Showing posts with label Teori. Show all posts
Showing posts with label Teori. Show all posts
Faktor penentu keberhasilan dalam menjalankan visi, misi, dan tujuan perusahaan adalah karyawan. Maka dari itu perusahaan harus mengelolanya dengan baik, karena kinerja karyawan sangat mempengaruhi kinerja perusahaan.  Kinerja merupakan  hasil kerja seseorang baik kualitas maupun kuantitas sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Kinerja juga termasuk berlangsungnya suatu pekerjaan.  Kinerja merupakan hasil pekerjaan dengan tujuan strategis, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.

 

Pengertian Kinerja Menurut Para Ahli

Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Veithzal, 2005). Kinerja karyawan tidak hanya sekedar informasi untuk dapat dilakukannya promosi atau penetapan gaji bagi perusahaan. Akan tetapi bagaimana perusahaan dapat memotivasi karyawan dan mengembangkan satu rencana untuk memperbaiki kemerosotan kinerja dapat dihindari.
Kinerja karyawan perlu adanya penilaian dengan maksud untuk memberikan satu peluang yang baik kepada karyawan atas rencana karier mereka dilihat dari kekuatan dan kelemahan, sehingga perusahaan dapat menetapkan pemberian gaji, memberikan promosi, dan dapat melihat perilaku karyawan. Penilaian kinerja dikenal dengan istilah “Performance Rating” atau “Performance Appraisal”. Menurut Munandar, (2008) penilaian kinerja adalah proses penilaian ciri-ciri kepribadian, perilaku kerja, dan hasil kerja seseorang tenaga kerja atau karyawan (pekerja dan manajer), yang dianggap menunjang unjuk kerjanya, yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan tentang tindakan-tindakan terhadap bidang ketenagakerjaan.

 

Dimensi Kinerja

Pekerjaan dengah hasil yang tinggi harus dicapai oleh karyawan. Mangkunegara (2000) menyatakan bahwa ukuran yang perlu diperhatikan dalam penilaian kinerja antara lain:

  1. Kualitas kerja yaitu kerapian, ketelitian, dan keterkaitan hasil kerja dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan. Dengan adanya kualitas kerja yang baik dapat menghindari tingkat kesalahan dalam penyeleseian suatu pekerjaan serta produktivitas kerja yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi kemajuan perusahaan.
  2. Kuantitas Kerja yaitu volume kerja yang dihasilkan dibawah kondisi normal. Kuantitas kerja menunjukkan banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan dalam satu  waktu sehingga efisiensi dan efektivitas dapat terlaksana sesuai dengan tujuan perusahaan.
  3. Tangung Jawab yaitu menunjukkan seberapa besar karyawan dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang dipergunakan serta perilaku kerjanya.
  4. Inisiatif yaitu menunjukkan seberapa besar kemampuan karyawan untuk menganalisis, menilai, menciptakan dan membuat keputusan terhadap penyelesaian masalah yang dihadapinya.
  5. Kerja Sama yaitu merupakan kesediaan karyawan untuk berpartisipasi dan bekerja sama dengan karyawan lain  secara vertical atau horizontal didalam maupun diluar pekerjaan sehingga hasil pekerjaan semakin baik.
  6. Ketaatan yaitu merupakan kesediaan karyawan dalam mematuhi peraturan-peraturan yang  melakukan pekerjaannya sesuai dengan instruksi yang diberikan kepada karyawan.

Indikator Kinerja

Suatu perusahaan melakukan penilaian kinerja didasarkan pertimbangan bahwa perlu adanya suatu sistem evaluasi yang objektif   terhadap   organisasional.   Selain   itu,   dengan   adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang objektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi  yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggung jawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan kepada msing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Sumber daya manusia memberikan kontribusi kepada organisasi yang kebih dikenal dengan kinerja. Menurut Maltis dan Jackson, (2002) kinerja karyawan adalah seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk:
  1. Kuantitas Keluaran. Jumlah keluaran yang seharusnya dibandingkan dengan kemampuan sebenarnya. Misalnya: seorang karyawan  pabrik rokok dibagian produksi  hanya  mampu menghasilkan 250 batang rokok per hari, sedangkan standar umum ditetapkan sebanyak 300 batang rokok per hari. Ini berati kinerja karyawan tersebut masih dibawah rata-rata.
  2. Kualitas Keluaran. Kualitas produksi lebih diutamakan dibandingkan jumlah output. Misalnya: dari 100 batang rokok yang dihasilkan, tingkat kesalahan (cacat) yang ditolerir adalah maksimal sebatang rokok. Apabila karyawan mampu menekan angka maksimum tersebut maka dikatakan memiliki kinerja yang baik.
  3. Jangka Waktu  Keluaran. Ketetapan waktu yang digunakan dalam menghasilkan sebuah barang. Apabila karyawan dapat mempersingkat waktu proses sesuai dengan standar, maka karyawan tersebut dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik.
  4. Misalnya: waktu standar yang ditetapkan untuk menghasilkan 100 batang rokok adalah 120 menit, jika karyawan dapat mempesingkat menjadi 100 menit per 100 batang, maka kinerja karyawan tersebut dikatakan baik.
  5. Tingkat Kehadiran di Tempat Kerja. Kehadiran karyawan di tempat kerja sudah ditentukan pada awal karyawan bergabung dengan perusahaan, jika kehadiran   karyawan   dibawah   standar   hari kerja yang ditetapkan maka karyawan tersebut tidak akan mampu memberikan kontribusi yang optimal terhadap perusahaan.
  6. Kerjasama. Keterlibatan seluruh karyawan dalam mencapai target yang ditetapkan sangat penting kerjasama yang baik antar karyawan akan mampu meningkatkat kinerja.

Faktor-Faktor Kinerja

Bila suatu tujuan tertentu akhirnya bisa dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut efektif tetapi apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan menilai yang penting dari hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan kepuasan walaupun efektif dinamakan tidak efesien. Sebaliknya, bila akibat yang dicari-cari tidak penting atau remeh maka kegiatan tersebut efesien.
Otoritas menurut adalah sifat dari suatu komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi formal yang dimiliki seorang anggota organisasi kepada anggota yang lain untuk melakukan suatu kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya Prawirosentono. Perintah tersebut mengatakan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dalam organisasi tersebut.
Disiplin adalah taat kepda hukum dan peraturan yang berlaku. Jadi, disiplin karyawan adalah kegiatan karyawan yang bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja dengan organisasi dimana dia bekerja. Inisiatif yaitu berkaitan dengan daya pikir dan kreatifitas dalam membentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.

Penutup

Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. dengan   adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang objektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi  yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggung jawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan kepada msing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.

Sumber Pustaka

  1. Mathis, R., & Jackson, J. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba empat.
  2. Mangkunegara, A. A. A. P. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan Bandung: Remaja Rosda Karya.
  3. Munandar, Ashar Sunyoto. 2001. Psikologi Industri Dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
  4. Viethzal, R. Z., Ramly, M., Mutis, T., & Arafah, W. (2014). Manajemen Sumbar Daya Manusia untuk Perusahaan dari Praktek ke Teori. (3, Ed.). Depok: RajaGrafindo Persada.


 

Konsep Dasar Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) adalah salah satu metode pengambilan keputusan multikriteria yang pertama kali diperkenalkan oleh Yoon dan Hwang (1981). TOPSIS menggunakan prinsip bahwa alternatif yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi ideal positif dan terjauh dari solusi ideal negatif, yang bertujuan untuk menentukan kedekatan relatif dari suatu alternatif dengan solusi optimal. Solusi ideal positif didefinisikan sebagai jumlah dari seluruh nilai terbaik yang dapat dicapai untuk setiap atribut, sedangkan solusi negatif ideal terdiri dari seluruh nilai terburuk yang dicapai untuk setiap atribut.
Pemahaman Tentang Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) Sebagai Sistem Pendukung Keputusan
Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) merupakan salah satu teknik yang bisa diterapkan dalam sistem pendukung keputusan. Sistem Pendukung Keputusan atau Decision Support System (DSS) secara umum didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mampu memberikan kemampuan pemecahan masalah maupun kemampuan pengkomunikasian untuk masalah semi terstruktur (Whetyningtyas, 2011). Pengertian Decision Support System menurut (Jogiyanto, 2001) adalah suatu sistem informasi untuk membantu manajer level menengah untuk proses pengambilan keputusan setengah terstruktur (semi structured) supaya lebih efektif dengan menggunakan model-model analitis dan data yang tersedia.
Istilah Sistem Pendukung Keputusan (SPK) mengacu pada suatu sistem yang memanfaatkan dukungan komputer dalam proses pengambilan keputusan. Untuk memberikan pengertian yang lebih maka ada beberapa definisi mengenai SPK oleh beberapa ahli (Hermawan, 2005). Menurut Dewanto (2015) sistem pendukung keputusan (SPK) merupakan suatu sistem yang berbasis komputer yang ditunjukan untuk membantu pengambil keputusan dengan memanfaatkan data dan model tertentu untuk memecahkan berbagai persoalan yang tidak terstruktur.
Sistem pendukung keputusan digunakan untuk mendeskripsikan sistem yang didesain untuk membantu manajer memecahkan masalah tertentu. Sistem pendukung keputusan (SPK) adalah bagian dari sistem informasi berbasis komputer termasuk sistem berbasis pengetahuan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam suatu organisasi maupun perusahaan (Dewanto, 2015)
Dari beberapa para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem pendukung keputusan merupakan suatu sistem informasi berbasis komputer yang dibuat untuk membantu memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan berupa alternatif pilihan menggunakan pemodelan analisis dan data yang ada.
Penerapan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
Penerapan TOPSIS membantu perusahaan untuk memanfaatkan pendekatan analisis dan pengambilan keputusan yang lebih sistematis dan terstruktur. Dalam konteks bisnis yang semakin kompleks dan global, alat ini dapat memberikan nilai tambah dalam mencapai tujuan strategis dan menghadapi tantangan yang berkembang dengan cepat.
Penerapan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) dalam dunia bisnis dan globalisasi memberikan berbagai manfaat, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Berikut adalah beberapa manfaat utama dari penerapan TOPSIS dalam konteks bisnis dan globalisasi:
  1. TOPSIS membantu dalam memilih alternatif terbaik dari sejumlah opsi yang tersedia. Dalam konteks bisnis, ini dapat diterapkan pada pemilihan vendor, pemilihan proyek investasi, atau evaluasi strategi bisnis.
  2. TOPSIS dapat digunakan untuk menganalisis kinerja relatif dari setiap alternatif dalam hubungannya dengan kriteria yang ditetapkan. Ini membantu dalam evaluasi kualitas produk, layanan, atau keputusan bisnis.
  3. Dengan mempertimbangkan kriteria risiko dan keamanan, TOPSIS dapat membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih informasional dan dapat mengurangi risiko yang terkait dengan keputusan bisnis.
  4. Dengan memilih alternatif yang paling mendekati solusi ideal, TOPSIS dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam operasi bisnis. Misalnya, dalam pemilihan strategi operasional atau investasi dalam teknologi baru.
  5. Dalam lingkungan bisnis yang semakin terglobalisasi, TOPSIS dapat digunakan untuk memilih strategi ekspansi pasar, pemilihan mitra bisnis internasional, atau evaluasi proyek lintas batas.
  6. TOPSIS membantu dalam mengevaluasi proyek dan investasi dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan. Ini dapat membantu perusahaan dalam memilih proyek yang paling sesuai dengan tujuan bisnis dan kebijakan perusahaan.
  7. Penerapan TOPSIS memastikan bahwa keputusan bisnis didasarkan pada data dan analisis yang lebih objektif. Ini membantu dalam meningkatkan keputusan yang lebih baik dan mengurangi potensi keputusan yang bersifat subyektif.
Definisi Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) Menurut Para Ahli
Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) adalah salah satu metode dari model keputusan MADM. Metode TOPSIS menggunakan konsep dimana alternatif terpilih yang terbaik tidak hanya memiliki jarak terpendek dari solusi ideal positif, tetapi juga memiliki jarak terpanjang dari solusi ideal negatif (Elyza Gustru Wahyuni, 2017).
Menurut Dicky Nofriansyah (2017) menyatakan bahwa, TOPSIS merupakan salah satu metode yang digemari oleh peneliti di dalam merancang sebuah sistem pendukung keputusan, selain konsepnya sederhana tetapi kompleksitas dalam pemecahan masalah baik itu ditandai dengan konsep penyelesaian metode ini yaitu dengan memilih alternatif terbaik yang tidak hanya memiliki jarak terpendek dari solusi ideal positif tetapi juga memiliki jarak terpanjang dari solusi ideal negatif.
Menurut Simanjorang (2019) Metode TOPSIS adalah salahsatu metode yang bisa membantu proses pengambilan keputusan yang optimal untuk menyelesaikan masalah keputusan secara praktis. Hal ini disebabkan karena konsepnya sederhana dan mudah dipahami. Sejalan dengan pendapat Marlina, Yusnaeni, dan Indriyani (2017) TOPSIS merupakan suatu metode sistem pendukung keputusan (DSS) yang digunakan untuk memilih peringkat terbaik dengan nilai bobot tertinggi pada alternative yang dinilai. Penilaian dilakukan dengan menilai berdasarkan bobot nilai dari kriteria dan alternatif. Metode TOPSIS dapat menyelesaikan pengambilan keputusan secara praktis, karena konsepnya sederhana dan mudah dipahami, komputasinya efisien, serta memiliki kemampuan mengukur kinerja relatif dari alternatif-alternatif keputusan (Parhusip et al., 2011). Metode ini banyak digunakan untuk menyelesaikan pengambilan keputusan secara praktis karena konsepnya yang sederhana dan mudah dipahami, serta komputasinya efisien dan memiliki kemampuan mengukur kinerja relatif dari alternatif-alternatif keputusan.
Tujuan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
TOPSIS bertujuan untuk menentukan solusi ideal positif dan solusi ideal negatif. Solusi ideal positif memaksimalkan kriteria manfaat dan meminimalkan kriteria biaya, sedangkan solusi ideal negatif memaksimalkan kriteria biaya dan meminimalkan kriteria manfaat (Fan dan Cheng, 2009). Kriteria manfaat merupakan kriteria dimana ketika nilai kriteria tersebutsemakin besar maka semakin layak pula untukdipilih. Sedangkan kriteriabiaya merupakan kebalikan dari kriteria manfaat, semakin kecil nilai darikriteria tersebut maka akan semakin layak untuk dipilih. Dalam metode TOPSIS, alternatif yang optimal adalah yang paling dekat dengan solusi idealpositif dan paling jauh dari solusi ideal negatif.
Kelemahan Dan Kelebihan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
Dalam metode TOPSIS, dipertimbangkan adanya solusi ideal positif dan solusi ideal negatif. Solusi ideal positif merupakan nilai terbaik dari semua kriteria sedangkan solusi ideal negatif adalah nilai terburuk untuk tiap kriteria dari alternatif yang ada. Dengan adanya kedua solusi ini maka alternatif yang dipilih dalam metode TOPSIS merupakan alternatif yang memiliki jarak terdekat dengan solusi ideal positif dan jarak terjauh dengan solusi ideal negatif. Karena itulah maka dapat disimpulkan beberapa kelemahan dan kelebihan metode TOPSIS.
Kelemahan TOPSIS
  1. Belum adanya penentuan bobot prioritas yang menjadi prioritas hitungan terhadap kriteria, yang berguna untuk meningkatkan validitas nilai bobot perhitungan kriteria. Maka dengan alasan ini, metode ini dapat dikombinasikan misalnya dengan metode AHP agar menghasilkan output atau keputusan yang lebih maksimal
  2. Belum adanya bentuk linguistik untuk penilaian alternatif terhadap kriteria, biasanya bentuk linguistik ini diinterpretasikan dalam sebuah bilangan fuzzy
  3. Belum adanya mediator seperti hirarki jika diproses secara mandiri maka dalam ketepatan pengambilan keputusan cenderung belum menghasilkan keputusan yang sempurna
  4. Metode TOPSIS ini dapat digunakan dalam menentukan perangkingan alternatif dengan memperhitungkan solusi ideal dari suatu masalah dan penentuan bobot setiap kriteria. Namun, kurang baik jika digunakan dalam mendapatkan bobot yang memperhitungkan hubungan antara kriteria. Walaupun dapat dilakukan dengan pairwase comparison, tetapi membutuhkan matriks dan perhitungan yang lebih rumit. Oleh karena itu, dilakukan penggabungan dengan metode lain seperti ANP (Analytic Network Process) dalam mengatasi masalah pembobotan tersebut.
  5. Pada proses yang menggunakan metode TOPSIS, perangkingan dan pembobotan kriteria adalah memiliki nilai yang telah pasti. Padahal, dalam aplikasinya di kehidupan nyata, terdapat informasi yang tidak lengkap atau informasi yang dibutuhkan tidak tersedia. Contoh penyebab informasi yang tidak lengkap tersebut adalah karena adanya penilaian dari manusia yang seringkali bersifat tidak pasti/kabur (fuzzy) dan tidak dapat mengestimasikan perangkingan dalam data numerik yang pasti. Ketidakpastian ini merupakan sesuatu yang tidak dapat diatasi jika menggunakan metode TOPSIS, kecuali jika dilakukan perhitungan algoritma lebih lanjut dalam perumusan metode TOPSIS tersebut.
  6. Metode TOPSIS menentukan solusi berdasarkan jarak terpendek menuju solusi ideal dan jarak terbesar dari solusi negatif yang ideal. Namun, metode ini tidak mempertimbangkan kepentingan relatif (relative importance) dari masing-masing jarak tersebut.
  7. Pada metode TOPSIS, seringkali digunakan asumsi pada tingkat kepentingan relatif masing-masing respon dan digunakan kombinasi dengan metode lain untuk menyelesaikan asumsi tersebut. Contohnya adalah dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) atau ANP (Analytic Network Process) untuk memperoleh nilai bobot yang mewakili tingkat kepentingan relatif masing-masing kriteria.
  8. Pada metode TOPSIS, alternatif dengan ranking tertinggi merupakan solusi yang terbaik, namun belum tentu ranking tertinggi tersebut adalah yang terdekat dari solusi ideal. Sehingga perlu dilakukan perhitungan lagi untuk memastikannya.
Kelebihan TOPSIS
  1. Konsepnya sederhana dan mudah dipahami, kesederhanaan ini dilihat dari alur proses metode TOPSIS yang tidak begitu rumit. Karena menggunakan indikator kriteria dan variabel alternatif sebagai pembantu untuk menentukan keputusan
  2. Komputasinya efisien, perhitungan komputasinya lebih efisien dan dan cepat
  3. Mampu dijadikan sebagai pengukur kinerja alternatif dan juga alternatif keputusan dalam sebuah bentuk output komputasi yang sederhana.
  4. Dapat digunakan sebagai metode pengambilan keputusan yang lebih cepat.
Tahapan Perhitungan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
Algoritma Penyelesaian masalah MADM dengan TOPSIS (Kusumadewi, S. Hartati, S. Harjoko, A. Wardoyo, 2004):
  • Menentukan alternatif yang pada penelitian ini adalah merek dan model mobil bekas kemudian menormalisasi setiap nilai alternatif dan matrix ternormalisasi terbobot.
  • Membuat rating pada masing-masing alternatif pada masing-masing kriteria dengan rumus sebagai berikut: 
  •  
  • Keterangan:
    ij    = Nilai Normalisasi Kriteria ke i.
    Xij    = Hasil pertimbangan berdasarkan kriteria ke i.
     
  • Membuat matrix normalisasi terbobot.
  • Menentukan nilai normalisasi maksimum dan minimum.
  • Menghitung Sparasi Ideal Positif dengan menggunakan persamaan berikut ini:
  •  
  • Keterangan:
    Di+     = Sparasi ideal positif
    yi+     = Nilai Normaliasasi Maksimum
    yij    = Normalisasi Terbobot
     
  • Hasil perhitungan untuk nilai normalisasi maksimum dikurangi normalisasi terbobot

  • Hasil perhitungan untuk nilai normalisasi maksimum dikurangi normalisasi terbobot pangkat 2 (dua) dengan persamaan

  • Hasil perhitungan untuk nilai akar dari jumlah akumulasi normalisasi maksimum dikurangi normalisasi terbobot pangkat 2 (dua) pada persamaan

  • Menghitung Sparasi Ideal negatif dengan menggunakan persamaan berikut ini:
  •  
  • Keterangan:
    Di-     = Sparasi ideal negatif
    yi-     = Nilai Normaliasasi minimum
    yij    = Normalisasi Terbobot
  • Hasil perhitungan untuk nilai normalisasi terbobot dikurangi normalisasi minimum

  • Hasil perhitungan untuk nilai normalisasi minimum dikurangi normalisasi terbobot pangkat 2 (dua) dengan persamaan

  • Hasil perhitungan untuk nilai akar dari jumlah akumulasi normalisasi minimum dikurangi normalisasi terbobot pangkat 2 (dua) pada persamaan

  • Menghitung nilai preferensi dari setiap alternatif berdasarkan solusi ideal positif dan solusi ideal negative.
  • Data solusi ideal positif dan negative di atas kemudian dihitung menggunakan persamaan berikut ini:
  •  
  • Keterangan:
    Vi    = Nilai preferensi untuk alternatif ke i
    D-    = Solusi Ideal negative
    D+    = Solusi Ideal positif
     
  • Melakukan perankingan berdasarkan hasil perhitungan nilai preferensi.
Penutup
TOPSIS merupakan suatu metode sistem pendukung keputusan (DSS) yang digunakan untuk memilih peringkat terbaik dengan nilai bobot tertinggi pada alternative yang dinilai. Penilaian dilakukan dengan menilai berdasarkan bobot nilai dari kriteria dan alternatif. Namun, metode ini tidak mempertimbangkan kepentingan relatif (relative importance) dari masing-masing jarak tersebut. Oleh sebab itu solusi dari permasalahan kekurangan metode TOPSIS dapat ditutupi dengan batasan yang jelas dalam menentukan jarak penilaian pada masing-masing kriteria yang digunakan. Pada metode TOPSIS, seringkali digunakan asumsi pada tingkat kepentingan relatif masing-masing respon dan digunakan kombinasi dengan metode lain untuk menyelesaikan asumsi tersebut. Contohnya adalah dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) atau ANP (Analytic Network Process) untuk memperoleh nilai bobot yang mewakili tingkat kepentingan relatif masing-masing kriteria.
Sumber Pustaka
  1. Amida, S. N., & Kristiana, T. (2019). Sistem Pendukung Keputusan Penilaian Kinerja Pegawai Dengan Menggunakan Metode Topsis. JSAI (Journal Scientific and Applied Informatics), 2(3), 193–201. https://doi.org/10.36085/jsai.v2i3.415
  2. Dicky Nofriansyah, S. D. (2017). Multi Criteria Decision Making (MCDM): pada sistem pendukung keputusan. Deepublish.
  3. Elyza Gustru Wahyuni, A. T. A. (2017). Sistem Pendukung Keputusan Penerimaan Pegawai Dengan Metode Topsis. Jurnal Sains, Teknologi Dan Industri, 14(2).
  4. Fan, C. K., & Cheng, S. W. (2009). Using Analytic Hierarchy Process Method and Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution to Evaluate Curriculum in Department of Risk Management and Insurance. 19(1), 1–8.
  5. Hakim, L. (2019). Sistem Pendukung Keputusan Penilaian Kinerja Karyawan Menggunakan Metode Topsis Pada PT.Karunia Berkat Alam Demak.
  6. Hermawan, J. (2005). Membangun Decision Support System. Andi.
  7. Marlina, M., Yusnaeni, W., & Indriyani, N. (2017). Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Siswa Yang Berhak Mendapatkan Beasiswa Dengan Metode Topsis. Jurnal Techno Nusa Mandiri, 14(2), 147–152.
  8. Mulyanto, A. (2009). Sistem Informasi Konsep dan Aplikasi. Pustaka Pelajar.
  9. Nurhayati, S. (2017). Sistem Penilaian Kinerja Karyawan Menggunakan Metode TOPSIS pada PT XYZ. Prosiding Saintiks FTIK UNIKOM, 2, 25–28.
  10. Palasara, N., & Baidawi, T. (2018). Penerapan Sistem Pendukung Keputusan Pada Penilaian Karyawan Menggunakan Metode Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution ( TOPSIS ).
  11. Pressman, R. (2001). Software Engineering: A Practitioner’s Approach, Fifth Ed. McGraw-Hill Book Company.
  12. Putra, K. D., Lina, S., Sitio, M., Studi, P., Informatika, T., Teknik, F., Pamulang, U., Selatan-indonesia, T., & Karyawan, P. K. (2021). Perancangan Sistem Pendukung Berbasis Desktop Menggunakan Kombinasi Metode SMART-TOPSIS. 5(3), 240–249.
  13. Rahman, A. K., & Suwartane, I. G. A. (2020). Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Penilaian Karyawan Terbaik Dengan Metode Tehcnique For Order Preference By Similarity To Ideal Solution (TOPSIS) Berbasis Web. 4(1).
  14. Sachdeva. (2009). Multi-Factor Mode Critically Analysis Using TOPSIS. International Journal of Industrial Enineering, 5(8).
  15. Simanjorang, R. M. (2019). Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Dosen Terbaik dengan menggunakan Metode TOPSIS (Studi Kasus: STMIK Pelita Nusantara Medan). Jurnal STMIK Pelita Nusantara Medan, 4(1), 10–15.
  16. Whetyningtyas, A. (2011). Peranan Decision Support System (DSS) Bagi Manajemen Selaku Decision Maker. Jurnal Analisis Manajemen, 5(1), 102–108.


Globalisasi bisnis menekan berbagai bidang usaha dan lembaga pelayanan publik untuk mengikuti arus perubahan dalam pengelolaan sumber daya manusia. Perubahan masiv berkecepatan tinggi juga mendorong setiap pribadi pegawai untuk memiliki kesiapan untuk berubah, adatif dan mampu mengikuti persaingan ditengah perkembangan yang tidak terbendung. Dalam hal perubahan tersebut maka sisi positif bagi para pemegang kebijakan perusahaan adalah kemudahan dalam mempersiapkan menghadapi perubahan tersebut. Readyness For Change merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan tantangan tersebut.

Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. Namun demikian, kesiapan menghadapi perubahan harus direncanakan secara matang dari berbagi aspek termasuk mentalitas kerja dan finansial pekerja.
Untuk memahami lebih mendalam, pertama-tama kita mulai dengan derfinisi teoritis mengenai Readyness For Change dan bagaimana cara kerja alami psikologis pekerja dalam menghadapi tantangan yang nantinya dapat diterapkan secara berkelanjutan. Harapan yang ingin dicapai adalah keterbukaan pribadi yang selanjutnya dapat diukur secara konsisten dalam lingkup yang lebih luas.

Pengertian Readyness For Change

Menurut jurnal yang ditulis Mujid dkk (2023) yang berjudul The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap, menyatakan bahwa readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Senada dengan itu, dilihat dari referensi yang lebih lama pada jurnal yang ditulis Sri Hartanti (2018) mengemukakan bahwa readiness for change ini didefinisikan sebagai sikap komprehensif yang secara   simultan   dipengaruhi   oleh isi, proses, konteks dan individu yang terlibat dalam suatu perubahan. Definisi tersebut merujuk pada referensi yang lebih tua lagi yaitu melalui jurnal yang ditulis Holt dkk (2007) yang menyatakan bahwa kesiapan secara kolektif merefleksikan sejauh mana kecenderungan individu untuk menyutujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.
Ketika adanya perubahan kebijakan dalam satu perusahaan maka disana akan terjadi sikap reaksi dari pengelola sumber daya manusia untuk mempersiapkan pegawainya menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Sebagaimana aksi reaksi, maka kesiapan secara kolektif tidak akan bisa terbentuk tana adanya integritas pada sistem pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan konsep aktual yang mampu beradaptasi dengan kebijakan yang ditetapkan. Lebih jauh kita bisa menyatakan bahwa readiness for change merupakan konsep yang menggambarkan tingkat kesiapan para karyawan dalam menghadapi perubahan, baik sebelum maupun setelah terjadi perubahan di dalam organisasi. Konsep ini mencakup berbagai aspek yang melibatkan individu, seperti sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi perubahan tersebut. Sebelum perubahan terjadi, readiness for change membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan dan adaptasi karyawan terhadap perubahan tersebut. Setelah perubahan terjadi, readiness for change juga berperan penting dalam mengukur sejauh mana karyawan atau pegawai dapat beradaptasi dan berkontribusi secara positif terhadap perubahan tersebut. Dengan memahami readiness for change, organisasi dapat merencanakan strategi yang lebih efektif untuk mengelola perubahan dan memastikan kesuksesan dalam implementasinya.
Readiness for Change adalah sebuah proses psikologis yang tidak langsung terlihat, yang mencerminkan keinginan seseorang untuk mengadopsi pola perilaku baru dalam periode waktu tertentu (Sumaryono, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui tahapan batin yang berkelanjutan. Proses ini melibatkan kesiapan individu dalam menghadapi perubahan, mengatasi hambatan, dan menerima konsekuensi dari pola perilaku baru yang akan diadopsi. Readiness for Change melibatkan kesadaran individu terhadap kebutuhan akan perubahan, keinginan untuk memperbaiki diri, dan komitmen untuk melangkah maju menuju perubahan yang lebih baik (Sumaryono, 2019).

Faktor Readyness For Change

Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah (Agus et al., 2020). Kesiapan sebuah institusi untuk berubah sangat dipengaruhi oleh sejauh mana karyawan mampu mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru dalam lingkungan kerja mereka. Perubahan dalam organisasi sering kali melibatkan perkenalan konsep baru, teknologi baru, atau praktik kerja yang lebih efisien dan efektif.
Pimpinan organisasi yang memperkenalkan program yang mewajibkan warga organisasi untuk menerapkan metode kerja baru dengan menggunakan teknologi baru merupakan indikator utama dari kesiapan untuk berubah (Lehman, Greener, & Simpson, 2002). Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa karyawan memiliki kesiapan yang memadai dalam menghadapi perubahan tersebut.
Faktor-faktor readyness for change dari uraian tersebut dapat dipahami lebih mendalam melalui hal berikut :
1.    Komitmen
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif  (Lehman et al., 2002).
Ketika pimpinan mendorong dan mendukung inisiatif perubahan, ini mencerminkan komitmen mereka terhadap pengembangan organisasi dan keberhasilan perubahan. Program-program seperti pelatihan, pengenalan teknologi baru, dan pembentukan kebijakan yang mendorong adopsi perubahan menjadi sarana untuk mempersiapkan karyawan dalam menghadapi perubahan tersebut (Lehman et al., 2002). Dengan adanya dukungan dan arahan yang jelas dari pimpinan, kesiapan berubah dapat ditingkatkan dan membawa perubahan yang lebih baik dalam organisasi.
Manajemen yang memahami pentingnya perubahan dan berkomitmen untuk mendukungnya akan mendorong kesiapan organisasi secara keseluruhan. Dukungan manajemen meliputi komunikasi yang jelas, pengambilan keputusan yang tepat, dan pembentukan tim perubahan yang efektif. Sumber dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan pengembangan nilai-nilai oleh staf memainkan peran penting dalam menentukan kesiapan organisasi untuk menghadapi perubahan. Dalam rangka mencapai kesiapan yang optimal, organisasi perlu memperhatikan dan mengelola faktor-faktor ini secara holistik. Kombinasi ketersediaan dana yang cukup, dukungan manajemen yang kuat, dan nilai-nilai yang memperkuat kesiapan untuk berubah akan membawa organisasi menuju perubahan yang sukses dan berkelanjutan.
2.    Dukungan Budaya
Adanya dukungan budaya dapat mendorong adopsi perubahan yang terjadi (Agus et al., 2020). Jika budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai pembelajaran, kolaborasi, dan adaptasi, maka warga organisasi akan merasa lebih termotivasi dan siap untuk mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru. Ini berarti memastikan adanya lingkungan yang terbuka untuk belajar, eksperimen, dan berbagi pengetahuan di dalam organisasi (Lehman et al., 2002).
Organisasi yang mampu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada mutu terbukti memiliki keunggulan dalam menghadapi perubahan dan bertahan dalam persaingan (Swaffin-Smith, Barnes, & Townsend, 2002). Budaya kerja yang berfokus pada mutu mencakup komitmen terhadap standar yang tinggi, inovasi berkelanjutan, peningkatan terus-menerus, dan responsif terhadap kebutuhan pasar. Dengan budaya ini, organisasi memiliki fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan perubahan dengan sikap terbuka, fleksibilitas, dan kemampuan beradaptasi. Mereka dapat mengidentifikasi peluang perubahan, menerapkan praktik terbaik, dan meningkatkan kualitas layanan mereka secara berkelanjutan. Hal ini membantu organisasi untuk tetap relevan, unggul, dan berdaya saing dalam lingkungan yang selalu berubah dan kompetitif.
3.    Inovasi
Inovasi sangat penting dalam menghadapi perubahan di dunia yang terus berkembang. Organisasi yang mampu mengembangkan budaya inovasi akan memiliki keunggulan kompetitif dan lebih siap menghadapi tantangan yang muncul (Lehman et al. 2002). Budaya inovasi melibatkan penerimaan terhadap gagasan baru, pengembangan keterampilan kreatif, penghargaan terhadap eksperimen dan kegagalan sebagai proses pembelajaran, serta dukungan untuk inisiatif inovatif. Dalam budaya inovasi, individu merasa dihargai dan didorong untuk berpikir di luar kotak, mencari solusi baru, dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
4.    Motivasi
Ketersediaan aspek motivasional adalah salah satu faktor penting dalam mengembangkan kesiapan untuk berubah. Ketika individu merasakan adanya kebutuhan dan dorongan yang kuat untuk melakukan perubahan, mereka akan lebih termotivasi untuk menghadapi perubahan tersebut. Selain itu, penting juga untuk mengembangkan nilai-nilai positif yang melekat pada setiap individu dalam organisasi. Nilai-nilai seperti ketekunan, kolaborasi, kreativitas, dan adaptabilitas merupakan landasan untuk membangun budaya inovasi yang kuat.
5.    Lingkungan
Iklim lingkungan usaha yang mendukung perubahan akan memainkan peran penting dalam mengembangkan sistem nilai, sikap, dan pandangan baru pada individu-individu. Terlihat bahwa keberadaan iklim lingkungan yang kondusif untuk kesiapan organisasi berubah dapat dilihat melalui beberapa hal (Jabnoun & Sedrani 2005), diantaranya:

Individu-individu yang memiliki pemahaman yang jelas tentang visi, misi, dan tujuan organisasi dalam menghadapi perubahan. 

  1. Adanya tim kerja yang kuat dan solid.
  2. Individu-individu yang memiliki kemandirian dalam menjalankan tugasnya. 
  3. Terdapat keterbukaan dalam proses komunikasi di dalam organisasi.
  4. Sejauh mana warga organisasi merasakan tekanan dari dalam diri mereka untuk selalu memberikan kinerja terbaik.

6.    Keterbukaan dari seluruh warga organisasi terhadap perubahan.
Faktor lingkungan memainkan peran penting dalam aktivitas usaha, baik itu lingkungan eksternal maupun lingkungan internal (Marcus 2004). Lingkungan eksternal meliputi aspek persaingan bisnis, ketersediaan bahan baku, regulasi pemerintah, dan tingkat ketidakpastian yang dirasakan. Sementara itu, lingkungan internal mencakup kualitas kehidupan organisasi bisnis, penguasaan teknologi, ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan dari keluarga, dukungan modal, dan dukungan dari anggota organisasi bisnis. Lingkungan internal organisasi bisnis yang mencerminkan kekuatan dan kelemahan akan mempengaruhi kelangsungan aktivitas bisnis.
Kualitas lingkungan memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan usaha. Lingkungan eksternal menentukan sejauh mana perusahaan mampu beradaptasi dengan persaingan, memenuhi kebutuhan bahan baku, dan beroperasi dalam kerangka peraturan yang ada. Sementara itu, lingkungan internal menciptakan kondisi yang mendukung efisiensi, inovasi, dan pertumbuhan. Keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan finansial yang memadai, dan kesiapan organisasi untuk menghadapi tantangan menjadi faktor penentu dalam kelangsungan usaha.
Selain itu, pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan dalam lingkungan internal membantu perusahaan dalam mengidentifikasi peluang dan ancaman, serta mengambil langkah-langkah strategis yang tepat. Dengan pemahaman yang baik tentang faktor-faktor lingkungan, perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja, meningkatkan daya saing, dan menjaga kelangsungan usaha di tengah perubahan yang terus-menerus.
Dalam rangka mencapai keberhasilan usaha, penting bagi perusahaan untuk memantau, menganalisis, dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam lingkungan eksternal dan internal. Dengan demikian, perusahaan dapat menjaga relevansi, efektivitas, dan daya adaptasi dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
7.    Kapasitas Untuk Berubah
Untuk meningkatkan kesiapan institusi untuk berubah, perlu dilakukan upaya dalam mengembangkan kompetensi individu, seperti pelatihan dan pengembangan keterampilan. Selain itu, penting untuk mendorong komunikasi yang terbuka dan transparan antara anggota organisasi, sehingga informasi tentang perubahan dapat dengan mudah diakses dan dipahami. Dukungan dari manajemen dan kepemimpinan yang kuat juga penting dalam membangun kesiapan untuk berubah di dalam institusi. Dengan demikian, kesiapan institusi untuk berubah tidak hanya bergantung pada pengetahuan dan teknologi baru, tetapi juga pada kemauan warga organisasi untuk mengadopsi dan menerapkan perubahan tersebut. Dengan kesiapan yang memadai, institusi dapat menghadapi perubahan dengan lebih sukses dan mengembangkan diri untuk mencapai tujuan organisasional yang lebih tinggi.
Holt et al., (2007) mengemukakan bahwa kesiapan karyawan untuk berubah secara simultan dapat dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu:

  1. Change content, merujuk pada apa yang akan diubah oleh organisasi (misalnya perubahan sistem administrasi, prosedur kerja, teknologi, atau struktur)
  2. Change process, meliputi bagaimana proses pelaksanaan perubahan yang telah direncanakan sebelumnya
  3. Organizational context, terkait dengan kondisi atau lingkungan kerja saat perubahan terjadi.

Holt et al., (2007) mengidentifikasi lima faktor utama yang dapat merubah keyakinan diri karyawan untuk mendukung perubahan yaitu:

  1. Discrepancy yaitu keyakinan bahwa perubahan itu diperlukan oleh organisasi
  2. Aappropriateness yaitu adanya keyakinan bahwa perubahan spesifik yang dilakukan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi
  3. Efficacy yaitu rasa percaya bahwa karyawan dan organisasi mampu mengimplementasikan perubahan
  4. Principal support yaitu persepsi bahwa organisasi memberikan dukungan dan berkomitmen dalam pelaksanaan perubahan dan mensukseskan perubahan organisasi  
  5. Personal valance yaitu keyakinan bahwa perubahan akan memberikan keuntungan personal bagi karyawan. Adarnya kelima keyakinan diatas tidak semata-mata hanya mempengaruhi kesiapan untuk berubah namun juga mempengaruhi bagaimana karyawan akan mengadopsi dan berkomitmen terhadap perubahan organisasi.  


Indikator Readyness For Change

Menurut (Vakola & Nikolaou 2005) indikator Readyness For Change Diantaranya adalah :


1. Appropriateness (ketepatan untuk melakukan perubahan).

Dimensi yang menjelaskan aspek tentang keyakinan individu bahwa adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk perubahan yang perspektif, serta berfokus pada manfaat perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan, konsekuensi bahwa tujuan perubahan sejalan dengan tujuan perusahaan. 

2. Change Efficacy (rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk berubah).

Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan individu tentang kemampuan mereka untuk menerapkan perubahan yang diingini, dimana mereka merasa mempunyai keterampilan serta sanggup untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan perubahan. Dimensi ini juga menjelaskan tingkat kepercayaan diri individu dan kelompok untuk dapat menyukseskan perubahan yang direncanakan. 

3. Management Support (dukungan manajemen).

Dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan atau persepsi individu bahwa para pemimpin dan pihak manajemen akan mendukung dan berkomitmen terhadap perubahan yang direncanakan. 

4. Personel Benefit (manfaat bagi individu).  

Dimensi yang menjelaskan aspek tentang sesuatu yang dirasakan individu tentang keuntungan yang dirasakan secara personal yang akan didapatkan apabila perubahan tersebut diimplementasikan.

Penutup

Tugas pengelola sumber daya manusia adalah membangun sistem yang memiliki integritas terhadap perubahan kebijakan perusahaan yang terkadang dianggap inkonsisten terhadap prinsip fundamental perusahaan. readiness for change adalah keadaan kognitif yang terjadi ketika anggota organisasi memiliki sikap, kepercayaan, dan niat positif terhadap perubahan. Faktor penting yang membuat individu dan organisasi siap menghadapi perubahan diantaranya adalah komitmen, dukungan budaya, dan kapasitas untuk berubah
 

Sumber Pustaka
  1. Agus, Prianto, Kurniati Ira, Wahyudi Taufiq, and Yulistia Eva. 2020. “Berbagai Faktor Penentu Kesiapan Untuk Berubah Dan Pengaruhnya Terhadap Keberlangsungan Kegiatan UMKM Di Wilayah Terdamak Wabah Covid-19.” Jurnal Ekonomi Dan Manajemen 31(1):234–47.
  2. Jabnoun, Naceur, and Khalefa Sedrani. 2005. “TQM, Culture, and Performance in UAE Manufacturing Firms.” Quality Management Journal 12(4):8–20. doi: 10.1080/10686967.2005.11919267.
  3. Holt, Daniel T., Achilles A. Armenakis, Hubert S. Feild, and Stanley G. Harris. 2007. “Readiness for Organizational Change: The Systematic Development of a Scale.” The Journal of Applied Behavioral Science 43(2):232–55. doi: 10.1177/0021886306295295.
  4. Lehman, Wayne E. K., Jack M. Greener, and D. Dwayne Simpson. 2002. “Assessing Organizational Readiness for Change.” Journal of Substance Abuse Treatment 22(4):197–209. doi: 10.1016/S0740-5472(02)00233-7.
  5. Marcus, A. A. 2004. Management Strategy: Achieving Sustained Competitive Advantage. McGraw-Hill Education.
  6. Mujib, Miftachul, and Reni Rosari. 2023. “The Relationship Between Transformational Leadership, Locus of Control and Employees’ Readiness To Change: The Mediating Role of Psycap.” International Journal of Business and Society 24(1):312–29. doi: 10.33736/ijbs.5618.2023.
  7. (7)    Sumaryono, Nurthaibah. 2019. “Readiness For Change Ditinjau Dari Persepsi Transformational Leadership Dan Adaptability Pada Pegawai Rumah Sakit Umum.” Magister Psikologi Profesi.
  8. Swaffin-Smith, Chris, Richard Barnes, and Marie-Christine Townsend. 2002. “Culture Surveys: Monitoring and Enhancing the Impact of Change Programmes.” Total Quality Management 13(6):855–61. doi: 10.1080/0954412022000010181.
  9. Vakola, Maria, and Ioannis Nikolaou. 2005. “Attitudes towards Organizational Change: What Is the Role of Employees’ Stress and Commitment?” Employee Relations 27(2):160–74. doi: 10.1108/01425450510572685.
  10. Xu, Chaterine, Sri Hartini, and Winida Marpaung. 2018. “Readiness For Change Ditinjau Dari Kepemimpinan Transformasional Pada Karyawan/I PT. Mam Medan.” Jurnal Psikologi 14(2):154. doi: 10.24014/jp.v14i2.6405.


Pembelajaran Daring

Organisasi kesehatan dunia (World Health Organization) yang sering di disingkat menjadi WHO telah menetapkan secra resmi dan tegas bahwa Covid Infection (Coronavirus) atau penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus corona atau covid 19 ditetapkan sebagai Pandemic yang dimulai pada bulan Maret 2020 ini. Hingga saat ini tercatat bahwa Covid 19 telah menlanda lebih dari 200 negara di dunia (Sohrabi et al., 2020) termasuk di dalamnya adalah indonesia. Oleh sebab itu sebagai langkah antisipasi penyebaran Covid 19 lebih lanjut maka pemerintah Indonesia melakukan beberapa tindakan strategi, seperti kampanya di rumah saja, pembatasan aktivitas sosial, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan pelarangan mudik lebaran, natal dan tahun baru. Melalui berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut, diharapkan masyarakat untuk tetap berada di rumah, bekerja, belajar dan beribadah di rumah. 

Kondisi pandemic ini telah memberi dampak secara langsung pada dunia pendidikan sehingga mau tidak mau harus merubah pola cara pembelajarannya. Hampir semua lembaga pendidikan formal dan non formal secara bersamaan menutup pembelajaran tatap muka yang memiliki resiko besar menjadi penyebab penyebaran penyakit dan solusinya adalah beralih menggunakan model pembelajaran daring. Peralihan pembelajaran, dari yang semula tatap muka menjadi pembelajaran daring memunculkan banyak hambatan bagi guru, mengingat hal ini terjadi secara mendadak tanpa adanya persiapan sebelumnya.

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, telah mengeluarkan Surat Edaran No. 4 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran virus corona terhitung mula 24 Maret 2020. Adanya surat tersebut, menyebabkan semua instansi pendidikan mengambil langkah cepat sebagai respon antisipasi penyebaran virus Corona dan keterlaksanaan pembelajaran.

Pembelajaran secara daring merupakan cara baru dalam proses belajar mengajar yang memanfaatkan perangkat elektronik khususnya internet dalam penyampaian belajar. Pembelajaran daring, sepenuhnya bergantung pada akses jaringan internet. Pembelajaran daring merupakan bentuk penyampaian pembelajaran konvensional yang dituangkan pada format digital melalui internet. Pembelajaran daring, dianggap menjadi satu-satunya media penyampai materi antara guru dan siswa, dalam masa darurat pandemi (Imania & Bariah, 2019).

Pengertian Pembelajaran Daring

Daring adalah singkatan dari dalam jaringan, yaitu istilah yang digunakan sebagai pengganti kata online yang sering orang Indonesia gunakan dalam penggunaan aktivitas yang berkaitan dengan jaringan internet. Daring adalah terjemahan dari istilah online yang bermakna tersambung ke dalam jaringan internet. Oleh sebab itu maka kita bisa mengartikan bahwa pembelajaran daring adalah proses pembelajaran dalam bidang pendidikan yang dilakukan memanfaatkan sistem komunikasi jarak jauh menggunakan komputer dalam jaringan internet tanpa adanya tatap muka secara nyata.

Pembelajaran daring di masa pandemic dilakukan untuk mengurangi resiko penularan penyakit pada saat proses pembelajaran berlangsung, secara esensial model pembelajaran ini mengoptimalkan interaksi antar siswa dan tenaga pengajar tanpa menghilangkan prinsip pendidikan. Pembelajaran daring adalah model belajar yang dilakukan tanpa melakukan tatap muka secara langsung baik antar siswa maupun dengan tenaga pengajar, tetapi kegiatan belajar dan komunikasi dilakukan melalui sebuah platform digital yang terhugung melalui jaringan internet (Malyana, 2020). Model pembelajaran ini membantu proses belajar mengajar yang dilakukan meskipun jarak jauh sehingga mengurangi hambatan yang mungkin terjadi di dunia nyata. Tujuan dari adanya pembelajaran ini adalah memberikan layanan Pendidikan yang lebih bermutu dalam jaringan yang bersifat masif dan terbuka untuk menjangkau peminat ruang belajar agar lebih banyak dan lebih luas (Sofyana & Rozaq, 2019).

Segala bentuk kegiatan pendidikan yang berlangsung serta materi pelajaran didistribusikan secara online, komunikasi juga dilakukan secara online, dan tes juga dilaksanakan secara online. Tentunya dengan metode pembelajaran semacam ini membutuhkan media belajar digital yang dinamis dan mampu menyesuaikan dengan atmosfer pendidikan di daerah.  Daring juga menyatakan kondisi pada suatu alat perlengkapan atau suatu unit fungsional. Sebuah kondisi dikatakan daring apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut.

  1. Di bawah pengendalian langsung dari sebuah sistem.
  2. Tersedia untuk penggunaan segera atau real time.
  3. Tersambung pada suatu sistem dalam pengoperasiannya,
  4. Bersifat fungsional dan siap melayani.

Selama pelaksanaan pembelajaran dengan moda daring, maka siswa atau peserta didik memiliki keleluasaan waktu lebih banyak untuk belajar setiap harinya.  Peserta didik bisa melakukan kegiatan belajar kapan pun dan dimana pun, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Peserta didik juga dapat berinteraksi dengan guru pada waktu yang bersamaan, seperti menggunakan video call atau live chat. Pembelajaran daring dapat disediakan secara elektronik menggunakan forum atau message.

Pembelajaran Daring Sebagai Solusi Pendidikan Di Tengah Pandemic Covid 19

Masa Covid-19 menuntut guru sebagai tenaga pendidik, tetap dituntut menjalakan pendidikan di sekolah. Pembelajaran diharuskan tetap berlangsung agar pendidikan terjamin. Tugas pokok dan fungsi guru yang melekat tetap akan dilaksanakan, karena guru diharapkan menjalankan pendidikan dan pembelajarannya, maka guru dituntut kreativitasnya sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Pembelajaran daring itu biasanya merupakan pembelajaran yang selama ini dilakukan oleh guru secara interaktif melalui video conference (Muhammad, 2020).

Pembelajaran daring merupakan salah satu cara menanggulangi masalah pendidikan tentang penyelenggaraan pembelajaran. Definisi pembelajaran Daring adalah metode belajar yang menggunakan model interaktif berbasis Internet dan Learning Manajemen System (LMS). Seperti menggunakan Zoom, Geogle Meet, Geogle Drive, dansebagainya. Kegiatan daring diantaranya Webinar, kelas online, seluruh kegiatan dilakukan menggunakan jaringan internet dan komputer (Simanihuruk et al., 2019)

Fasilitas daring LMS sudah sejak lama digandrungi penggiat E-learning, sudah banyak perguruan tinggi dan sekolah menggunakan platform ini, dan yang paling popular adalah Moodle. Aplikasi open source ini terbilang cukup lengkap untuk sebuah kelas daring mulai dari membuat course, manajemen kelas, siswa, materi dan bahan ajar, sampai ujian online bisa dilaksanakan dengan LMS dan saat ini Moodle merupakan sistem wajib dalam SPADA Indonesia yang digunakan oleh seluruh perguruan tinggi. Selain Moodle banyak sistem sejenis yang bertebaran dijagad maya antara lain Google Classroom, Edmodo, Schoology dan masing-masing platform memiliki keunggulan dan kekurangan. Google Classroom milik Google terbilang handal dan cukup mudah pengoperasiannya, secara otomatis terkoneksi dengan akun Gmail dan fitur Google lainnya seperti google doc, google drive, YouTube, dan lainnya. Sedangkan Edmodo desainnya lebih milineal dengan tampilan mirip media sosial namun dengan fitur yang terbilang lengkap. Selanjutnya yang tak kalah menarik adalah Schoology, yang bisa menjadi alternatif dalam membuat kelas E-learning .

Istilah luring adalah akronim dari ’luar jaringan’, terputus dari jaringan komputer (Kamus Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016). Misalnya belajar melalui buku pegangan siswa atau pertemuan langsung. Adapun jenis kegiatan Luring yakni menonton TVRI sebagai pembelajaran, siswa mengumpulkan karyanya berupa dokumen,, karena kegiatan luring tidak menggunakan jaringan internet dan komputer, melainkan media lainnya. Sistem pembelajaran Luring merupakan sistem pembelajaran yang memerlukan tatap muka. Pembelajaran daring membutuhkan suasana di rumah yang mendukung untuk belajar, juga harus memiliki koneksi internet yang memadai. Namun siswa harus belajar efektif dilakukan dengan cara video call, berdiskusi, tanya jawab dengan chatting, namun tetap harus bersosialisasi dengan orang lain, termasuk anggota keluarga di rumah serta teman-teman di luar sesi video call untuk mengash kemampuan bersosialisasi (Malyana, 2020).

Ciri-ciri peserta didik dalam aktivitas belajar daring atau secara online yaitu (Hasanah et al., 2020) :

1. Semangat belajar

Semangat pelajar pada saat proses pembelajaran kuat atau tinggi guna pembelajaran mandiri. Ketika pembelajaran daring kriteria ketuntasan pemahaman materi dalam pembelaran ditentukan oleh pelajar itu sendiri. Pengetahuan akan ditemukan sendiri serta mahasiswa harus mandiri. Sehingga kemandirian belajar tiap mahasiswa menjadikan pebedaan keberhasilan belajar yang berbeda-beda.

2. Literacy terhadap teknologi.

Selain kemandirian terhadap kegiatan belajar, tingkat pemahaman pelajar terhadap pemakaian teknologi. Ketika pembelajaran online/daring merupakan salah satu keberhasilan dari dilakukannya pembelajaran daring. Sebelum pembelajaran daring/online siswa harus melakukan penguasaan terhadap teknolologi yang akan digunakan. Alat yang biasa digunakan sebagai sarana pembelajaran online/ daring ialah komputer, smartphone, maupun laptop. Perkembangan teknologi di era 4.0 ini menciptakan bayak aplikasi atau fitur–fitur yang digunakan sebagai sarana pembelajaran daring/online.

3. Kemampuan berkomunikasi interpersonal

Dalam ciri-ciri ini pelajar harus menguasai kemampuan berkomunikasi dan kemampuan interpersonal sebagai salah satu syarat untuk keberhasilan dalam pembelajaran daring. Kemampuan interpersonal dibutuhkan guna menjalin hubungan serta interaksi antar pelajar lainnya. Sebagai makhluk sosial tetap membutuhkan interaksi dengan orang lain meskipun pembelajaran online dilaksanakan secara mandiri. Maka dari itu kemampuan interpersonal dan kemampuan dalam komunikasi harus tetap dilatih dalam kehidupan bermasyarakat.

4. Berkolaborasi.

Memahami dan memakai pembelajaran interaksi dan kolaborasi. Pelajar harus mampu berinteraksi antar pelajar lainnya ataupun dengan dosen pada sebuah forum yang telah disediakan, karena dalam pembelajaran daring yang melaksanakan adalah pelajar itu sendiri. Interaksi tersebut diperlukan terutama ketika pelajar mengalami kesulitan dalam memahami materi. Selain hal tersebut, interaksi juga perlu dijaga guna untuk melatih jiwa sosial mereka. Supaya jiwa individualisme dan anti sosial tidak terbentuk didalam diri pelajar. Dengan adanya pembelajaran daring juga pelajar mampu memahami pembelajaran dengan kolaborasi. Pelajar juga akan dilatih supaya mampu berkolaborasi baik dengan lingkungan sekitar atau dengan bermacam sistem yang mendukung pembelajaran daring.

5. Keterampilan untuk belajar mandiri

salah satu karakteristik pembelajaran daring adalah kemampuan dalam belajar mandiri. Belajar yang dilakukan secara mandiri sangat diperlukan dalam pembelajaran daring. Karena ketika proses pembelajaran, Pelajar akan mencari, menemukan sampai dengan menyimpulkan sendiri yang telah ia pelajari. “Pembelajaran mandiri merupakan proses dimana siswa dilibatkan secara langsung dalam mengidentifikasi apa yang perlu untuk dipelajari menjadi pemegang kendali dalam proses pembelajaran. Ketika belajar secara mandiri, dibutuhkan motivasi sebagai penunjang keberhasilan proses pembelajaran secara daring.

Sumber Pustaka:

Hasanah, A., Sri Lestari, A., Rahman, A. Y., & Danil, Y. I. (2020). Analisis Aktivitas Belajar Daring Mahasiswa Pada Pandemi COVID-19. Karya Tulis Ilmiah (KTI) Masa Work From Home (WFH) Covid-19 UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2020.

Imania, K. A., & Bariah, S. K. (2019). Rancangan Pengembangan Instrumen Penilaian Pembelajaran Berbasis Daring. Jurnal Petik, 5(1), 31–47. https://doi.org/10.31980/jpetik.v5i1.445 Diakses Pada Tanggal 3 Januari 2021 Jam 10.00

Malyana, A. (2020). Pelaksanaan Pembelajaran Daring dan Luring Dengan Metode Bimbingan Berkelanjutan Pada Guru Sekolah Dasar Di Teluk Betung Utara Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar Indonesia, 2(1), 67–76. http://jurnal.stkippgribl.ac.id/index.php/pedagogia Diakses Pada Tanggal 3 Januari 2021 Jam 10.00  

Muhammad, H. (2020). Kemendikbud Sebut PJJ Tak Sama dengan Pembelajaran Daring dan Luring. Jawapos.Com. https://www.jawapos.com/nasio%0Anal/pendidikan/17 Diakses Pada Tanggal 3 Januari 2021 Jam 10.00

Simanihuruk, L., Simarmata, J., Sudirman, A., Hasibuan, M. S., Safitri, M., Sulaiman, O. K., Ramadhani, R., & Sahir, S. H. (2019). E-Learning: Implementasi, Strategi dan Inovasinya (T. Limbong (ed.); 1st ed.). Yayasan Kita Menulis. http://library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf Diakses Pada Tanggal 3 Januari 2020 Jam 10.00

Sofyana, L., & Rozaq, A. (2019). Pembelajaran Daring Kombinasi Berbasis Whatsapp Pada Kelas Karyawan Prodi Teknik Informatika Universitas PGRI Madiun. Jurnal Nasional Pendidikan Teknik Informatika (JANAPATI). https://doi.org/10.23887/janapati.v8i1.17204 Diakses Pada Tanggal 3 Januari 2020 Jam 10.00

Sohrabi, C., Alsafi, Z., Neill, N. O., Khan, M., & Kerwan, A. (2020). Since January 2020 Elsevier has created a COVID-19 resource centre with free information in English and Mandarin on the novel coronavirus COVID- 19 . The COVID-19 resource centre is hosted on Elsevier Connect , the company ’ s public news and information. January. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7105032/