Melalui pemrograman PHP, kita bisa membuat sebuah perintah yang dapat melakukan routing pada halaman yang ingin ditampilkan dengan mudah. Manajemen halaman pada pemrograman web khususnya PHP sebetulnya dapat dilakukan dengan mudah. Umumnya programer akan membuat beberapa halaman duplikat kemudian menyatukannya dalam list menu di halaman utamanya melalui link file masing-masing halaman tersebut. Cara seperti ini tidak salah, hanya saja jika setiap halaman memiliki kerumitan yang cukup tinggi akan sangat merepotkan pada saat pengembangan kedepannya. 
Dengan menggunakan routing ini kita bisa memperluas masing-masing halaman pada aplikasi web yang kita buat dengan fitur kompleks tanpa kesulitan. Selain itu, kelebihan lainnya adalah ketika kita akan melakukan manajemen akses untuk setiap pengguna yang mana masing-masing entitas memiliki hak akses fitur yang berbeda. Sehingga dengan teknik ini, selanjutnya bisa kita kembangkan untuk melakukan hal tersebut lebih lanjut.
Untuk mempersingkat waktu, kita langsung saja ke inti dari topik yang akan kita bahas kali ini. Jangan lupa juga selalu gunakan text editor IDE kesukaan anda, tempat kerja yang nyaman dan segelas kopi pahit.
Buat Project Baru
Tahap pertama kita buat project baru seperti biasa, di sini saya asumsikan kita sudah memahami sebelumnya bagaimana membuat project, menggunakan web server dan dasar pemrograman web lainnya. Buat susunan file dan directory nya seperti gambar berikut ini.

Sebagai penjelasan singkat, pada folder "_Page" akan kita gunakan untuk menyimpan komponen-komponen halaman yang akan kita panggil. Pada file halaman tersebut kita hanya akan memanggil komponen spesifik dari masing-masing halaman yang akan kita buat. Pada folder "css" kita akan menyimpan asset css kita disana. Walaupun demikian untuk mempercantik tampilan kita bisa menggunakan bootstrap. Pada file "index.php" kita akan menyimpan script utama berikut routing halaman dalam bentuk bahasa PHP.  
Buat Script Untuk index.php
Langsung pada file utama di "index.php" tulis script berikut ini:

Sebagai penjelasan pada baris ke 7, 8, 9, 10 merupakan script untuk memanggil CDN bootstrep agar tampilannya sedikit menarik. Untuk sementara kita buat dalam bentuk CDN dulu, jika ingin menggunakannya dilokal bisa diubah nanti.
Pada baris ke 11 kita akan membuat file css yang akan mengatur tampilan tambahan diluar bootstrap yang kita gunakan tadi.
Pada baris 21 sampai dengan 34 adalah script html untuk menampilkan navbar atas. Kita bisa merubahnya sesuai keinginan, misalnya pada bagian "My Aplication" bisa diubah dengan nama aplikasi, project atau apalah.
Pada baris 40 sampai 64 merupakan script PHP yang melakukan routing halaman berdasarkan parameter data GET yang diambil pada URL. Jadi ketika kita memilih/click pada navbar halaman 1 maka kita akan diarahkan pada url: localhost/ProjectKamu/index.php?Page=HalamanSatu kemudian didefinisikan oleh script PHP tersebut apa isi dari HalamanSatu.
Jangan lupa juga pada file style.css tambahkan script berikut:
Simpan semua perubahan pada file di project yang sudah dibuat tadi kemudian coba panggil halaman index.php tadi maka hasilnya akan seperti berikut:

 
 
Buat Script Untuk Halaman
Pada file Halaman_1.php, Halaman_2.php dan Halaman_3.php kita buat masing-masing scriptnya seperti berikut
Halaman_1.php

Halaman_2.php

Halaman_3.php 

Silahkan simpan perubahan pada masing-masing file yang sudah dibuat tadi. Buka kembali halaman index.php pada web browser kemudian coba pilih/click masing-masing menu pada navbar atas.

Jika berhasil maka sistem akan menampilkan perbedaan pada masing-masing halaman yang dipilih. 

index.php?Page=HalamanSatu


 index.php?Page=HalamanDua


index.php?Page=HalamanTiga

 

Demikian tutorial kali ini, untuk selanjutnyan kita akan membahas tema menarik lainnya yang masih mengenai pemrograman PHP. Apabila ada yang tidak dipahai, silahkan tanyakan pada kolom komentar.

Konsep Dasar Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) adalah salah satu metode pengambilan keputusan multikriteria yang pertama kali diperkenalkan oleh Yoon dan Hwang (1981). TOPSIS menggunakan prinsip bahwa alternatif yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi ideal positif dan terjauh dari solusi ideal negatif, yang bertujuan untuk menentukan kedekatan relatif dari suatu alternatif dengan solusi optimal. Solusi ideal positif didefinisikan sebagai jumlah dari seluruh nilai terbaik yang dapat dicapai untuk setiap atribut, sedangkan solusi negatif ideal terdiri dari seluruh nilai terburuk yang dicapai untuk setiap atribut.
Pemahaman Tentang Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) Sebagai Sistem Pendukung Keputusan
Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) merupakan salah satu teknik yang bisa diterapkan dalam sistem pendukung keputusan. Sistem Pendukung Keputusan atau Decision Support System (DSS) secara umum didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mampu memberikan kemampuan pemecahan masalah maupun kemampuan pengkomunikasian untuk masalah semi terstruktur (Whetyningtyas, 2011). Pengertian Decision Support System menurut (Jogiyanto, 2001) adalah suatu sistem informasi untuk membantu manajer level menengah untuk proses pengambilan keputusan setengah terstruktur (semi structured) supaya lebih efektif dengan menggunakan model-model analitis dan data yang tersedia.
Istilah Sistem Pendukung Keputusan (SPK) mengacu pada suatu sistem yang memanfaatkan dukungan komputer dalam proses pengambilan keputusan. Untuk memberikan pengertian yang lebih maka ada beberapa definisi mengenai SPK oleh beberapa ahli (Hermawan, 2005). Menurut Dewanto (2015) sistem pendukung keputusan (SPK) merupakan suatu sistem yang berbasis komputer yang ditunjukan untuk membantu pengambil keputusan dengan memanfaatkan data dan model tertentu untuk memecahkan berbagai persoalan yang tidak terstruktur.
Sistem pendukung keputusan digunakan untuk mendeskripsikan sistem yang didesain untuk membantu manajer memecahkan masalah tertentu. Sistem pendukung keputusan (SPK) adalah bagian dari sistem informasi berbasis komputer termasuk sistem berbasis pengetahuan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam suatu organisasi maupun perusahaan (Dewanto, 2015)
Dari beberapa para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem pendukung keputusan merupakan suatu sistem informasi berbasis komputer yang dibuat untuk membantu memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan berupa alternatif pilihan menggunakan pemodelan analisis dan data yang ada.
Penerapan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
Penerapan TOPSIS membantu perusahaan untuk memanfaatkan pendekatan analisis dan pengambilan keputusan yang lebih sistematis dan terstruktur. Dalam konteks bisnis yang semakin kompleks dan global, alat ini dapat memberikan nilai tambah dalam mencapai tujuan strategis dan menghadapi tantangan yang berkembang dengan cepat.
Penerapan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) dalam dunia bisnis dan globalisasi memberikan berbagai manfaat, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Berikut adalah beberapa manfaat utama dari penerapan TOPSIS dalam konteks bisnis dan globalisasi:
  1. TOPSIS membantu dalam memilih alternatif terbaik dari sejumlah opsi yang tersedia. Dalam konteks bisnis, ini dapat diterapkan pada pemilihan vendor, pemilihan proyek investasi, atau evaluasi strategi bisnis.
  2. TOPSIS dapat digunakan untuk menganalisis kinerja relatif dari setiap alternatif dalam hubungannya dengan kriteria yang ditetapkan. Ini membantu dalam evaluasi kualitas produk, layanan, atau keputusan bisnis.
  3. Dengan mempertimbangkan kriteria risiko dan keamanan, TOPSIS dapat membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih informasional dan dapat mengurangi risiko yang terkait dengan keputusan bisnis.
  4. Dengan memilih alternatif yang paling mendekati solusi ideal, TOPSIS dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam operasi bisnis. Misalnya, dalam pemilihan strategi operasional atau investasi dalam teknologi baru.
  5. Dalam lingkungan bisnis yang semakin terglobalisasi, TOPSIS dapat digunakan untuk memilih strategi ekspansi pasar, pemilihan mitra bisnis internasional, atau evaluasi proyek lintas batas.
  6. TOPSIS membantu dalam mengevaluasi proyek dan investasi dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan. Ini dapat membantu perusahaan dalam memilih proyek yang paling sesuai dengan tujuan bisnis dan kebijakan perusahaan.
  7. Penerapan TOPSIS memastikan bahwa keputusan bisnis didasarkan pada data dan analisis yang lebih objektif. Ini membantu dalam meningkatkan keputusan yang lebih baik dan mengurangi potensi keputusan yang bersifat subyektif.
Definisi Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) Menurut Para Ahli
Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) adalah salah satu metode dari model keputusan MADM. Metode TOPSIS menggunakan konsep dimana alternatif terpilih yang terbaik tidak hanya memiliki jarak terpendek dari solusi ideal positif, tetapi juga memiliki jarak terpanjang dari solusi ideal negatif (Elyza Gustru Wahyuni, 2017).
Menurut Dicky Nofriansyah (2017) menyatakan bahwa, TOPSIS merupakan salah satu metode yang digemari oleh peneliti di dalam merancang sebuah sistem pendukung keputusan, selain konsepnya sederhana tetapi kompleksitas dalam pemecahan masalah baik itu ditandai dengan konsep penyelesaian metode ini yaitu dengan memilih alternatif terbaik yang tidak hanya memiliki jarak terpendek dari solusi ideal positif tetapi juga memiliki jarak terpanjang dari solusi ideal negatif.
Menurut Simanjorang (2019) Metode TOPSIS adalah salahsatu metode yang bisa membantu proses pengambilan keputusan yang optimal untuk menyelesaikan masalah keputusan secara praktis. Hal ini disebabkan karena konsepnya sederhana dan mudah dipahami. Sejalan dengan pendapat Marlina, Yusnaeni, dan Indriyani (2017) TOPSIS merupakan suatu metode sistem pendukung keputusan (DSS) yang digunakan untuk memilih peringkat terbaik dengan nilai bobot tertinggi pada alternative yang dinilai. Penilaian dilakukan dengan menilai berdasarkan bobot nilai dari kriteria dan alternatif. Metode TOPSIS dapat menyelesaikan pengambilan keputusan secara praktis, karena konsepnya sederhana dan mudah dipahami, komputasinya efisien, serta memiliki kemampuan mengukur kinerja relatif dari alternatif-alternatif keputusan (Parhusip et al., 2011). Metode ini banyak digunakan untuk menyelesaikan pengambilan keputusan secara praktis karena konsepnya yang sederhana dan mudah dipahami, serta komputasinya efisien dan memiliki kemampuan mengukur kinerja relatif dari alternatif-alternatif keputusan.
Tujuan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
TOPSIS bertujuan untuk menentukan solusi ideal positif dan solusi ideal negatif. Solusi ideal positif memaksimalkan kriteria manfaat dan meminimalkan kriteria biaya, sedangkan solusi ideal negatif memaksimalkan kriteria biaya dan meminimalkan kriteria manfaat (Fan dan Cheng, 2009). Kriteria manfaat merupakan kriteria dimana ketika nilai kriteria tersebutsemakin besar maka semakin layak pula untukdipilih. Sedangkan kriteriabiaya merupakan kebalikan dari kriteria manfaat, semakin kecil nilai darikriteria tersebut maka akan semakin layak untuk dipilih. Dalam metode TOPSIS, alternatif yang optimal adalah yang paling dekat dengan solusi idealpositif dan paling jauh dari solusi ideal negatif.
Kelemahan Dan Kelebihan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
Dalam metode TOPSIS, dipertimbangkan adanya solusi ideal positif dan solusi ideal negatif. Solusi ideal positif merupakan nilai terbaik dari semua kriteria sedangkan solusi ideal negatif adalah nilai terburuk untuk tiap kriteria dari alternatif yang ada. Dengan adanya kedua solusi ini maka alternatif yang dipilih dalam metode TOPSIS merupakan alternatif yang memiliki jarak terdekat dengan solusi ideal positif dan jarak terjauh dengan solusi ideal negatif. Karena itulah maka dapat disimpulkan beberapa kelemahan dan kelebihan metode TOPSIS.
Kelemahan TOPSIS
  1. Belum adanya penentuan bobot prioritas yang menjadi prioritas hitungan terhadap kriteria, yang berguna untuk meningkatkan validitas nilai bobot perhitungan kriteria. Maka dengan alasan ini, metode ini dapat dikombinasikan misalnya dengan metode AHP agar menghasilkan output atau keputusan yang lebih maksimal
  2. Belum adanya bentuk linguistik untuk penilaian alternatif terhadap kriteria, biasanya bentuk linguistik ini diinterpretasikan dalam sebuah bilangan fuzzy
  3. Belum adanya mediator seperti hirarki jika diproses secara mandiri maka dalam ketepatan pengambilan keputusan cenderung belum menghasilkan keputusan yang sempurna
  4. Metode TOPSIS ini dapat digunakan dalam menentukan perangkingan alternatif dengan memperhitungkan solusi ideal dari suatu masalah dan penentuan bobot setiap kriteria. Namun, kurang baik jika digunakan dalam mendapatkan bobot yang memperhitungkan hubungan antara kriteria. Walaupun dapat dilakukan dengan pairwase comparison, tetapi membutuhkan matriks dan perhitungan yang lebih rumit. Oleh karena itu, dilakukan penggabungan dengan metode lain seperti ANP (Analytic Network Process) dalam mengatasi masalah pembobotan tersebut.
  5. Pada proses yang menggunakan metode TOPSIS, perangkingan dan pembobotan kriteria adalah memiliki nilai yang telah pasti. Padahal, dalam aplikasinya di kehidupan nyata, terdapat informasi yang tidak lengkap atau informasi yang dibutuhkan tidak tersedia. Contoh penyebab informasi yang tidak lengkap tersebut adalah karena adanya penilaian dari manusia yang seringkali bersifat tidak pasti/kabur (fuzzy) dan tidak dapat mengestimasikan perangkingan dalam data numerik yang pasti. Ketidakpastian ini merupakan sesuatu yang tidak dapat diatasi jika menggunakan metode TOPSIS, kecuali jika dilakukan perhitungan algoritma lebih lanjut dalam perumusan metode TOPSIS tersebut.
  6. Metode TOPSIS menentukan solusi berdasarkan jarak terpendek menuju solusi ideal dan jarak terbesar dari solusi negatif yang ideal. Namun, metode ini tidak mempertimbangkan kepentingan relatif (relative importance) dari masing-masing jarak tersebut.
  7. Pada metode TOPSIS, seringkali digunakan asumsi pada tingkat kepentingan relatif masing-masing respon dan digunakan kombinasi dengan metode lain untuk menyelesaikan asumsi tersebut. Contohnya adalah dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) atau ANP (Analytic Network Process) untuk memperoleh nilai bobot yang mewakili tingkat kepentingan relatif masing-masing kriteria.
  8. Pada metode TOPSIS, alternatif dengan ranking tertinggi merupakan solusi yang terbaik, namun belum tentu ranking tertinggi tersebut adalah yang terdekat dari solusi ideal. Sehingga perlu dilakukan perhitungan lagi untuk memastikannya.
Kelebihan TOPSIS
  1. Konsepnya sederhana dan mudah dipahami, kesederhanaan ini dilihat dari alur proses metode TOPSIS yang tidak begitu rumit. Karena menggunakan indikator kriteria dan variabel alternatif sebagai pembantu untuk menentukan keputusan
  2. Komputasinya efisien, perhitungan komputasinya lebih efisien dan dan cepat
  3. Mampu dijadikan sebagai pengukur kinerja alternatif dan juga alternatif keputusan dalam sebuah bentuk output komputasi yang sederhana.
  4. Dapat digunakan sebagai metode pengambilan keputusan yang lebih cepat.
Tahapan Perhitungan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
Algoritma Penyelesaian masalah MADM dengan TOPSIS (Kusumadewi, S. Hartati, S. Harjoko, A. Wardoyo, 2004):
  • Menentukan alternatif yang pada penelitian ini adalah merek dan model mobil bekas kemudian menormalisasi setiap nilai alternatif dan matrix ternormalisasi terbobot.
  • Membuat rating pada masing-masing alternatif pada masing-masing kriteria dengan rumus sebagai berikut: 
  •  
  • Keterangan:
    ij    = Nilai Normalisasi Kriteria ke i.
    Xij    = Hasil pertimbangan berdasarkan kriteria ke i.
     
  • Membuat matrix normalisasi terbobot.
  • Menentukan nilai normalisasi maksimum dan minimum.
  • Menghitung Sparasi Ideal Positif dengan menggunakan persamaan berikut ini:
  •  
  • Keterangan:
    Di+     = Sparasi ideal positif
    yi+     = Nilai Normaliasasi Maksimum
    yij    = Normalisasi Terbobot
     
  • Hasil perhitungan untuk nilai normalisasi maksimum dikurangi normalisasi terbobot

  • Hasil perhitungan untuk nilai normalisasi maksimum dikurangi normalisasi terbobot pangkat 2 (dua) dengan persamaan

  • Hasil perhitungan untuk nilai akar dari jumlah akumulasi normalisasi maksimum dikurangi normalisasi terbobot pangkat 2 (dua) pada persamaan

  • Menghitung Sparasi Ideal negatif dengan menggunakan persamaan berikut ini:
  •  
  • Keterangan:
    Di-     = Sparasi ideal negatif
    yi-     = Nilai Normaliasasi minimum
    yij    = Normalisasi Terbobot
  • Hasil perhitungan untuk nilai normalisasi terbobot dikurangi normalisasi minimum

  • Hasil perhitungan untuk nilai normalisasi minimum dikurangi normalisasi terbobot pangkat 2 (dua) dengan persamaan

  • Hasil perhitungan untuk nilai akar dari jumlah akumulasi normalisasi minimum dikurangi normalisasi terbobot pangkat 2 (dua) pada persamaan

  • Menghitung nilai preferensi dari setiap alternatif berdasarkan solusi ideal positif dan solusi ideal negative.
  • Data solusi ideal positif dan negative di atas kemudian dihitung menggunakan persamaan berikut ini:
  •  
  • Keterangan:
    Vi    = Nilai preferensi untuk alternatif ke i
    D-    = Solusi Ideal negative
    D+    = Solusi Ideal positif
     
  • Melakukan perankingan berdasarkan hasil perhitungan nilai preferensi.
Penutup
TOPSIS merupakan suatu metode sistem pendukung keputusan (DSS) yang digunakan untuk memilih peringkat terbaik dengan nilai bobot tertinggi pada alternative yang dinilai. Penilaian dilakukan dengan menilai berdasarkan bobot nilai dari kriteria dan alternatif. Namun, metode ini tidak mempertimbangkan kepentingan relatif (relative importance) dari masing-masing jarak tersebut. Oleh sebab itu solusi dari permasalahan kekurangan metode TOPSIS dapat ditutupi dengan batasan yang jelas dalam menentukan jarak penilaian pada masing-masing kriteria yang digunakan. Pada metode TOPSIS, seringkali digunakan asumsi pada tingkat kepentingan relatif masing-masing respon dan digunakan kombinasi dengan metode lain untuk menyelesaikan asumsi tersebut. Contohnya adalah dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) atau ANP (Analytic Network Process) untuk memperoleh nilai bobot yang mewakili tingkat kepentingan relatif masing-masing kriteria.
Sumber Pustaka
  1. Amida, S. N., & Kristiana, T. (2019). Sistem Pendukung Keputusan Penilaian Kinerja Pegawai Dengan Menggunakan Metode Topsis. JSAI (Journal Scientific and Applied Informatics), 2(3), 193–201. https://doi.org/10.36085/jsai.v2i3.415
  2. Dicky Nofriansyah, S. D. (2017). Multi Criteria Decision Making (MCDM): pada sistem pendukung keputusan. Deepublish.
  3. Elyza Gustru Wahyuni, A. T. A. (2017). Sistem Pendukung Keputusan Penerimaan Pegawai Dengan Metode Topsis. Jurnal Sains, Teknologi Dan Industri, 14(2).
  4. Fan, C. K., & Cheng, S. W. (2009). Using Analytic Hierarchy Process Method and Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution to Evaluate Curriculum in Department of Risk Management and Insurance. 19(1), 1–8.
  5. Hakim, L. (2019). Sistem Pendukung Keputusan Penilaian Kinerja Karyawan Menggunakan Metode Topsis Pada PT.Karunia Berkat Alam Demak.
  6. Hermawan, J. (2005). Membangun Decision Support System. Andi.
  7. Marlina, M., Yusnaeni, W., & Indriyani, N. (2017). Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Siswa Yang Berhak Mendapatkan Beasiswa Dengan Metode Topsis. Jurnal Techno Nusa Mandiri, 14(2), 147–152.
  8. Mulyanto, A. (2009). Sistem Informasi Konsep dan Aplikasi. Pustaka Pelajar.
  9. Nurhayati, S. (2017). Sistem Penilaian Kinerja Karyawan Menggunakan Metode TOPSIS pada PT XYZ. Prosiding Saintiks FTIK UNIKOM, 2, 25–28.
  10. Palasara, N., & Baidawi, T. (2018). Penerapan Sistem Pendukung Keputusan Pada Penilaian Karyawan Menggunakan Metode Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution ( TOPSIS ).
  11. Pressman, R. (2001). Software Engineering: A Practitioner’s Approach, Fifth Ed. McGraw-Hill Book Company.
  12. Putra, K. D., Lina, S., Sitio, M., Studi, P., Informatika, T., Teknik, F., Pamulang, U., Selatan-indonesia, T., & Karyawan, P. K. (2021). Perancangan Sistem Pendukung Berbasis Desktop Menggunakan Kombinasi Metode SMART-TOPSIS. 5(3), 240–249.
  13. Rahman, A. K., & Suwartane, I. G. A. (2020). Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Penilaian Karyawan Terbaik Dengan Metode Tehcnique For Order Preference By Similarity To Ideal Solution (TOPSIS) Berbasis Web. 4(1).
  14. Sachdeva. (2009). Multi-Factor Mode Critically Analysis Using TOPSIS. International Journal of Industrial Enineering, 5(8).
  15. Simanjorang, R. M. (2019). Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Dosen Terbaik dengan menggunakan Metode TOPSIS (Studi Kasus: STMIK Pelita Nusantara Medan). Jurnal STMIK Pelita Nusantara Medan, 4(1), 10–15.
  16. Whetyningtyas, A. (2011). Peranan Decision Support System (DSS) Bagi Manajemen Selaku Decision Maker. Jurnal Analisis Manajemen, 5(1), 102–108.


Globalisasi bisnis menekan berbagai bidang usaha dan lembaga pelayanan publik untuk mengikuti arus perubahan dalam pengelolaan sumber daya manusia. Perubahan masiv berkecepatan tinggi juga mendorong setiap pribadi pegawai untuk memiliki kesiapan untuk berubah, adatif dan mampu mengikuti persaingan ditengah perkembangan yang tidak terbendung. Dalam hal perubahan tersebut maka sisi positif bagi para pemegang kebijakan perusahaan adalah kemudahan dalam mempersiapkan menghadapi perubahan tersebut. Readyness For Change merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan tantangan tersebut.

Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. Namun demikian, kesiapan menghadapi perubahan harus direncanakan secara matang dari berbagi aspek termasuk mentalitas kerja dan finansial pekerja.
Untuk memahami lebih mendalam, pertama-tama kita mulai dengan derfinisi teoritis mengenai Readyness For Change dan bagaimana cara kerja alami psikologis pekerja dalam menghadapi tantangan yang nantinya dapat diterapkan secara berkelanjutan. Harapan yang ingin dicapai adalah keterbukaan pribadi yang selanjutnya dapat diukur secara konsisten dalam lingkup yang lebih luas.

Pengertian Readyness For Change

Menurut jurnal yang ditulis Mujid dkk (2023) yang berjudul The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap, menyatakan bahwa readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Senada dengan itu, dilihat dari referensi yang lebih lama pada jurnal yang ditulis Sri Hartanti (2018) mengemukakan bahwa readiness for change ini didefinisikan sebagai sikap komprehensif yang secara   simultan   dipengaruhi   oleh isi, proses, konteks dan individu yang terlibat dalam suatu perubahan. Definisi tersebut merujuk pada referensi yang lebih tua lagi yaitu melalui jurnal yang ditulis Holt dkk (2007) yang menyatakan bahwa kesiapan secara kolektif merefleksikan sejauh mana kecenderungan individu untuk menyutujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.
Ketika adanya perubahan kebijakan dalam satu perusahaan maka disana akan terjadi sikap reaksi dari pengelola sumber daya manusia untuk mempersiapkan pegawainya menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Sebagaimana aksi reaksi, maka kesiapan secara kolektif tidak akan bisa terbentuk tana adanya integritas pada sistem pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan konsep aktual yang mampu beradaptasi dengan kebijakan yang ditetapkan. Lebih jauh kita bisa menyatakan bahwa readiness for change merupakan konsep yang menggambarkan tingkat kesiapan para karyawan dalam menghadapi perubahan, baik sebelum maupun setelah terjadi perubahan di dalam organisasi. Konsep ini mencakup berbagai aspek yang melibatkan individu, seperti sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi perubahan tersebut. Sebelum perubahan terjadi, readiness for change membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan dan adaptasi karyawan terhadap perubahan tersebut. Setelah perubahan terjadi, readiness for change juga berperan penting dalam mengukur sejauh mana karyawan atau pegawai dapat beradaptasi dan berkontribusi secara positif terhadap perubahan tersebut. Dengan memahami readiness for change, organisasi dapat merencanakan strategi yang lebih efektif untuk mengelola perubahan dan memastikan kesuksesan dalam implementasinya.
Readiness for Change adalah sebuah proses psikologis yang tidak langsung terlihat, yang mencerminkan keinginan seseorang untuk mengadopsi pola perilaku baru dalam periode waktu tertentu (Sumaryono, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui tahapan batin yang berkelanjutan. Proses ini melibatkan kesiapan individu dalam menghadapi perubahan, mengatasi hambatan, dan menerima konsekuensi dari pola perilaku baru yang akan diadopsi. Readiness for Change melibatkan kesadaran individu terhadap kebutuhan akan perubahan, keinginan untuk memperbaiki diri, dan komitmen untuk melangkah maju menuju perubahan yang lebih baik (Sumaryono, 2019).

Faktor Readyness For Change

Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah (Agus et al., 2020). Kesiapan sebuah institusi untuk berubah sangat dipengaruhi oleh sejauh mana karyawan mampu mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru dalam lingkungan kerja mereka. Perubahan dalam organisasi sering kali melibatkan perkenalan konsep baru, teknologi baru, atau praktik kerja yang lebih efisien dan efektif.
Pimpinan organisasi yang memperkenalkan program yang mewajibkan warga organisasi untuk menerapkan metode kerja baru dengan menggunakan teknologi baru merupakan indikator utama dari kesiapan untuk berubah (Lehman, Greener, & Simpson, 2002). Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa karyawan memiliki kesiapan yang memadai dalam menghadapi perubahan tersebut.
Faktor-faktor readyness for change dari uraian tersebut dapat dipahami lebih mendalam melalui hal berikut :
1.    Komitmen
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif  (Lehman et al., 2002).
Ketika pimpinan mendorong dan mendukung inisiatif perubahan, ini mencerminkan komitmen mereka terhadap pengembangan organisasi dan keberhasilan perubahan. Program-program seperti pelatihan, pengenalan teknologi baru, dan pembentukan kebijakan yang mendorong adopsi perubahan menjadi sarana untuk mempersiapkan karyawan dalam menghadapi perubahan tersebut (Lehman et al., 2002). Dengan adanya dukungan dan arahan yang jelas dari pimpinan, kesiapan berubah dapat ditingkatkan dan membawa perubahan yang lebih baik dalam organisasi.
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif. Sumber dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan pengembangan nilai-nilai oleh staf memainkan peran penting dalam menentukan kesiapan organisasi untuk menghadapi perubahan. Dalam rangka mencapai kesiapan yang optimal, organisasi perlu memperhatikan dan mengelola faktor-faktor ini secara holistik. Kombinasi ketersediaan dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan nilai-nilai yang memperkuat kesiapan untuk berubah akan membawa organisasi menuju perubahan yang sukses dan berkelanjutan.
2.    Dukungan Budaya
Adanya dukungan budaya dapat mendorong adopsi perubahan yang terjadi (Agus et al., 2020). Jika budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai pembelajaran, kolaborasi, dan adaptasi, maka warga organisasi akan merasa lebih termotivasi dan siap untuk mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru. Ini berarti memastikan adanya lingkungan yang terbuka untuk belajar, eksperimen, dan berbagi pengetahuan di dalam organisasi (Lehman et al., 2002).
Organisasi yang mampu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada mutu terbukti memiliki keunggulan dalam menghadapi perubahan dan bertahan dalam persaingan (Swaffin-Smith, Barnes, & Townsend, 2002). Budaya kerja yang berfokus pada mutu mencakup komitmen terhadap standar yang tinggi, inovasi berkelanjutan, peningkatan terus-menerus, dan responsif terhadap kebutuhan pasar. Dengan budaya ini, organisasi memiliki fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan perubahan dengan sikap terbuka, fleksibilitas, dan kemampuan beradaptasi. Mereka dapat mengidentifikasi peluang perubahan, menerapkan praktik terbaik, dan meningkatkan kualitas layanan mereka secara berkelanjutan. Hal ini membantu organisasi untuk tetap relevan, unggul, dan berdaya saing dalam lingkungan yang selalu berubah dan kompetitif.
3.    Inovasi
Inovasi sangat penting dalam menghadapi perubahan di dunia yang terus berkembang. Organisasi yang mampu mengembangkan budaya inovasi akan memiliki keunggulan kompetitif dan lebih siap menghadapi tantangan yang muncul (Lehman et al. 2002). Budaya inovasi melibatkan penerimaan terhadap gagasan baru, pengembangan keterampilan kreatif, penghargaan terhadap eksperimen dan kegagalan sebagai proses pembelajaran, serta dukungan untuk inisiatif inovatif. Dalam budaya inovasi, individu merasa dihargai dan didorong untuk berpikir di luar kotak, mencari solusi baru, dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
4.    Motivasi
Ketersediaan aspek motivasional adalah salah satu faktor penting dalam mengembangkan kesiapan untuk berubah. Ketika individu merasakan adanya kebutuhan dan dorongan yang kuat untuk melakukan perubahan, mereka akan lebih termotivasi untuk menghadapi perubahan tersebut. Selain itu, penting juga untuk mengembangkan nilai-nilai positif yang melekat pada setiap individu dalam organisasi. Nilai-nilai seperti ketekunan, kolaborasi, kreativitas, dan adaptabilitas merupakan landasan untuk membangun budaya inovasi yang kuat.
5.    Lingkungan
Iklim lingkungan usaha yang mendukung perubahan akan memainkan peran penting dalam mengembangkan sistem nilai, sikap, dan pandangan baru pada individu-individu. Terlihat bahwa keberadaan iklim lingkungan yang kondusif untuk kesiapan organisasi berubah dapat dilihat melalui beberapa hal (Jabnoun & Sedrani 2005), diantaranya:

Individu-individu yang memiliki pemahaman yang jelas tentang visi, misi, dan tujuan organisasi dalam menghadapi perubahan. 

  1. Adanya tim kerja yang kuat dan solid.
  2. Individu-individu yang memiliki kemandirian dalam menjalankan tugasnya. 
  3. Terdapat keterbukaan dalam proses komunikasi di dalam organisasi.
  4. Sejauh mana warga organisasi merasakan tekanan dari dalam diri mereka untuk selalu memberikan kinerja terbaik.

6.    Keterbukaan dari seluruh warga organisasi terhadap perubahan.
Faktor lingkungan memainkan peran penting dalam aktivitas usaha, baik itu lingkungan eksternal maupun lingkungan internal (Marcus 2004). Lingkungan eksternal meliputi aspek persaingan bisnis, ketersediaan bahan baku, regulasi pemerintah, dan tingkat ketidakpastian yang dirasakan. Sementara itu, lingkungan internal mencakup kualitas kehidupan organisasi bisnis, penguasaan teknologi, ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan dari keluarga, dukungan modal, dan dukungan dari anggota organisasi bisnis. Lingkungan internal organisasi bisnis yang mencerminkan kekuatan dan kelemahan akan mempengaruhi kelangsungan aktivitas bisnis.
Kualitas lingkungan memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan usaha. Lingkungan eksternal menentukan sejauh mana perusahaan mampu beradaptasi dengan persaingan, memenuhi kebutuhan bahan baku, dan beroperasi dalam kerangka peraturan yang ada. Sementara itu, lingkungan internal menciptakan kondisi yang mendukung efisiensi, inovasi, dan pertumbuhan. Keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan finansial yang memadai, dan kesiapan organisasi untuk menghadapi tantangan menjadi faktor penentu dalam kelangsungan usaha.
Selain itu, pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan dalam lingkungan internal membantu perusahaan dalam mengidentifikasi peluang dan ancaman, serta mengambil langkah-langkah strategis yang tepat. Dengan pemahaman yang baik tentang faktor-faktor lingkungan, perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja, meningkatkan daya saing, dan menjaga kelangsungan usaha di tengah perubahan yang terus-menerus.
Dalam rangka mencapai keberhasilan usaha, penting bagi perusahaan untuk memantau, menganalisis, dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam lingkungan eksternal dan internal. Dengan demikian, perusahaan dapat menjaga relevansi, efektivitas, dan daya adaptasi dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
7.    Kapasitas Untuk Berubah
Untuk meningkatkan kesiapan institusi untuk berubah, perlu dilakukan upaya dalam mengembangkan kompetensi individu, seperti pelatihan dan pengembangan keterampilan. Selain itu, penting untuk mendorong komunikasi yang terbuka dan transparan antara anggota organisasi, sehingga informasi tentang perubahan dapat dengan mudah diakses dan dipahami. Dukungan dari manajemen dan kepemimpinan yang kuat juga penting dalam membangun kesiapan untuk berubah di dalam institusi. Dengan demikian, kesiapan institusi untuk berubah tidak hanya bergantung pada pengetahuan dan teknologi baru, tetapi juga pada kemauan warga organisasi untuk mengadopsi dan menerapkan perubahan tersebut. Dengan kesiapan yang memadai, institusi dapat menghadapi perubahan dengan lebih sukses dan mengembangkan diri untuk mencapai tujuan organisasional yang lebih tinggi.
Holt et al., (2007) mengemukakan bahwa kesiapan karyawan untuk berubah secara simultan dapat dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu:

  1. Change content, merujuk pada apa yang akan diubah oleh organisasi (misalnya perubahan sistem administrasi, prosedur kerja, teknologi, atau struktur)
  2. Change process, meliputi bagaimana proses pelaksanaan perubahan yang telah direncanakan sebelumnya
  3. Organizational context, terkait dengan kondisi atau lingkungan kerja saat perubahan terjadi.

Holt et al., (2007) mengidentifikasi lima faktor utama yang dapat merubah keyakinan diri karyawan untuk mendukung perubahan yaitu:

  1. Discrepancy yaitu keyakinan bahwa perubahan itu diperlukan oleh organisasi
  2. Aappropriateness yaitu adanya keyakinan bahwa perubahan spesifik yang dilakukan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi
  3. Efficacy yaitu rasa percaya bahwa karyawan dan organisasi mampu mengimplementasikan perubahan
  4. Principal support yaitu persepsi bahwa organisasi memberikan dukungan dan berkomitmen dalam pelaksanaan perubahan dan mensukseskan perubahan organisasi  
  5. Personal valance yaitu keyakinan bahwa perubahan akan memberikan keuntungan personal bagi karyawan. Adarnya kelima keyakinan diatas tidak semata-mata hanya mempengaruhi kesiapan untuk berubah namun juga mempengaruhi bagaimana karyawan akan mengadopsi dan berkomitmen terhadap perubahan organisasi.  


Indikator Readyness For Change

Menurut (Vakola & Nikolaou 2005) indikator Readyness For Change Diantaranya adalah :


1. Appropriateness (ketepatan untuk melakukan perubahan).

Dimensi yang menjelaskan aspek tentang keyakinan individu bahwa adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk perubahan yang perspektif, serta berfokus pada manfaat perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan, konsekuensi bahwa tujuan perubahan sejalan dengan tujuan perusahaan. 

2. Change Efficacy (rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk berubah).

Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan individu tentang kemampuan mereka untuk menerapkan perubahan yang diingini, dimana mereka merasa mempunyai keterampilan serta sanggup untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan perubahan. Dimensi ini juga menjelaskan tingkat kepercayaan diri individu dan kelompok untuk dapat menyukseskan perubahan yang direncanakan. 

3. Management Support (dukungan manajemen).

Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan atau persepsi individu bahwa para pemimpin dan pihak manajemen akan mendukung dan berkomitmen terhadap perubahan yang direncanakan. 

4. Personel Benefit (manfaat bagi individu).  

Dimensi yang menjelaskan aspek tentang sesuatu yang dirasakan individu tentang keuntungan yang dirasakan secara personal yang akan didapatkan apabila perubahan tersebut diimplementasikan.

Penutup

Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah
 

Sumber Pustaka
  1. Agus, Prianto, Kurniati Ira, Wahyudi Taufiq, and Yulistia Eva. 2020. “Berbagai Faktor Penentu Kesiapan Untuk Berubah Dan Pengaruhnya Terhadap Keberlangsungan Kegiatan UMKM Di Wilayah Terdamak Wabah Covid-19.” Jurnal Ekonomi Dan Manajemen 31(1):234–47.
  2. Jabnoun, Naceur, and Khalefa Sedrani. 2005. “TQM, Culture, and Performance in UAE Manufacturing Firms.” Quality Management Journal 12(4):8–20. doi: 10.1080/10686967.2005.11919267.
  3. Holt, Daniel T., Achilles A. Armenakis, Hubert S. Feild, and Stanley G. Harris. 2007. “Readiness for Organizational Change: The Systematic Development of a Scale.” The Journal of Applied Behavioral Science 43(2):232–55. doi: 10.1177/0021886306295295.
  4. Lehman, Wayne E. K., Jack M. Greener, and D. Dwayne Simpson. 2002. “Assessing Organizational Readiness for Change.” Journal of Substance Abuse Treatment 22(4):197–209. doi: 10.1016/S0740-5472(02)00233-7.
  5. Marcus, A. A. 2004. Management Strategy: Achieving Sustained Competitive Advantage. McGraw-Hill Education.
  6. Mujib, Miftachul, and Reni Rosari. 2023. “The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap.” International Journal of Business and Society 24(1):312–29. doi: 10.33736/ijbs.5618.2023.
  7. (7)    Sumaryono, Nurthaibah. 2019. “Readiness For Change Ditinjau Dari Persepsi Transformational Leadership Dan Adaptability Pada Pegawai Rumah Sakit Umum.” Magister Psikologi Profesi.
  8. Swaffin-Smith, Chris, Richard Barnes, and Marie-Christine Townsend. 2002. “Culture Surveys: Monitoring and Enhancing the Impact of Change Programmes.” Total Quality Management 13(6):855–61. doi: 10.1080/0954412022000010181.
  9. Vakola, Maria, and Ioannis Nikolaou. 2005. “Attitudes towards Organizational Change: What Is the Role of Employees’ Stress and Commitment?” Employee Relations 27(2):160–74. doi: 10.1108/01425450510572685.
  10. Xu, Chaterine, Sri Hartini, and Winida Marpaung. 2018. “Readiness For Change Ditinjau Dari Kepemimpinan Transformasional Pada Karyawan/I PT. Mam Medan.” Jurnal Psikologi 14(2):154. doi: 10.24014/jp.v14i2.6405.