Globalisasi bisnis menekan berbagai bidang usaha dan lembaga pelayanan publik untuk mengikuti arus perubahan dalam pengelolaan sumber daya manusia. Perubahan masiv berkecepatan tinggi juga mendorong setiap pribadi pegawai untuk memiliki kesiapan untuk berubah, adatif dan mampu mengikuti persaingan ditengah perkembangan yang tidak terbendung. Dalam hal perubahan tersebut maka sisi positif bagi para pemegang kebijakan perusahaan adalah kemudahan dalam mempersiapkan menghadapi perubahan tersebut. Readyness For Change merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan tantangan tersebut.
Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. Namun demikian, kesiapan menghadapi perubahan harus direncanakan secara matang dari berbagi aspek termasuk mentalitas kerja dan finansial pekerja.
Untuk memahami lebih mendalam, pertama-tama kita mulai dengan derfinisi teoritis mengenai Readyness For Change dan bagaimana cara kerja alami psikologis pekerja dalam menghadapi tantangan yang nantinya dapat diterapkan secara berkelanjutan. Harapan yang ingin dicapai adalah keterbukaan pribadi yang selanjutnya dapat diukur secara konsisten dalam lingkup yang lebih luas.
Pengertian Readyness For Change
Menurut jurnal yang ditulis Mujid dkk (2023) yang berjudul The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap, menyatakan bahwa readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Senada dengan itu, dilihat dari referensi yang lebih lama pada jurnal yang ditulis Sri Hartanti (2018) mengemukakan bahwa readiness for change ini didefinisikan sebagai sikap komprehensif yang secara simultan dipengaruhi oleh isi, proses, konteks dan individu yang terlibat dalam suatu perubahan. Definisi tersebut merujuk pada referensi yang lebih tua lagi yaitu melalui jurnal yang ditulis Holt dkk (2007) yang menyatakan bahwa kesiapan secara kolektif merefleksikan sejauh mana kecenderungan individu untuk menyutujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.
Ketika adanya perubahan kebijakan dalam satu perusahaan maka disana akan terjadi sikap reaksi dari pengelola sumber daya manusia untuk mempersiapkan pegawainya menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Sebagaimana aksi reaksi, maka kesiapan secara kolektif tidak akan bisa terbentuk tana adanya integritas pada sistem pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan konsep aktual yang mampu beradaptasi dengan kebijakan yang ditetapkan. Lebih jauh kita bisa menyatakan bahwa readiness for change merupakan konsep yang menggambarkan tingkat kesiapan para karyawan dalam menghadapi perubahan, baik sebelum maupun setelah terjadi perubahan di dalam organisasi. Konsep ini mencakup berbagai aspek yang melibatkan individu, seperti sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi perubahan tersebut. Sebelum perubahan terjadi, readiness for change membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan dan adaptasi karyawan terhadap perubahan tersebut. Setelah perubahan terjadi, readiness for change juga berperan penting dalam mengukur sejauh mana karyawan atau pegawai dapat beradaptasi dan berkontribusi secara positif terhadap perubahan tersebut. Dengan memahami readiness for change, organisasi dapat merencanakan strategi yang lebih efektif untuk mengelola perubahan dan memastikan kesuksesan dalam implementasinya.
Readiness for Change adalah sebuah proses psikologis yang tidak langsung terlihat, yang mencerminkan keinginan seseorang untuk mengadopsi pola perilaku baru dalam periode waktu tertentu (Sumaryono, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui tahapan batin yang berkelanjutan. Proses ini melibatkan kesiapan individu dalam menghadapi perubahan, mengatasi hambatan, dan menerima konsekuensi dari pola perilaku baru yang akan diadopsi. Readiness for Change melibatkan kesadaran individu terhadap kebutuhan akan perubahan, keinginan untuk memperbaiki diri, dan komitmen untuk melangkah maju menuju perubahan yang lebih baik (Sumaryono, 2019).
Faktor Readyness For Change
Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah (Agus et al., 2020). Kesiapan sebuah institusi untuk berubah sangat dipengaruhi oleh sejauh mana karyawan mampu mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru dalam lingkungan kerja mereka. Perubahan dalam organisasi sering kali melibatkan perkenalan konsep baru, teknologi baru, atau praktik kerja yang lebih efisien dan efektif.
Pimpinan organisasi yang memperkenalkan program yang mewajibkan warga organisasi untuk menerapkan metode kerja baru dengan menggunakan teknologi baru merupakan indikator utama dari kesiapan untuk berubah (Lehman, Greener, & Simpson, 2002). Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa karyawan memiliki kesiapan yang memadai dalam menghadapi perubahan tersebut.
Faktor-faktor readyness for change dari uraian tersebut dapat dipahami lebih mendalam melalui hal berikut :
1. Komitmen
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif (Lehman et al., 2002).
Ketika pimpinan mendorong dan mendukung inisiatif perubahan, ini mencerminkan komitmen mereka terhadap pengembangan organisasi dan keberhasilan perubahan. Program-program seperti pelatihan, pengenalan teknologi baru, dan pembentukan kebijakan yang mendorong adopsi perubahan menjadi sarana untuk mempersiapkan karyawan dalam menghadapi perubahan tersebut (Lehman et al., 2002). Dengan adanya dukungan dan arahan yang jelas dari pimpinan, kesiapan berubah dapat ditingkatkan dan membawa perubahan yang lebih baik dalam organisasi.
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif. Sumber dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan pengembangan nilai-nilai oleh staf memainkan peran penting dalam menentukan kesiapan organisasi untuk menghadapi perubahan. Dalam rangka mencapai kesiapan yang optimal, organisasi perlu memperhatikan dan mengelola faktor-faktor ini secara holistik. Kombinasi ketersediaan dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan nilai-nilai yang memperkuat kesiapan untuk berubah akan membawa organisasi menuju perubahan yang sukses dan berkelanjutan.
2. Dukungan Budaya
Adanya dukungan budaya dapat mendorong adopsi perubahan yang terjadi (Agus et al., 2020). Jika budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai pembelajaran, kolaborasi, dan adaptasi, maka warga organisasi akan merasa lebih termotivasi dan siap untuk mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru. Ini berarti memastikan adanya lingkungan yang terbuka untuk belajar, eksperimen, dan berbagi pengetahuan di dalam organisasi (Lehman et al., 2002).
Organisasi yang mampu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada mutu terbukti memiliki keunggulan dalam menghadapi perubahan dan bertahan dalam persaingan (Swaffin-Smith, Barnes, & Townsend, 2002). Budaya kerja yang berfokus pada mutu mencakup komitmen terhadap standar yang tinggi, inovasi berkelanjutan, peningkatan terus-menerus, dan responsif terhadap kebutuhan pasar. Dengan budaya ini, organisasi memiliki fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan perubahan dengan sikap terbuka, fleksibilitas, dan kemampuan beradaptasi. Mereka dapat mengidentifikasi peluang perubahan, menerapkan praktik terbaik, dan meningkatkan kualitas layanan mereka secara berkelanjutan. Hal ini membantu organisasi untuk tetap relevan, unggul, dan berdaya saing dalam lingkungan yang selalu berubah dan kompetitif.
3. Inovasi
Inovasi sangat penting dalam menghadapi perubahan di dunia yang terus berkembang. Organisasi yang mampu mengembangkan budaya inovasi akan memiliki keunggulan kompetitif dan lebih siap menghadapi tantangan yang muncul (Lehman et al. 2002). Budaya inovasi melibatkan penerimaan terhadap gagasan baru, pengembangan keterampilan kreatif, penghargaan terhadap eksperimen dan kegagalan sebagai proses pembelajaran, serta dukungan untuk inisiatif inovatif. Dalam budaya inovasi, individu merasa dihargai dan didorong untuk berpikir di luar kotak, mencari solusi baru, dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
4. Motivasi
Ketersediaan aspek motivasional adalah salah satu faktor penting dalam mengembangkan kesiapan untuk berubah. Ketika individu merasakan adanya kebutuhan dan dorongan yang kuat untuk melakukan perubahan, mereka akan lebih termotivasi untuk menghadapi perubahan tersebut. Selain itu, penting juga untuk mengembangkan nilai-nilai positif yang melekat pada setiap individu dalam organisasi. Nilai-nilai seperti ketekunan, kolaborasi, kreativitas, dan adaptabilitas merupakan landasan untuk membangun budaya inovasi yang kuat.
5. Lingkungan
Iklim lingkungan usaha yang mendukung perubahan akan memainkan peran penting dalam mengembangkan sistem nilai, sikap, dan pandangan baru pada individu-individu. Terlihat bahwa keberadaan iklim lingkungan yang kondusif untuk kesiapan organisasi berubah dapat dilihat melalui beberapa hal (Jabnoun & Sedrani 2005), diantaranya:
Individu-individu yang memiliki pemahaman yang jelas tentang visi, misi, dan tujuan organisasi dalam menghadapi perubahan.
- Adanya tim kerja yang kuat dan solid.
- Individu-individu yang memiliki kemandirian dalam menjalankan tugasnya.
- Terdapat keterbukaan dalam proses komunikasi di dalam organisasi.
- Sejauh mana warga organisasi merasakan tekanan dari dalam diri mereka untuk selalu memberikan kinerja terbaik.
6. Keterbukaan dari seluruh warga organisasi terhadap perubahan.
Faktor lingkungan memainkan peran penting dalam aktivitas usaha, baik itu lingkungan eksternal maupun lingkungan internal (Marcus 2004). Lingkungan eksternal meliputi aspek persaingan bisnis, ketersediaan bahan baku, regulasi pemerintah, dan tingkat ketidakpastian yang dirasakan. Sementara itu, lingkungan internal mencakup kualitas kehidupan organisasi bisnis, penguasaan teknologi, ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan dari keluarga, dukungan modal, dan dukungan dari anggota organisasi bisnis. Lingkungan internal organisasi bisnis yang mencerminkan kekuatan dan kelemahan akan mempengaruhi kelangsungan aktivitas bisnis.
Kualitas lingkungan memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan usaha. Lingkungan eksternal menentukan sejauh mana perusahaan mampu beradaptasi dengan persaingan, memenuhi kebutuhan bahan baku, dan beroperasi dalam kerangka peraturan yang ada. Sementara itu, lingkungan internal menciptakan kondisi yang mendukung efisiensi, inovasi, dan pertumbuhan. Keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan finansial yang memadai, dan kesiapan organisasi untuk menghadapi tantangan menjadi faktor penentu dalam kelangsungan usaha.
Selain itu, pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan dalam lingkungan internal membantu perusahaan dalam mengidentifikasi peluang dan ancaman, serta mengambil langkah-langkah strategis yang tepat. Dengan pemahaman yang baik tentang faktor-faktor lingkungan, perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja, meningkatkan daya saing, dan menjaga kelangsungan usaha di tengah perubahan yang terus-menerus.
Dalam rangka mencapai keberhasilan usaha, penting bagi perusahaan untuk memantau, menganalisis, dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam lingkungan eksternal dan internal. Dengan demikian, perusahaan dapat menjaga relevansi, efektivitas, dan daya adaptasi dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
7. Kapasitas Untuk Berubah
Untuk meningkatkan kesiapan institusi untuk berubah, perlu dilakukan upaya dalam mengembangkan kompetensi individu, seperti pelatihan dan pengembangan keterampilan. Selain itu, penting untuk mendorong komunikasi yang terbuka dan transparan antara anggota organisasi, sehingga informasi tentang perubahan dapat dengan mudah diakses dan dipahami. Dukungan dari manajemen dan kepemimpinan yang kuat juga penting dalam membangun kesiapan untuk berubah di dalam institusi. Dengan demikian, kesiapan institusi untuk berubah tidak hanya bergantung pada pengetahuan dan teknologi baru, tetapi juga pada kemauan warga organisasi untuk mengadopsi dan menerapkan perubahan tersebut. Dengan kesiapan yang memadai, institusi dapat menghadapi perubahan dengan lebih sukses dan mengembangkan diri untuk mencapai tujuan organisasional yang lebih tinggi.
Holt et al., (2007) mengemukakan bahwa kesiapan karyawan untuk berubah secara simultan dapat dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu:
- Change content, merujuk pada apa yang akan diubah oleh organisasi (misalnya perubahan sistem administrasi, prosedur kerja, teknologi, atau struktur)
- Change process, meliputi bagaimana proses pelaksanaan perubahan yang telah direncanakan sebelumnya
- Organizational context, terkait dengan kondisi atau lingkungan kerja saat perubahan terjadi.
Holt et al., (2007) mengidentifikasi lima faktor utama yang dapat merubah keyakinan diri karyawan untuk mendukung perubahan yaitu:
- Discrepancy yaitu keyakinan bahwa perubahan itu diperlukan oleh organisasi
- Aappropriateness yaitu adanya keyakinan bahwa perubahan spesifik yang dilakukan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi
- Efficacy yaitu rasa percaya bahwa karyawan dan organisasi mampu mengimplementasikan perubahan
- Principal support yaitu persepsi bahwa organisasi memberikan dukungan dan berkomitmen dalam pelaksanaan perubahan dan mensukseskan perubahan organisasi
- Personal valance yaitu keyakinan bahwa perubahan akan memberikan keuntungan personal bagi karyawan. Adarnya kelima keyakinan diatas tidak semata-mata hanya mempengaruhi kesiapan untuk berubah namun juga mempengaruhi bagaimana karyawan akan mengadopsi dan berkomitmen terhadap perubahan organisasi.
Indikator Readyness For Change
Menurut (Vakola & Nikolaou 2005) indikator Readyness For Change Diantaranya adalah :
1. Appropriateness (ketepatan untuk melakukan perubahan).
Dimensi yang menjelaskan aspek tentang keyakinan individu bahwa adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk perubahan yang perspektif, serta berfokus pada manfaat perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan, konsekuensi bahwa tujuan perubahan sejalan dengan tujuan perusahaan.
2. Change Efficacy (rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk berubah).
Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan individu tentang kemampuan mereka untuk menerapkan perubahan yang diingini, dimana mereka merasa mempunyai keterampilan serta sanggup untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan perubahan. Dimensi ini juga menjelaskan tingkat kepercayaan diri individu dan kelompok untuk dapat menyukseskan perubahan yang direncanakan.
3. Management Support (dukungan manajemen).
Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan atau persepsi individu bahwa para pemimpin dan pihak manajemen akan mendukung dan berkomitmen terhadap perubahan yang direncanakan.
4. Personel Benefit (manfaat bagi individu).
Dimensi yang menjelaskan aspek tentang sesuatu yang dirasakan individu tentang keuntungan yang dirasakan secara personal yang akan didapatkan apabila perubahan tersebut diimplementasikan.
Penutup
Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah
Sumber Pustaka
- Agus, Prianto, Kurniati Ira, Wahyudi Taufiq, and Yulistia Eva. 2020. “Berbagai Faktor Penentu Kesiapan Untuk Berubah Dan Pengaruhnya Terhadap Keberlangsungan Kegiatan UMKM Di Wilayah Terdamak Wabah Covid-19.” Jurnal Ekonomi Dan Manajemen 31(1):234–47.
- Jabnoun, Naceur, and Khalefa Sedrani. 2005. “TQM, Culture, and Performance in UAE Manufacturing Firms.” Quality Management Journal 12(4):8–20. doi: 10.1080/10686967.2005.11919267.
- Holt, Daniel T., Achilles A. Armenakis, Hubert S. Feild, and Stanley G. Harris. 2007. “Readiness for Organizational Change: The Systematic Development of a Scale.” The Journal of Applied Behavioral Science 43(2):232–55. doi: 10.1177/0021886306295295.
- Lehman, Wayne E. K., Jack M. Greener, and D. Dwayne Simpson. 2002. “Assessing Organizational Readiness for Change.” Journal of Substance Abuse Treatment 22(4):197–209. doi: 10.1016/S0740-5472(02)00233-7.
- Marcus, A. A. 2004. Management Strategy: Achieving Sustained Competitive Advantage. McGraw-Hill Education.
- Mujib, Miftachul, and Reni Rosari. 2023. “The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap.” International Journal of Business and Society 24(1):312–29. doi: 10.33736/ijbs.5618.2023.
- (7) Sumaryono, Nurthaibah. 2019. “Readiness For Change Ditinjau Dari Persepsi Transformational Leadership Dan Adaptability Pada Pegawai Rumah Sakit Umum.” Magister Psikologi Profesi.
- Swaffin-Smith, Chris, Richard Barnes, and Marie-Christine Townsend. 2002. “Culture Surveys: Monitoring and Enhancing the Impact of Change Programmes.” Total Quality Management 13(6):855–61. doi: 10.1080/0954412022000010181.
- Vakola, Maria, and Ioannis Nikolaou. 2005. “Attitudes towards Organizational Change: What Is the Role of Employees’ Stress and Commitment?” Employee Relations 27(2):160–74. doi: 10.1108/01425450510572685.
- Xu, Chaterine, Sri Hartini, and Winida Marpaung. 2018. “Readiness For Change Ditinjau Dari Kepemimpinan Transformasional Pada Karyawan/I PT. Mam Medan.” Jurnal Psikologi 14(2):154. doi: 10.24014/jp.v14i2.6405.