatkan individu, seperti sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi perubahan tersebut. Sebelum perubahan terjadi, readiness for change membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan dan adaptasi karyawan terhadap perubahan tersebut. Setelah perubahan terjadi, readiness for change juga berperan penting dalam mengukur sejauh mana karyawan atau pegawai dapat beradaptasi dan berkontribusi secara positif terhadap perubahan tersebut. Dengan memahami readiness for change, organisasi dapat merencanakan strategi yang lebih efektif untuk mengelola perubahan dan memastikan kesuksesan dalam implementasinya.
Readiness for Change adalah sebuah proses psikologis yang tidak langsung terlihat, yang mencerminkan keinginan seseorang untuk mengadopsi pola perilaku baru dalam periode waktu tertentu (Sumaryono, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui tahapan batin yang berkelanjutan. Proses ini melibatkan kesiapan individu dalam menghadapi perubahan, mengatasi hambatan, dan menerima konsekuensi dari pola perilaku baru yang akan diadopsi. Readiness for Change melibatkan kesadaran individu terhadap kebutuhan akan perubahan, keinginan untuk memperbaiki diri, dan komitmen untuk melangkah maju menuju perubahan yang lebih baik (Sumaryono, 2019).

Faktor Readyness For Change

Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah (Agus et al., 2020). Kesiapan sebuah institusi untuk berubah sangat dipengaruhi oleh sejauh mana karyawan mampu mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru dalam lingkungan kerja mereka. Perubahan dalam organisasi sering kali melibatkan perkenalan konsep baru, teknologi baru, atau praktik kerja yang lebih efisien dan efektif.
Pimpinan organisasi yang memperkenalkan program yang mewajibkan warga organisasi untuk menerapkan metode kerja baru dengan menggunakan teknologi baru merupakan indikator utama dari kesiapan untuk berubah (Lehman, Greener, & Simpson, 2002). Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa karyawan memiliki kesiapan yang memadai dalam menghadapi perubahan tersebut.
Faktor-faktor readyness for change dari uraian tersebut dapat dipahami lebih mendalam melalui hal berikut :
1.    Komitmen
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif  (Lehman et al., 2002).
Ketika pimpinan mendorong dan mendukung inisiatif perubahan, ini mencerminkan komitmen mereka terhadap pengembangan organisasi dan keberhasilan perubahan. Program-program seperti pelatihan, pengenalan teknologi baru, dan pembentukan kebijakan yang mendorong adopsi perubahan menjadi sarana untuk mempersiapkan karyawan dalam menghadapi perubahan tersebut (Lehman et al., 2002). Dengan adanya dukungan dan arahan yang jelas dari pimpinan, kesiapan berubah dapat ditingkatkan dan membawa perubahan yang lebih baik dalam organisasi.
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif. Sumber dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan pengembangan nilai-nilai oleh staf memainkan peran penting dalam menentukan kesiapan organisasi untuk menghadapi perubahan. Dalam rangka mencapai kesiapan yang optimal, organisasi perlu memperhatikan dan mengelola faktor-faktor ini secara holistik. Kombinasi ketersediaan dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan nilai-nilai yang memperkuat kesiapan untuk berubah akan membawa organisasi menuju perubahan yang sukses dan berkelanjutan.
2.    Dukungan Budaya
Adanya dukungan budaya dapat mendorong adopsi perubahan yang terjadi (Agus et al., 2020). Jika budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai pembelajaran, kolaborasi, dan adaptasi, maka warga organisasi akan merasa lebih termotivasi dan siap untuk mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru. Ini berarti memastikan adanya lingkungan yang terbuka untuk belajar, eksperimen, dan berbagi pengetahuan di dalam organisasi (Lehman et al., 2002).
Organisasi yang mampu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada mutu terbukti memiliki keunggulan dalam menghadapi perubahan dan bertahan dalam persaingan (Swaffin-Smith, Barnes, & Townsend, 2002). Budaya kerja yang berfokus pada mutu mencakup komitmen terhadap standar yang tinggi, inovasi berkelanjutan, peningkatan terus-menerus, dan responsif terhadap kebutuhan pasar. Dengan budaya ini, organisasi memiliki fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan perubahan dengan sikap terbuka, fleksibilitas, dan kemampuan beradaptasi. Mereka dapat mengidentifikasi peluang perubahan, menerapkan praktik terbaik, dan meningkatkan kualitas layanan mereka secara berkelanjutan. Hal ini membantu organisasi untuk tetap relevan, unggul, dan berdaya saing dalam lingkungan yang selalu berubah dan kompetitif.
3.    Inovasi
Inovasi sangat penting dalam menghadapi perubahan di dunia yang terus berkembang. Organisasi yang mampu mengembangkan budaya inovasi akan memiliki keunggulan kompetitif dan lebih siap menghadapi tantangan yang muncul (Lehman et al. 2002). Budaya inovasi melibatkan penerimaan terhadap gagasan baru, pengembangan keterampilan kreatif, penghargaan terhadap eksperimen dan kegagalan sebagai proses pembelajaran, serta dukungan untuk inisiatif inovatif. Dalam budaya inovasi, individu merasa dihargai dan didorong untuk berpikir di luar kotak, mencari solusi baru, dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
4.    Motivasi
Ketersediaan aspek motivasional adalah salah satu faktor penting dalam mengembangkan kesiapan untuk berubah. Ketika individu merasakan adanya kebutuhan dan dorongan yang kuat untuk melakukan perubahan, mereka akan lebih termotivasi untuk menghadapi perubahan tersebut. Selain itu, penting juga untuk mengembangkan nilai-nilai positif yang melekat pada setiap individu dalam organisasi. Nilai-nilai seperti ketekunan, kolaborasi, kreativitas, dan adaptabilitas merupakan landasan untuk membangun budaya inovasi yang kuat.
5.    Lingkungan
Iklim lingkungan usaha yang mendukung perubahan akan memainkan peran penting dalam mengembangkan sistem nilai, sikap, dan pandangan baru pada individu-individu. Terlihat bahwa keberadaan iklim lingkungan yang kondusif untuk kesiapan organisasi berubah dapat dilihat melalui beberapa hal (Jabnoun & Sedrani 2005), diantaranya:

Individu-individu yang memiliki pemahaman yang jelas tentang visi, misi, dan tujuan organisasi dalam menghadapi perubahan. 

  1. Adanya tim kerja yang kuat dan solid.
  2. Individu-individu yang memiliki kemandirian dalam menjalankan tugasnya. 
  3. Terdapat keterbukaan dalam proses komunikasi di dalam organisasi.
  4. Sejauh mana warga organisasi merasakan tekanan dari dalam diri mereka untuk selalu memberikan kinerja terbaik.

6.    Keterbukaan dari seluruh warga organisasi terhadap perubahan.
Faktor lingkungan memainkan peran penting dalam aktivitas usaha, baik itu lingkungan eksternal maupun lingkungan internal (Marcus 2004). Lingkungan eksternal meliputi aspek persaingan bisnis, ketersediaan bahan baku, regulasi pemerintah, dan tingkat ketidakpastian yang dirasakan. Sementara itu, lingkungan internal mencakup kualitas kehidupan organisasi bisnis, penguasaan teknologi, ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan dari keluarga, dukungan modal, dan dukungan dari anggota organisasi bisnis. Lingkungan internal organisasi bisnis yang mencerminkan kekuatan dan kelemahan akan mempengaruhi kelangsungan aktivitas bisnis.
Kualitas lingkungan memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan usaha. Lingkungan eksternal menentukan sejauh mana perusahaan mampu beradaptasi dengan persaingan, memenuhi kebutuhan bahan baku, dan beroperasi dalam kerangka peraturan yang ada. Sementara itu, lingkungan internal menciptakan kondisi yang mendukung efisiensi, inovasi, dan pertumbuhan. Keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan finansial yang memadai, dan kesiapan organisasi untuk menghadapi tantangan menjadi faktor penentu dalam kelangsungan usaha.
Selain itu, pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan dalam lingkungan internal membantu perusahaan dalam mengidentifikasi peluang dan ancaman, serta mengambil langkah-langkah strategis yang tepat. Dengan pemahaman yang baik tentang faktor-faktor lingkungan, perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja, meningkatkan daya saing, dan menjaga kelangsungan usaha di tengah perubahan yang terus-menerus.
Dalam rangka mencapai keberhasilan usaha, penting bagi perusahaan untuk memantau, menganalisis, dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam lingkungan eksternal dan internal. Dengan demikian, perusahaan dapat menjaga relevansi, efektivitas, dan daya adaptasi dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
7.    Kapasitas Untuk Berubah
Untuk meningkatkan kesiapan institusi untuk berubah, perlu dilakukan upaya dalam mengembangkan kompetensi individu, seperti pelatihan dan pengembangan keterampilan. Selain itu, penting untuk mendorong komunikasi yang terbuka dan transparan antara anggota organisasi, sehingga informasi tentang perubahan dapat dengan mudah diakses dan dipahami. Dukungan dari manajemen dan kepemimpinan yang kuat juga penting dalam membangun kesiapan untuk berubah di dalam institusi. Dengan demikian, kesiapan institusi untuk berubah tidak hanya bergantung pada pengetahuan dan teknologi baru, tetapi juga pada kemauan warga organisasi untuk mengadopsi dan menerapkan perubahan tersebut. Dengan kesiapan yang memadai, institusi dapat menghadapi perubahan dengan lebih sukses dan mengembangkan diri untuk mencapai tujuan organisasional yang lebih tinggi.
Holt et al., (2007) mengemukakan bahwa kesiapan karyawan untuk berubah secara simultan dapat dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu:

  1. Change content, merujuk pada apa yang akan diubah oleh organisasi (misalnya perubahan sistem administrasi, prosedur kerja, teknologi, atau struktur)
  2. Change process, meliputi bagaimana proses pelaksanaan perubahan yang telah direncanakan sebelumnya
  3. Organizational context, terkait dengan kondisi atau lingkungan kerja saat perubahan terjadi.

Holt et al., (2007) mengidentifikasi lima faktor utama yang dapat merubah keyakinan diri karyawan untuk mendukung perubahan yaitu:

  1. Discrepancy yaitu keyakinan bahwa perubahan itu diperlukan oleh organisasi
  2. Aappropriateness yaitu adanya keyakinan bahwa perubahan spesifik yang dilakukan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi
  3. Efficacy yaitu rasa percaya bahwa karyawan dan organisasi mampu mengimplementasikan perubahan
  4. Principal support yaitu persepsi bahwa organisasi memberikan dukungan dan berkomitmen dalam pelaksanaan perubahan dan mensukseskan perubahan organisasi  
  5. Personal valance yaitu keyakinan bahwa perubahan akan memberikan keuntungan personal bagi karyawan. Adarnya kelima keyakinan diatas tidak semata-mata hanya mempengaruhi kesiapan untuk berubah namun juga mempengaruhi bagaimana karyawan akan mengadopsi dan berkomitmen terhadap perubahan organisasi.  


Indikator Readyness For Change

Menurut (Vakola & Nikolaou 2005) indikator Readyness For Change Diantaranya adalah :


1. Appropriateness (ketepatan untuk melakukan perubahan).

Dimensi yang menjelaskan aspek tentang keyakinan individu bahwa adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk perubahan yang perspektif, serta berfokus pada manfaat perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan, konsekuensi bahwa tujuan perubahan sejalan dengan tujuan perusahaan. 

2. Change Efficacy (rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk berubah).

Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan individu tentang kemampuan mereka untuk menerapkan perubahan yang diingini, dimana mereka merasa mempunyai keterampilan serta sanggup untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan perubahan. Dimensi ini juga menjelaskan tingkat kepercayaan diri individu dan kelompok untuk dapat menyukseskan perubahan yang direncanakan. 

3. Management Support (dukungan manajemen).

Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan atau persepsi individu bahwa para pemimpin dan pihak manajemen akan mendukung dan berkomitmen terhadap perubahan yang direncanakan. 

4. Personel Benefit (manfaat bagi individu).  

Dimensi yang menjelaskan aspek tentang sesuatu yang dirasakan individu tentang keuntungan yang dirasakan secara personal yang akan didapatkan apabila perubahan tersebut diimplementasikan.

Penutup

Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah
 

Sumber Pustaka
  1. Agus, Prianto, Kurniati Ira, Wahyudi Taufiq, and Yulistia Eva. 2020. “Berbagai Faktor Penentu Kesiapan Untuk Berubah Dan Pengaruhnya Terhadap Keberlangsungan Kegiatan UMKM Di Wilayah Terdamak Wabah Covid-19.” Jurnal Ekonomi Dan Manajemen 31(1):234–47.
  2. Jabnoun, Naceur, and Khalefa Sedrani. 2005. “TQM, Culture, and Performance in UAE Manufacturing Firms.” Quality Management Journal 12(4):8–20. doi: 10.1080/10686967.2005.11919267.
  3. Holt, Daniel T., Achilles A. Armenakis, Hubert S. Feild, and Stanley G. Harris. 2007. “Readiness for Organizational Change: The Systematic Development of a Scale.” The Journal of Applied Behavioral Science 43(2):232–55. doi: 10.1177/0021886306295295.
  4. Lehman, Wayne E. K., Jack M. Greener, and D. Dwayne Simpson. 2002. “Assessing Organizational Readiness for Change.” Journal of Substance Abuse Treatment 22(4):197–209. doi: 10.1016/S0740-5472(02)00233-7.
  5. Marcus, A. A. 2004. Management Strategy: Achieving Sustained Competitive Advantage. McGraw-Hill Education.
  6. Mujib, Miftachul, and Reni Rosari. 2023. “The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap.” International Journal of Business and Society 24(1):312–29. doi: 10.33736/ijbs.5618.2023.
  7. (7)    Sumaryono, Nurthaibah. 2019. “Readiness For Change Ditinjau Dari Persepsi Transformational Leadership Dan Adaptability Pada Pegawai Rumah Sakit Umum.” Magister Psikologi Profesi.
  8. Swaffin-Smith, Chris, Richard Barnes, and Marie-Christine Townsend. 2002. “Culture Surveys: Monitoring and Enhancing the Impact of Change Programmes.” Total Quality Management 13(6):855–61. doi: 10.1080/0954412022000010181.
  9. Vakola, Maria, and Ioannis Nikolaou. 2005. “Attitudes towards Organizational Change: What Is the Role of Employees’ Stress and Commitment?” Employee Relations 27(2):160–74. doi: 10.1108/01425450510572685.
  10. Xu, Chaterine, Sri Hartini, and Winida Marpaung. 2018. “Readiness For Change Ditinjau Dari Kepemimpinan Transformasional Pada Karyawan/I PT. Mam Medan.” Jurnal Psikologi 14(2):154. doi: 10.24014/jp.v14i2.6405.




Manajemen Pelayanan RS
Pengelolaan pelayanan pada rumah sakit tentunya akan berbeda dengan sistem manajemen pelayanan yang diterapkan oleh fasilitas kesehatan lainnya. Aspek pembeda antara rumah sakit dengan fasilitas kesehatan lainnya tersebut adalah dari jenis pelayanan yang diberikan, aspek pembiayaan, pemasaran, etika dan hukum serta aspek administrasi. Begitu juga dengan pemahaman dan konsep dasar dari pelayanan itu sendiri akan berbeda. Dalam manajemen pelayanan rumah sakit kita akan lebih banyak dihadapkan dari satuan ukuran pelayanan. Menurut Depkes RI (2003) menyatakan bahwa kualitas layanan adalah tingkat di mana perawatan pasien mencapai hasil yang diharapkan dan meminimalkan faktor yang tidak diinginkan. Berdsarkan dari penyataan itu kemudian kita kembangkan mengenai kualitas pelayanan dimana kualitas pelayanan kesehatan adalah kesesuaian antara pelayanan kesehatan yang diberikan dengan standar ketentuan penggunaan yang menunjukan kepuasan pasien yang menerimanya.
Menurut Institute of Medicine menyatakan definisi manajemen pelayanan tersebut yaitu suatu langkah ke arah peningkatan pelayanan kesehatan baik untuk individu maupun untuk populasi sesuai dengan keluaran (Outcome) kesehatan yang diharapkan dan sesuai dengan pengetahuan profesional terkini. Berdasarkan definisi ini mengarahkan kita pada suatu usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh manajemen dalam rangka penyesuaian hasil pelayanan terhadap target yang diinginkan. Memang pada dasarnya satuan ukuran kualitas pelayanan di rumah sakit memiliki banyak indikator yang saling berkaitan satu sama lain sehingga sebagai pengelola tidak hanya fokus pada satu aspek saja.
Manajemen pelayanan rumah sakit setidaknya harus memiliki beberapa aspek diantaranya adalah pelayanan medis (Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Darurat, Instalasi Rawat Inap), pelayanan Penunjang Medis(laboratorium, radiologi, rehabilitasi, farmasi dan gizi) serta pelayanan penunjang umum (logistik, pemeliharaan, Keuangan dan IT). Berdasarkan pernyataan tersebut maka jelas sekali bahwa manajemen pelayanan rumah sakit memiliki tujuan unutk mengelola berbagai kepentingan pelayanan dalam rangka peningkatan mutu. Karena kita akan membahas lebih mendalam mengenai manajemen mutu atau mutu klinis (Clinical governance) maka kita bahas terlebih dahulu apa itu manajemen mutu klinis.
Manajemen klinis adalah suatu sistem dalam tatanan manajemen yang dikembangkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit yang salah satu elemennya adalah audit klnis (Gemala Hatta, 2017). Manajemen klinis yang diterapkan setiap rumah sakit akan berbeda disesuaikan dengan karakter pengelola yang terlibat di dalamnya. Terutama dalam hal pelayanan selalu mempertimbangkan kesan kepuasan akan hasil yang diperoleh dari jasa medis yang telah diterima. Audit medis itu sendiri merupakan pendorong bagi tenaga medis untuk meninjau ulang rekam medis pasien pada saat memberikan pelayanan medis yang lebih baik.

Konesep Manajemen Pelayanan

Manajemen adalah proses pengelolaan yang terdiri dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang digunakan baik untuk ilmu pengetahuan maupun bidang keahlian profesi secara berurutan dengan tujuan untuk mencapai target yang ditetapkan sebelumnya. Pendapatan ahli yang menyatakan mengenai konsep manajemen ini salah satunya adalah Stanely Vance dimana tulisannya dikutip dalam Ibnu Syamsi (1994) menyatakan bahwa manajemen adalah suatu proses pengambilan keputusan dalam suatu pengelolaan perusahaan dan pengendalian terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan untuk mencapai target yang telah ditentukan sebelumnya.
Pendapat lainnya menurut Shafritz dan Russel (1997) mengungkapkan bahwa manajemen berkenaan dengan orang yang bertanggung jawab dalam menjalankan organisasi, serta proses menjalankan organisasi tersebut dengan mengunakan sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen adalah proses pencapaian tujuan organisasi dengan tidak mengesampingkan penggunaan sumber daya yang dimiliki.
Kualitas merupakan suatu kondisi atau kadar yang sangat dinamis dan tidak mudah didefinisikan yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang telah memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas adalah ukuran yang menunjukan segala sesuatu mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan apabila diimplementasikan pada bisnis. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan atau kelebihan suatu produk barang atau jasa, baik nilai secara langsung maupun nilai atraktif (tidak langsung) yang memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan sebagai konsumen sehingga memberikan kepuasan atas penggunaan produk atau jasa tersebut. Menurut pendapat Yamit Yulian (2005) menyatakan bahwa kualitas dapat tercapai secara konsisten dan terus menerus dengan cara memperbaiki pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Konsep kualitas dalam total quality management adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (Tjiptono Fandy, 2002).
Pelayanan adalah suatu proses yang dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas dan kegiatan pemberi pelayanan secara langsung. Pelayanan merupakan entitas tidak baku yang dilakukan pada proses bisnis yang menggunakan jasa sebagai produknya. Pelayanan adalah suatu rangkaian kegiatan yang tidak terlihat yang terjadi sebagai latar belakang adanya interaksi antara konsumen dengan pemberi pelayanan berupa petugas pelayanan, karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi layanan tersebut dengan maksud untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan (Ratminto, 2006).

Faktor-faktor yang Mendukung Pelayanan Rumah Sakit

Manajemen pelayanan berperan penting dalam pengelolaan rumah sakit, dimana pelayanan tersebut merupakan salah satu instrumen terdepan dalam menarik minat masyarakat dalam menentukan pilihannya. Setelah kita memahami konsep fundamental dari definisi masing-masing kata pada manajemen pelayanan rumah sakit maka kita juga harus dapat memahami apa saja faktor-faktor yang dapat mendorong kualitas pelayanan tersebut. Secara sederhana faktor-faktor yang mendorong kualitas pelayanan tersebut diantaranya adalah:
  1. Faktor kesadaran dari petugas yang secara langsung berinteraksi dengan pasien rumah sakit juga memberikan pelayanan. Kesadaran para petugas tersebut akan sangat mendukung terjadinya pelayanan yang berkualitas tinggi. Bagi manajemen rumah sakit sudah seharusnya memperhatikan aspek ini karena keberadaan petugas dan tenaga kesehatan yang memiliki kesadaran kepedulian terhadap pelayanan tidak bisa digantikan oleh apapun.
  2. Faktor aturan dan regulasi yang mengatur petugas dalam melakukan pekerjaan pelayanan. Dengan adanya peraturan yang berlaku dapat mendrong peningkatan pelayanan rumah sakit secara signifikan. Hal ini berguna untuk melindungi pasien dari pelayanan yang kurang baik dari petugas rumah sakit itu sendiri. Selain itu dengan adanya regulasi dari pihak manajemen rumah sakit akan meningkatkan kewenangan-kewenangan apa saja yang dimiliki secara jelas kepada petugas.
  3. Faktor organisasi sebagai pihak manajemen yang merancang sistem pelayanan rumah sakit dari mulai awal hingga akhir. Semakin baik kualitas organisasi manajeerial suatu rumah sakit maka akan mampu menciptakan sistem pelayanan yang efektif dan efisien. Sistem yang baik tersebut mampu mencerminkan tujuan pelayanan sebagai target yang ingin dicapai.
  4. Faktor kesehatan finansial rumah sakit atau kualitas keuangan rumah sakit yang baik sehingga mampu menyediakan sarana-prasarana pelayanan yang memadai. Menurut saya pendapatan bukan satu hal utama dalam penentuan kualitas kesehatan pengelolaan keuangan. Karena dalam hal manajerial akan selalu berlandaskan pengelolaan keuangan yang sehat yang mana selalu seimbang antara harga biaya yag dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh.
  5. Faktor kemampuan dan keterampilan petugas dalam berkomunikasi dan memahami bagaimana memberikan pelayanan yang baik. Mutu pelayanan yang baik dari tenaga kesehatan bukan hanya dilihat dari hasil akhir, namun proses pun menjadi penilaian utama atas pelayanan kesehatan tersebut. Hal ini adalah penentu akan kualitas pelayanan rumah sakit yang diberikan. Manajemen harus mampu mengarahkan petugas pada pengembangan kemampuan dan keterampilan pelayanan.

Kualitas Pelayanan Kesehatan

Kualitas pelayanan kesehatan tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang diukur seperti barang atau jasa pada umumnya. Kualitas pelayanan kesehatan memiliki ciri yang esklusif dimana melihat suatu proses pelayanan dari sebelum pelayanan itu diberikan bahkan hingga setelah pelayanan itu selesai. Walaupun demikian untuk mempermudah manajemen rumah sakit untuk melakukan pengukuran guna evaluasi yang bermanfaat untuk menentukan arah kebijakan strategis maka pada umumnya menggunakan standar kualitas jasa untuk melakukannya.

Setiap hubungan komunikasi yang terjadi antara petugas rumah sakit dan pasien merupakan gambaran mengenai suatu moment of truth, yaitu suatu peluang memuaskan atau tidak memuaskan atas jasa kesehatan kepada. Pada dasarnya kualitas jasa kesehan tersebut berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan dan asa pelanggan serta ketepatan. Untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan mengetahui kualitas jasa berdasarkan asumsi dari penerima pelayanan itu sendiri, yang dalam hal ini adalah pasien rumah sakit. Menurut pendapat Zeithmal, Berry dan Parasuraman (1985) terdapat lima karakteristik yang digunakan para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa yang diterimanya, diantaranya yaitu :
  1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik yang tersedia, perlengkapan, pegawai atau petugas Kesehatan yang memberikan layanan kesehatan, dan sarana komunikasi. Kehandalan (reliability), yakni kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan cepat, tepat waktu dan memuaskan.
  2. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para petugas, staf dan jajaran pegawai rumah sakit untuk membantu para pasien dan memberikan pelayanan Kesehatan dengan respon baik serta tanggap.
  3. Jaminan (assurance), meliputii kemampuan, skill, etika, kesopanan, dan sifat yang dapat dipercaya yang dimiliki para petugas Kesehatan, juga bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
  4. Empati, meliputi kemudahan akses dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan positif, serta memahami kebutuhan yang diinginkan oleh pasien.

Sedangkan metode yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan yang dirasakan oleh pasien pada setiap kunjungan, menurut Kotler (1994) dapat dilakukan beberapa metode sebagai berikut: 
  1. Sistem pengaduan. Menurut Kotler sistem pengaduan yang baik dapat memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga membantu pihak rumah sakit memperoleh saran, keluhan, dan bentuk ketidakpastian lainnya yang harus diperbaiki. Setiap saran dan kritikan yang masuk harus menjadi perhatian setiap organisasi pemberi pelayanan yang dalam hal ini adalah rumah sakit. Sebab saran tersebut dapat menjadi dasar bagi pihak manajemen untuk perbaikan kedepan.
  2. Survey pelanggan. Survey pelanggan merupakan cara yang umum digunakan dalam mengukur kepuasan pasien, metode ini dapat dilakukan dengan cara melakukan wawancara secara langsung atau dapat juga dilakukan melalui surat. Panel pelanggan. Panel pelanggan yaiut metode yang dilakukan untuk mengukur kepuasan pasien rumah sakit dengan cara melakukan diskusi antar petugas pelayanan kesehatan dengan pasien. Dengan cara ini akan diketahui kekurangan yang ada dari manajemen secara organisasional pemberi pelayanan sehingga kedepan dapat diperbaiki.

Sumber Pustaka

  • A. Zeithaml, V. Parasuraman, A. and L. Berry L. 1985. Problems and Strategies in Services Marketing. Jurnal of Marketing Vol. 49. (Spring).
  • Depkes RI. 2003. Manajemen Puskesmas. Jakarta: Depkes RI 
  • Hatta, Gemala. 2017. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Universitas Indonesia Prees. 
  • Kotler, Philip. 1993. Dasar-dasar Pemasaran.Edisi keenam. Jakarta : Intermedia. 
  • Ratminto. 2006. ManajemenPelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
  • Santoso, Singgih dan Fandy Tjiptono. 2002. Riset Pemasaran: Konsep dan Aplikasi SPSS. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 
  • Shafritz, Jay M. & E.W. Russell, (1997), Introducing Public Administration. USA : Longman. 
  • Syamsi, Ibnu. 1994. Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen. Rineka Cipta, Jakarta.

Manajemen Sumber Daya Manusia

Rumah Sakit adalah suatu lembaga atau perusahaan yang bergerak dibidang jasa pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Pertumbuhan rumah sakit sangat pesat baik itu dari sisi finansial maupun infrastruktur, hal ini mencerminkan bahwa di masa depan Rumah Sakit masih berpotensial besar memberikan keuntungan bagi semua pihak (Pengusaha, Masyarakat dan pemerintah). Walaupun demikian tantangan kedepannya kita tidak dapat memprediksi dengan mudah apa yang akan terjadi, sehingga pihak manajemen harus tetap menjaga prinsip manajerial berbasis strategi untuk dapat menghadapi tantangan tersebut. 

Salah satu aspek yang tidak kalah penting dan harus mendapatkan perhatian dalam manajemen rumah sakit adalah komponen persaingan. Tidak dapat kita pungkiri bahwa fasilias kesehatan untuk regional 1 (wilayah DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim dan Banten) semakin bertambah setiap tahunnya, artinya untuk wilayah tersebut terdapat pertumbuhan jumlah rumah sakit baru yang dapat memfasilitasi masyarakat dengan perbandingan yang lebih longgar dibandingkan satu dekade sebelumnya. Menurut data yang dirilis Persi (2017) mempublikasikan data pertumbuhan rumah sakit meningkat sebesar 5,2% setiap tahun. Sedangkan lebih spesifik, rumah sakit swasta memiliki pertumbuhan lebih besar (7%) dibandingkan rumah sakit pemerintah. Namun sayangnnya, hingga Artikel ini ditulis menunjukan pertumbuhan jumlah rumah sakit tersebut tidak disertai dengan kualitas pemerataan pelayanan. Masih banyak wilayah regional 1 yang melakukan sentralisasi, dimana rumah sakit berkerumun dalam pusat kota sehingga masyarakat desa tetap merasa kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.

Dalam bidang kesehatan, persaingan tidak hanya terjadi antar rumah sakit, tetapi juga antar bidan, dokter dan pelayanan kesehatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah fasilitas kesehatan meningkat seiring dengan kebutuhan akan kesehatan di masyarakat itu sendiri. Untuk memenuhi persyaratan ini membutuhkan manajemen rumah sakit dari perspektif manajemen dan operasi. Baik faktor lingkungan eksternal maupun internal memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan layanan kesehatan tersebut. Lingkungan eksternal menghadirkan peluang dan tantangan bagi layanan kesehatan kota. Sedangkan lingkungan internal merupakan lingkungan yang memberikan kekuatan dan kelemahan bagi manajemen. Analisis lingkungan trsebut didefinisikan dalam visi, misi dan rencana strategis perusahaan untuk mencapai tujuannya. 


Kinerja Sumber Daya Manusia Menjadi Komoditas Persaingan 

Sumber daya manusia merupakan asset penting bagi rumah sakit dalam melaksanakan semua kebijakan dan operasional, walaupun sebetulnya terdapat asset lain seperti permodalan, metode, fasilitas, visi, misi, dan infrastruktur pendukung untuk mencapai tujuan bisnis. Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan sumber daya manusia pada suatu manajemen rumah sakit dalam mencapai tugas, tugas, wewenang dan tanggung jawab tersebut maka perlu diketahui kinerja SDM yang bersangkiutan secara objektif.

Menurut pendapat Mangkunegara (2017) mengatakan bahwa kinerja (Performance of Job) adalah kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dilakukan oleh seorang karyawan saat melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan kewajiban tertentu. Pada saat yang sama, menurut Wibowo (2017) menyatakan bahwa "Kinerja memiliki arti yang lebih luas tidak hanya sebagai hasil dari suatu operasi, tetapi juga dalam pengoperasian suatu proses". Selanjutnya Armstrong & Baron (2003) menyatakan bahwa menurut kinerja adalah hasil kerja menuju sasaran strategis, kepuasan pelanggan dan dukungan finansial.

Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa dalam tingkatan hubungan antar rumah sakit baik di dalam regional maupun antar regional sekalipun selalu disertai dengan persaingan dalam hal penyerapan Sumber Daya Manusia (SDM). Terutama untuk tenaga profesional kesehatan yang dalam hal ini memiliki sifat esklusif yang terkadang jumlahnya sangat terbatas. Sifat esklusif itu sendiri merupakan implikasi dari informasi kebutuhan pelayanan kesehatan serta pengaturan tata penugasan tenaga kesehatan yang tidak merata.

Semakin tinggi tingkat kinerja seseorang dalam kiprahnya berkarir di suatu rumah sakit maka akan semakin tinggi pula daya tarik rumah sakit lain untuk memperkerjakannya sebagai suatu asset berharga. Hal ini juga tidak lepas dari seberapa jauh hubungan baik antara karyawan dengan rumah sakit yang bisa dibangun. Terkadang kita akan menemukan beberapa loyalitas karyawan terhadap perusahaan bukan karena tingkat upah yang tinggi namun juga mempertimbangkan kenyamanan kerja dan hubungan baik dengan manajemen.

Kinerja karyawan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan (Wibowo, 2017). Kinerja merupakan fungsi dari karakteristik individu, organisasi dan lingkungan, sehingga model perbandingan kinerja adalah = f (Individu, organisasi, dan lingkungan). Peristiwa yang terkait dengan kinerja individu atau karyawan muncul dari aktivitas yang harus dilakukan secara akurat, teliti dan tepat waktu. Hal tersebut merupakan tanggung jawab karyawan untuk melakukan beberapa tugas dan tanggung jawab selama jangka waktu kerja yang ditentukan. Rumah sakit adalah lingkaran di mana karyawan dan tenaga kesehatan dapat melaksanakan instruksi pemimpin. Manajer rumah sakit berperan penting dalam memotivasi karyawan dan tenaga kesehatan tersebut agar bekerja sesuai dengan proses kerja yang jelas dan terstandardisasi. Mereka juga membutuhkan peran kepemimpinan supervisor untuk meningkatkan kinerja. Sementara itu, lingkungan kerja memiliki dampak yang tidak pasti terhadap karyawan dan tenaga kesehatan, terutama yang berkaitan dengan risiko kerja, terutama risiko kesehatan dan keselamatan kerja.

Peningkatan pelayanan  membutuhkan  sumberdaya  yang sangat besar,  baik sumberdaya manusia  maupun sumberdaya penunjang lainnya. Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekerja di rumah sakit terdiri dari multidisiplin ilmu dengan tingkat kompetensi dan kemampuan yang berbeda.  SDM tersebut mempunyai  satu tujuan yaitu  memberikan hasil kerja yang baik untuk memenuhi pelayanan kesehatan yang paripurna.  Profesionalisme dalam melayani pasien menjadi prioritas pertama yang harus dilakuakn oleh seluruh karyawan rumah sakit.   SDM sangat rentan terhadap factor-faktor negative kinerja, seperti kurangnya pengawasan dari atasan, efisiensi yang rendah, kepatuhan pada prosedur kerja yang rendah bahkan motivasi kerja yang menurun.  Permasalahan tersebut dapat menurunkan  kinerja karyawan yang berdampak pada rendahnya mutu pelayan.

 

Keselamatan Kerja Sebagai Indikator Utama SDM Rumah Sakit

Resiko bekerja di rumah sakit dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap karyawan, sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan paparan bahan kimia, biologi dan lingkungan kerja. Kedua faktor tersebut mengancam kesehatan dan keselamatan kerja karyawan dan tenaga Kesehatan rumah sakit. Menurut penelitian yang dilakukan Rivai dkk (2009), kesehatan dan keselamatan kerja mengacu pada kondisi kerja fisik dan mental yang timbul dalam lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan. Banyak faktor seperti kesehatan dan keselamatan yang mempengaruhi kinerja karyawan perusahaan. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) adalah semua fungsi yang dirancang untuk menjamin keselamatan dan kesehatan staf rumah sakit, pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan lingkungan rumah sakit, serta untuk mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Resiko kerja di fasilitas kesehatan termasuk dalam bidang kerja dengan resiko tinggi. Mayoritas berpendapat bahwa resiko paling besar yang sedang dihadapi semua awak pekerja di rumah sakit adalah terpapar penyakit. Namun saat ini, kajian terhadap keselamatan kerja semakin berkembang dan ditemukan berbagai resiko lain yang tidak kalah membahayakan. 

Menurut laporan National Safety Council (NCS) (2011), kecelakaan kerja di rumah sakit adalah sebesar 41% lebih tinggi dibandingkan di sektor lain. Kasus umum yang sering sekali terjadi termasuk tertusuk, keseleo, sakit punggung, goresan / luka, luka bakar, infeksi dan lainnya. Berdasarkan penelitian Wibowo (2017) membuktikan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan itu sendiri.

Beban kerja karyawan di rumah sakit meliputi beban kerja yang bersifat fisik dan beban kerja yang bersifat mental. Beban kerja bersifat fisik misalnya aktivitas tenaga Kesehatan perawat mengangkat pasien, membantu memandikan pasien, membantu pasien pada saat ingin ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan yang sudah digunakan ke tempat penyimpanan, merapikan tempat tidur pasien dan lain-lain. Beban kerja yang bersifat mental dapat berupa kesabaran menghadapi pasien, kemampuan komunikasi dengan baik, bekerja dengan shift atau bergiliran, bekerja dengan keampuan spesifik pada saat merawat dan beribcara dengan pasien, serta rasa memiliki tanggung jawab terhadap kesembuhan dan harus menjalin komunikasi dengan pasien.

Motivasi kerja merupakan naluri dorongan yang terjadi terhadap serangkaian proses pada manusia dalam pencapaian tujuan yang ingin didapat. Sedangkan unsur-unsur yang terkandung di dalam motivasi itu sendiri meliputi naluri membangkitkan, memimpin, mengarahkan, menjaga, menunjukan intensitas, secara terus-menerus atau konsisten dan adanya tujuan yang ingin dicapai. Motivasi dapat dipastikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan, walaupun bukan satu-satunya faktor yang membentuk kinerja itu sendiri. Masukan terhadap seseorang individu dan konteks pekerjaan yang dilakukan merupakan dua faktor kunci yang memengaruhi motivasi seorang karyawan dalam fasilitas Kesehatan Rumah sakit. Semua pekerja di rumah sakit hamper sepenuhnya mempunyai kemampuan, pengetahuan kerja, disposisi dan sifat, emosi, suasana hati, keyakinan, dan nilai-nilai pada pekerjaan. Konteks pekerjaan mencangkup lingkungan fisik yang dilakukan, penyelesaian tugas yang menjadi kewajiban, pendekatan organisasi pada rekognisi dan penghargaan, kecukupan dukungan pengawasan dan coaching, serta budaya organisasi yang berlaku pada saat itu (Wibowo,2017). Dengan demikian risiko kerja dan beban kerja yang menjadi masukan individu dan konteks pekerjaan menjadi salah satu factor penting yang harus mendapatkan  motivasi kerja agar dapat mencapai  kinerja karyawan yang baik.


Sumber Pustaka

  • Amstrong & Baron. 2003.  A Handbook Of Human Resource Management Practice. Kogan Page. London.
  • Anwar Prabu Mangkunegara. 2017. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Remaja Rosdakarya. Bandung.
    National Safety Council, 2011. Injury Facts, 2011 Edition. Itasca, IL: Author
  • Persi. 2017. Jumlah Rumah Sakit Indonesia (RS) Publik. https://persi.or.id/jumlah-rs-di-indonesia-pertumbuhan-rs-publik.
  • Rivai, Veithzal & Sagala. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
  • Wibowo. 2017. Manajemen Kinerja. Edisi Kelima. Depok. PT. Raja Grapindo Persada.


 

 

 

Modal kerja atau yang sering disebut working capital adalah aktiva-aktiva jangka pendek yang digunakan untuk membiayai operasional perusahaan sehari-hari. Aktiva ini bertujuan untuk digunakan dalam proses produksi barang atau pelayanan jasa sehingga diharapkan baiaya tersebut dapat kembali dalam jangka pendek dan menghasilkan laba dari selisih tersebut. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai konsep dasar dan pengertian modal kerja menurut para ahli secara lengkap berdasarkan teori yang saya ketahui dan baca dari berbagai sumber penelitian yang valid. Selain itu kita akan membahas pula mengenai aspek-aspek apa saja yang berkaitan dengan modal kerja tersebut serta manfaatnya dalam dunia bisnis pada saat ini.

Sebagai pembukaan maka saya jelaskan bahwa dengan semakin berkembangnya pasar global dan dunia usaha yang semakin maju, dengan persaingan antar perusahaan baik nasional maupun internasional, khususnya perusahaan dengan jenis yang sama akan semakin ketat. Untuk menjaga stabilitas kesehatan keuangan sebuah perusahaan dalam iklim atmosfer persaingan seperti saat ini dibutuhkan strategi pengelolaan sumber daya dan beban keuangan yang dilakukan oleh pihak manjemen perusahaan dengan baik dan tepat. Bagi pihak manajemen, selain dituntut untuk melakukan pengelolaan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan secara efektif dan efisien, juga dituntut untuk dapat menghasilakan keputusan-keputusan berdasarkan Analisa akurat yang menunjang terhadap pencapain tujuan perusahaan di masa yang akan datang.

Perkembangan dunia usaha dan bisnis nasional saat ini ditandai dengan perkembangan yang cepat disegala bidang. Perusahaan akan melakukan berbagai komponen aktivitas untuk mencapai tujuan-tujuan bisnisnya yaitu untuk memperoleh keuntungan (Profit) dan menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan itu sendiri (growth). Oleh sebab itu pihak manjemen membutuhkan informasi sebagai dasar analisis sehingga menghasilkan rekomendasi strategi bisnis untuk pencapaian tujuan perusahaan tersebut.

Tujuan dari sebuah perusahaan secara umum adalah mendapatkan laba atau keuntungan secara finansial. Salah satu aktivitas utama perusahaan dalam mencapai laba adalah dengan melakukan penjualan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa penjualan merupakan penyumbang keuangan terbesar dari suatu perusahaan. Agar keuntungan itu dapat diperoleh sesuai target, maka perusahaan harus dapat mengelola stabilitas penjualannya tersebut dengan membuat sebuah recana strategis dan prosedur kerja yang baik dalam proses penjualan dan mempermudah pembeli dalam proses transaksinya sehingga dapat dicapai tingkat penjualnnya yang maksimal. Sebelum kita membahas lebih mendalam mengenai modal kerja suatu perusahaan, maka dari uraian di atas sudah jelas bahwa modal kerja tersebut sangat dibutuhkan oleh perusahaan salah satunya adalah sebagai power dalam menjalankan aktivitas penjualan.

Semua perusahaan selalu membutuhkan modal kerja untuk membiayai kegiatan operasionalnya baik perusahaan yang bergerak dalam bidang industri maupun jasa. Modal kerja harus selalu dalam keadaan berputar. Selama perusahaan melakukan kegiatan usaha karena pengelolaan modal kerja yang baik adalah efisiensi modal kerja yang dapat dilihat dari perputaran modal kerja tersebut. Perputaran modal kerja dimulai dari saat kas diinvestasikan dalam komponen modal kerja saat kembali menjadi kas. Dalam perjalanannya kas tersebut mengalami konversi dari mulai digunakan untuk membeli alat-alat, gaji pegawai, bahan baku hingga dilakukan penjualan dan kembali menjadi kas dengan nilai yang berbeda.

Pengertian Modal Kerja Menurut Para Ahli

Setelah beberapa saat mencari pengertian modal kerja dari berbagai sumber, akhirnya saya menemukan satu sumber lagi yang menurut saya ini adalah pendapat yang lebih sesuai dengan apa yang ingin saya bahas pada kesempatan kali ini. Menurut pendapat Sutrisno (2008) mengemukakan bahwa modal kerja adalah dana yang digunakan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaan sehari-hari seperti pembelian bahan baku, pembayaran upah buruh, membayar utang dan pembayaran lainnya. Pendapat tersebut menunjukan bahwa modal digambarkan sebagai sesuatu yang lebih nyata dan sesuai dengan pandangan para pelaku bisnis kecil menengah saat ini.

Dari beberapa pendapat para pakar tersebut maka kita akan mengambil kesimpulan yang lebih relevan. Modal kerja adalah investasi perusahaan dalam bentuk  harta jangka pendek dalam bentuk uang tunai atau dana yang juga bisa bersumber dari konversi surat berharga, piutang dan persediaan yang secara singkat digunakan dalam proses produksi. Selain itu modal usaha digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan operasi perusahaan secara singkat selama proses berlangsung waktu itu juga. Kebutuhan operasional tersebut meliputi pembeliaan bahan baku, pembayaran upah karyawan, pembayaran kewajiban rutin dan pembayaran lainnya yang menopang proses selama alur tersebut berlangsung. Hingga setelah proses penjualan terjadi dan modal kembali menjadi kas sebagai dana akhirnya menghasilkan selisih  yang disebut dengan laba.

Memahami Pecking Order Theory

Pecking order theory

adalah literasi para pebisnis yang menggambarkan sebuah tingkatan (level) dalam pencairan dana perusahaan. Berdasarkan teori ini menunjukan bahwa sebuah perusahaan bisnis dengan produksi tinggi lebih memilih menggunakan internal equity dalam membiayai sebuah investasi dan mengimplementasikannya dalam strategi bisnis menjadi peluang pertumbuhan. Theory pecking order menyatakan bahwa sebuah perusahaan bisnis lebih suka pendanaan internal yang bersumber dari laba dan proses operasional  dibandingkan yang bersumber dari pendanaan eksternal. Hal ini merupakan rujukan krakteristik dalam bisnis dimana perusahaan lebih memilih utang yang aman dibandingkan utang yang beresiko serta yang terakhir adalah saham biasa (Myers & Majluf 1984). Theory pecking order yang dibangun berdasarkan referensi teoritis dan beberapa asumsi para pakar yang  menekankan pada pentingnya financial slack yang cukup di perusahaan guna mendanai proyek-proyek dengan dana internal yang lebih aman. Internal equity diperoleh dari laba ditahan atau laba yang diendapkan dan depresiasi atau amortisasi dengan tujuan yang jelas. Utang perusahaan diperoleh dari pinjaman kreditur, sedang eksternal equity diperoleh karena perusahaan menerbitkan saham baru sehingga diakui sebagai danainternal atau modal yang diperoleh darkepentingan permodalan para pemegang saham. 

The pecking order theory berpendapat bahwa perusahaan memiliki permasalahan informasi bisnis secara asimetri. Perusahaan yang memiliki financial slack atau kelonggaran finansial yang cukup tidak perlu menerbitkan risky debt atau saham yang diterbitkan untuk menandai proyek-proyek barunya sehingga permasalahan informasi tidak akan muncul. Perusahaan akan dapat menerima dan menjalankan seluruh proyek bagus tanpa harus merugikan pemegang saham lama. Teori ini merupakan penjelasan dari perilaku perusahaan yang menahan sebagian laba yang diperoleh dari proses penjualan dan membuat cadangan kas yang cukup besar untuk diputar kembali menjadi modal produksi.

Jenis-Jenis Modal Kerja

Menurut Riyanto (2008), modal kerja digolongkan dalam 2 (dua) jenis yaitu modal kerja permanen dan modal kerja variable. Lebih jelasnya kita akan bahas satu-persatu kedua jenis modal kerja tersebut:

  1. Modal Kerja Permanen (Permanent Working Capital), yaitu modal kerja yang bersifat tetap berada pada perusahaan untuk dapat menjalani fungsi produksinya atau dengan kata lain modal kerja yang secara terus menerus diperlukan untuk kelancaran bisnis dan usahanya. Modal kerja ini terdiri dari: modal kerja primer (Primary Working Capital) yaitu jumlah modal kerja minimum yang harus ada pada perusahaan untuk menjaga keberlanjutan usahanya dan modal kerja normal (Normal Working Capital) yaitu modal kerja yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan proses produksi yang bersifat normal.
  2. Modal kerja variabel (variabel working capital) yaitu jumlah kerja yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan keadaan, dan modal kerja di bebankan menjadi modal kerja musiman, yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan karena fluktuasi musim.  Modal kerja siklus, yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan karena fluktuasi konjungtur (permintaan produk). Modal kerja darurat, yaitu modal kerja yang besarnya besarnya berubah-ubah karena adanya keadaan darurat yang tidak diketahui sebelumnya ( misalnya adanya pemogokan buruh , banjir, perubahan ekonomi yang mendadak).

Konsep Modal Kerja

Berdasarkan bukunya yang berjudul “Dasar-dasar pembelanjaan perusahaan” Menurut Riyanto (2008) dikenal ada 3 (tiga) konsep modal kerja, yaitu konsep kuantitatif, konsep kualitatif dan konsep fungsional. Mari kita jelaskan masing-masing konsep tersebut sebagai berikut:

  1. Konsep kuantitatif, konsep ini didasarkan pada kuantitas dari dana modal perusahaan yang tertanam dalam unsur-unsur aktiva lancar dimana aktiva ini merupakan aktiva yang sekali berputar kembali dalam bentuk semula atau aktiva dimana dana yang tertanam didalamnya akan dapat bebas lagi dalam waktu yang pendek. Dengan demikian modal kerja menurut konsep ini adalah keseluruhan dari jumlah aktiva lancar, modal kerja dalam pengertian ini sering disebut dengan modal kerja bruto (gross working capital).
  2. Konsep kualitatif, dalam konsep ini pengertian modal kerja dikaitkan dengan besarnya jumlah hutang lancar atau hutang yang harus segera dibayar. Dengan demikian maka sebagian dari aktiva lancar harus disediakan untuk memenuhi kewajiban finansial yang segera harus dilakukan, dimana bagian aktiva lancar ini tidak boleh digunakan untuk membiayai operasi perusahaan untuk menjaga likuiditasnya. Oleh karena itu, modal kerja menurut konsep ini adalah sebagian dari aktiva lancar yang benar-benar dapat digunakan untuk membiayai operasi perusahaan tanpa mengganggu likuiditasnya yaitu yang merupakan kelebihan aktiva lancar diatas hutang lancar. Modal kerja dalam pengertian ini sering disebut modal kerja neto (net working capital). Definisi ini bersifat kualitatif karena menunjukkan tersedianya aktiva lancar yang lebih besar daripada hutang lancarnya (hutang jangka pendek).
  3. Konsep fungsional, konsep ini mendasarkan pada fungsi dari dana dalam menghasilkan pendapatan (income). Setiap dana yang dikerjakan atau digunakan dalam perusahaan adalah dimaksudkan untuk menghasilakan pendapatan. Ada sebagian dana yang digunakan dalam suatu periode akuntansi.

Pentingnnya Modal Kerja

Menurut pendapat Munawir (2000), tersedianya modal kerja yang segera dapat dipergunakan perusahaan dalam operasionalisasi tergantung pada karakteristik dari aktiva lancar yang dimiliki seperti: kas, effek, piutang dan persediaan. Tetapi modal kerja perusahaan tersebut harus cukup jumlahnya dalam artian harus mampu membiayai pengeluaran-pengeluaran atau operasi perusahaan sehari-hari, karena dengan modal kerja yang cukup akan menguntungkan bagi perusahaan, disamping memungkinkan bagi perusahaan untuk beroperasi secara ekonomis atau efisien dan perusahaan tidak mengalami kesulitan keuangan, juga akan memberikan beberapa keuntungan lain, antara lain:

  1. Melindungi perusahaan terhadap krisis modal kerja karena turunnya nilai dari aktiva lancar.
  2. Memungkinkan untuk dapat membayar semua kewajibankewajiban tepat.
  3. Memungkinkan dimilikinya kredit standing perusahaan semakin besar dan memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat menghadapi bahaya-bahaya atau kesulitan keuangan yang mungkin terjadi. 
  4. Memungkinkan untuk memiliki persediaan dalam jumlah yang cukup untuk melayani para konsumennya.
  5. Memungkinkan bagi perusahaan untuk memberikan syarat kredit yang lebih menguntumgkan kepada para pelanggannya.
  6. Memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat beroperasi dengan lebih efisien karena tidak ada kesulitan untuk memperoleh barang ataupun jasa yang dibutuhkan.

Sumber Modal Kerja

Setiap kenaikan modal kerja disebut dengan sumber modal, sedangkan penurunan disebut dengan penggunaan. Kenaikan dan penurunan modal kerja dilakukan untuk mengetahui bagaimana modal kerja tersebut digunakan atau dibelanjakan pada faktor-faktor produksi oleh perusahaan bisnis dalam aktivitasnya sehari-hari. Kebutuhan akan modal kerja tersebut harus dan mutlak disediakan perusahaan dalam bentuk apapun baik dalam bentuk dana, bahan baku atapun tenaga kerja. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan sumber-sumber modal kerja yang dapat dicari dari berbagai sumber yang tersedia. Namun dalam pemilihan sumber modal perlu diperhatikan untung ruginya sumber modal tersebut. Pertimbangan ini perlu dilakukan agar tidak menjadi beban perusahaan ke depan atau akan menimbulkan masalah yang tidak diinginkan dikemudian hari.  Sumber modal yang normal menurut Amin Widjaja Tunggal (2000) meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Operasi nilai perusahaan.
  2. Laba yang diperoleh dari penjualan surat-surat berharga.
  3. Penjualan aktiva tetap, penanaman jangka panjang / aktiva tak lancar dan lain-lain. 
  4. Pengemmbalian pajak dan keuntungan pajak luar biasa lainnya.
  5. Peeneriman yang diperoleh dari penjualan oblogasi saham dan penyetoran dana oleh para pemilik perusahaan.
  6. Penerimaan pinjaman jangka panjang dan jangka pendek yang diperoleh dari bank atau pihak lain.
  7. Pinjaman yang dijamin dengan hipotek atas aktiva tetap dan aktiva tak lancar.
  8. Penjualan piutang dengan jalan penjualan biasa/ dengan factoring (penjualan dengan cara penjualan faktur, pemberian kredit, diserahkan pada lembaga keuangan).
  9. Kredit pelanggan. 

Munawir (2014) menyimpulkan bahwa modal kerja tersebut akan bertambah apabila:

  1. Adanya kenaikan sektor modal baik yang berasal dari laba maupun adanya pengeluaran modal saham atas tambahan investasi dari pemilik perusahaan. 
  2. Ada pengurangan atau penurunan aktiva tetap yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva tetap maupun melalui proses despresiasi.
  3. Ada penambhan hutnang jangka panjang maupun dari bentuk obligasi, hipotek atau hutang jangka panjang lainnya yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva lancar.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Modal Kerja

Nilai penggunaan modal kerja yang digunakan setiap hari oleh perusahaan tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun ada beberapa faktor penting yang harus diperhatikan dan menjadi fokus bagi perusahaan mempertahankan stabilitasnya. Menurut pendapat Munawir (20014) modal kerja dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor penting diantanya adalah:

  1. Sifat, karakteristik dan tipe perusahaan. Nilai modal kerja suatu perusahaan bisnis atau dagang relative lebih rendah bila dibandingkan dengan modal kerja perusahaan industri yang membutuhkan modal lebih besar untuk membeli bahan baku, karena tidak memerlukan investasi yang besar dalam kas untuk menjalankan operasionalnya, piutang usaha maupun persediaan barang dan kebutuhan uang tunai pada kas perusahaan dagang. Untuk pembelanjaan operasi dapat dipenuhi melalui penghasilan atau penerimaan saat itu juga ketika terjadi transaksi.
  2. Tingkat usaha yang dubutuhkan untuk memperoleh atau memproduksi barang dan jasa yang akan dijual serta harga per satuan. Kebutuhan modal kerja suatu perusahaan sangat erat kaitannya dengan waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memperoleh barang atau jasa yang akan dijual, begitu juga dengan bahan baku yang akan diproduksi sampai barang itu siap untuk dijual. Semakin panjang proses dan waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi atau memperoleh barang dan jasa tersebut maka semakin besar pula modal kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan dalam oprasionalnya. Disamping itu harga pokok per satuan barang yang dijual juga mempengaruhi besar kecilnya modal kerja yang dibutuhkan. Semakin besar harga pokok per satuan barang dan jasa yang akan dijual maka semakin besar pula kebutuhan modal kerjanya.
  3. Syarat pembelian bahan baku. Adaanya syarat pembelian bahan baku yang akan digunakan untuk memproduksi jasa atau barang dagang berkaitan erat dengan jumlah modal kerja yang dibutuhkan untuk perusahan yang bersangkutan dalam prosesnya. Jika mekanisme syarat yang ditempuh pada waktu dilakukan pembelian menguntungkan maka akan semakin sedikit dana yang diinvestasikan dalam persedian bahan baku atau barang dagangan tersebut. Namun sebaliknya apabila pembayaran atas bahan atau barang yang akan dilakukan pembelian tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu pendek maka uang kas diperlukan untuk membiayai proses tersebut akan semakin besar pula.
  4. Syarat penjualan kepada pelanggan. Dengan semakin lunak kredit yang diberikan oleh perusahaan kepada para pembeli atau konsumen akan menyebabkan semakin besar jumlah modal kerja dari perusahaan tersebut yang harus diinvestasikan pada sektor pos piutang. Untuk menurunkan jumlah modal kerja yang harus diinvestasikan maka yang harus di sektorkan dalam bentuk piutang dan untuk memperkecil resiko adanya piutang yang akan tartagih sebaiknya perusahaan memberikan potongan tunai kepada para pembeli atau konsumen, karena dengan demikian pembeli akan tertarik untuk segera membayar utangnya dalam periode diskon tersebut.
  5. Tingkat pertukaran persedian (inventory turnover). Pertukaran persediaan pada perusahaan menunjukan berapa kali persediaan tersebut diganti dalam jangka waktu tertentu, semakin tinggi tingkat pertukaran persediaan barang dan bahan baku maka jumlah modal kerja perusahaan yang diinvestasikan dalam komponen persediaan semakin rendah. Untuk dapat menemukan tingkat perputaran persediaan yang tinggi tersebut maka harus diadakan perencanaan persediaan dan pengendalian persediaan secara teratur dan efisien oleh manajemen. Semakin cepat wktu ang dibutuhkan atau semakin tinggi tingkat perputaran persediaan akan memperkecil resiko terjadinya kerugian yang disebabkan penurunan mutu barang atau karena perubahan selera konsumen pada jangka waktu tersebut, disamping menghemat ongkos menyimpan dan pemeliharaan terhadap persediaan barang tersebut.

Manfaat Modal Kerja

Modal kerja perusahaan disarankan sebaiknya tersedia dalam jumlah dan nilai yang besar agar memberikan peluang bagi perusahaan untuk dapat beroperasi secara efisien dan tidak mengalami kekurangan atau kesulitan keuangan pada saat berjalan. Menurut pendapat Jumingan (2001) berikut ini adalah manfaat modal kerja yang jumlahnya besar dan cukup untuk menjalankan operasional:

  1. Memberikan perlindungan kepada perusahaan dari dampak negatif turunnya nilai aktiva lancar, misalnya adanya kerugian karena debitur tidak membayar, turunnya nilai persediaan karena harganya merosot.
  2. Memberikan peluang kepada perusahaan untuk melunasi hutang dan kewajibannya dalam jangka pendek dan tepat pada waktunya.
  3. Memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat membeli faktor produksi atau barang dengan metode tunai sehingga memperoleh keuntungan dari potongan harga.
  4. Memberikan jaminan kepada perusahaan untuk memiliki reputasi kredit (credit standing) yang baik dan dapat mengatasi beberapa peristiwa yang tidak diduga seperti kecelakaan kerja, kerusakan infrastruktur, kebakaran bangunan, pencurian dan lain-lain.
  5. Memungkinkan bagi perusahaan untuk memiliki persediaan dalam nilai yang besar guna memberikan pelayanan permintaan dari konsumen.
  6. Memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat memberikan atau menegosiasikan syarat kredit yang menguntungkan kepada pelanggan sehingga meningkatkan penjualan secara signifikan.
  7. Memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat beroperasi lebih efisien karena tidak ada kesulitan pada saat memperoleh bahan baku produksi, jasa, dan pada saat proses suplai.
  8. Memungkinkan bagi perusahaan untuk mampu bertahan dalam kondisi ekonomi resesi atau depresi. 
Sumber Pustaka:
  • Amin, Widjaja Tunggal, 2000. Dasar-Dasar Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: Rineka Cipta
  • Atmaja Lukas Setia, 2008, Teori dan Praktek Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Penerbit Andi
  • Jumingan. 2011. AnalisisLaporanKeuangan. Jakarta: BumiAksara.
  • Myers, S. c., 1984, Capital Structure Puzzle, Journal of Finance, 39 (3), pp 575-592.
  • Munawir, 2014, Analisis Laporan Keuangan, Penerbit Liberty, Yogyakarta
  • Riyanto,Bambang. 2008. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Ed Keempat, Cetakan Kedelapan.Yogyakarta:BPFE
  • Sutrisno (2006), Akuntansi Penyusunan Laporan Keuangan, Jakarta, Salemba Empat.